Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
...happy reading...
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
Tiba-tiba, Amirul mendengar suara benda yang jatuh. Suaranya cukup keras, menggema di dalam gudang yang kosong itu. Ia menoleh, dan benda itu ternyata jatuh tepat di sampingnya. Amirul menatap benda itu dengan rasa penasaran. Bentuknya seperti biji, sebesar ibu jari, dengan permukaan yang sedikit kasar. Ia memungutnya perlahan, mengamatinya dengan seksama.
"Kau pasti seperti aku juga ya? Tidak diinginkan?" gumam Amirul dengan suara lemah, seolah berbicara kepada biji itu. Kata-katanya keluar begitu saja, mencerminkan perasaannya yang terasing dan tidak diterima. Ia merasa bahwa benda kecil itu adalah cerminan dari dirinya, sendirian, tidak diinginkan, tapi tetap memiliki potensi untuk tumbuh.
Amirul melihat tanah di sampingnya, yang meskipun kering, masih bisa digali dengan tangan. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mulai menggali lubang kecil di tanah itu menggunakan jarinya. Tangannya kotor dan gemetar karena dingin, tapi ia tetap melanjutkan. Setelah lubang itu cukup dalam, ia meletakkan biji tersebut di dalamnya dengan hati-hati.
"Semoga kau tumbuh dengan subur," kata Amirul pelan, suaranya hampir seperti doa. Ia menutupi biji itu dengan tanah, lalu menepuknya perlahan untuk memastikan biji itu terkubur dengan baik. Meski kecil, tindakan itu membuatnya merasa sedikit lebih baik, seolah-olah ia baru saja memberikan harapan kepada sesuatu yang bahkan lebih kecil dan tak berdaya daripada dirinya.
Setelah selesai menanam biji itu, Amirul merasa tubuhnya semakin lemah. Ia merebahkan diri di lantai gudang yang dingin, tepat di samping tempat ia menanam biji itu. Tubuhnya menggigil karena kedinginan, dan perutnya mulai terasa sakit karena kelaparan. Ia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba memberikan sedikit kehangatan kepada dirinya.
Gudang itu menjadi saksi bisu tempat Amirul beristirahat. Suara hujan di luar semakin deras, dan udara semakin dingin. Amirul memejamkan matanya, mencoba mengabaikan rasa lapar dan dingin yang menguasai tubuhnya. Ia tidak tahu apakah ia akan bangun lagi, tapi di dalam hatinya, ia berharap biji yang ia tanam akan tumbuh suatu hari nanti—seperti harapan kecil yang ia tanam untuk dirinya sendiri.
...*******...
Subuh semakin larut dalam dinginnya udara, membuat tubuh Amirul yang kurus menggigil hebat. Ia memeluk tubuhnya erat-erat, mencoba mencari kehangatan dari dirinya sendiri.
Tidurnya terganggu sejak tadi malam, dan kini ia terbangun dengan perasaan aneh, campuran antara lelah, lapar, dan dingin yang menusuk tulang. Ia membuka matanya perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya gudang yang hanya diterangi cahaya remang-remang dari luar.
Namun, saat ia memandang ke arah tempat ia menanam biji semalam, matanya membelalak lebar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tepat di tempat ia menanam biji itu, kini berdiri sebuah pohon kecil. Pohon itu tidak hanya tumbuh dengan ajaib, tapi yang lebih mengejutkan adalah buahnya, lembaran uang yang tergantung di setiap rantingnya, bergoyang pelan karena angin subuh yang menyelinap masuk melalui celah dinding gudang.

"I-ini benaran kah?" gumam Amirul dengan suara gemetar, bibirnya yang pucat bergetar karena kaget sekaligus dingin. Ia mengucek matanya beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Tapi pohon itu tetap ada di sana, nyata, dengan daun-daun kecil yang hijau berkilauan.
Amirul menoleh ke sekeliling gudang, memastikan tidak ada orang lain di sana. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya sendiri. "Tidak mungkin kan ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke sini dan memberiku ini?" pikirnya keras-keras. Lalu pandangannya kembali ke pohon kecil itu. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, seolah-olah pohon itu bisa menghilang jika ia bergerak terlalu cepat.
"I-ini kau kah, biji kecil?" tanya Amirul dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Ia menatap pohon itu dengan tatapan tidak percaya.
Tangannya yang gemetar terulur, menyentuh salah satu daun kecilnya. Daunnya terasa lembut, dingin, dan nyata. Ia kemudian menyentuh salah satu buah pohon itu—selembar uang seratus ribu rupiah yang tergantung di ranting. Ia menariknya perlahan, dan uang itu terlepas dengan mudah.
Amirul menatap uang itu dengan mata berkaca-kaca. "Ini... nyata," gumamnya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi ia tahu satu hal: pohon ini adalah keajaiban. Pohon ini adalah harapan yang muncul di tengah kegelapan hidupnya.
Namun, di balik rasa bahagianya, Amirul tidak bisa menghilangkan rasa was-was. Bagaimana bisa pohon seperti ini ada? Apakah ada sesuatu di baliknya?
Ia duduk di samping pohon kecil itu, memandangi uang yang kini ada di tangannya. "Apa ini semacam ujian? Atau hadiah dari Tuhan?" pikirnya.
Amirul mulai memetik beberapa lembar uang lagi dari pohon itu, cukup untuk membeli makanan dan mungkin menyewa tempat tinggal sementara. Ia tidak ingin mengambil terlalu banyak, takut pohon itu akan mati jika ia serakah. Setelah memetik beberapa lembar, ia berhenti dan menatap pohon itu dengan rasa syukur.
"Terima kasih, biji kecil. Aku tidak tahu dari mana kau berasal, tapi kau memberiku harapan," katanya pelan, seolah berbicara kepada pohon itu.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪