Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Ketemu dengan Cara Kasar
Alya telah menghilang selama hampir dua puluh empat jam. Bagi Alya, waktu itu terasa seperti liburan yang pahit, waktu yang ia gunakan untuk menghirup udara kebebasan yang singkat dan menikmati tawa renyah Naya, sahabatnya. Bagi Arka, dua puluh empat jam itu adalah neraka. Ia tidak menutup mata, tidak makan, dan hanya duduk di depan peta pelacakan, melihat titik kecil yang mewakili istrinya, yang kini berada di area padat penduduk yang asing baginya.
Kepanikan Arka bercampur dengan amarah. Ia telah memberikan kebebasan pada Alya, dan ini adalah cara Alya membalasnya. Ini adalah pengkhianatan emosional. Pada sore hari, setelah melacak ponsel Alya yang bergerak ke luar apartemen Naya, Arka memutuskan. Sudah cukup.
Arka Darendra, mengenakan kemeja yang kusut dan mata merah karena kurang tidur, menyetir sendiri mobilnya—sebuah SUV hitam sederhana tanpa pengawal mencolok. Dia tidak ingin ada hiruk pikuk media atau pengawal berseragam yang memicu pelarian Alya lebih jauh.
Sementara itu, Alya dan Naya baru saja meninggalkan minimarket di pinggir jalan, membawa kantong plastik berisi makanan ringan yang terasa asing dan menyenangkan bagi Alya yang terbiasa dengan menu mewah. Alya tertawa, menceritakan masa lalunya yang konyol di sekolah.
Tiba-tiba, tawa Alya terhenti.
“Alya?!”
Alya menoleh. Deo berdiri di sana, di depan deretan rak majalah, tampak terkejut. Deo terlihat lebih kurus dan kelelahan, mungkin karena stres sekolah dan berita skandal yang melibatkan Alya.
“Deo!” seru Alya, terkejut dan sedikit gugup.
Deo segera mendekat. “Ya Tuhan, Alya, kau baik-baik saja? Kau menghilang. Aku melihat berita-berita gila itu. Kau… kau benar-benar menikah dengan pria itu? Aku khawatir sekali.”
Deo mengulurkan tangan, menyentuh lengan Alya. Itu adalah sentuhan yang polos, hanya sentuhan seorang sahabat yang khawatir. Tetapi bagi Arka, yang baru saja memarkir mobilnya di sudut jalan, sentuhan itu adalah percikan api yang membakar bensin amarahnya yang tertahan selama semalaman.
Arka melihat pemandangan itu: Alya, istrinya, tersenyum dan dipegang oleh pria lain, di luar kendalinya, di tempat yang tidak dikenalnya. Rasa takut yang menghantuinya selama semalam suntuk, takut Alya akan hilang seperti Aida, langsung berubah menjadi amukan posesif yang tidak terkontrol.
Arka keluar dari mobil, tidak peduli dengan penampilannya yang kacau. Matanya terkunci pada Alya, dan aura kekuasaan yang ia pancarkan di ballroom konferensi pers kini berubah menjadi ancaman fisik yang murni.
“Alya!”
Suara Arka dalam, keras, dan penuh otoritas. Suara itu membuat semua orang di sekitar mereka, termasuk Naya dan Deo, menoleh.
Alya terkejut, melihat Arka datang seperti badai. Wajahnya pucat, tetapi matanya merah karena kurang tidur. Dia tampak berbahaya, tidak seperti CEO, melainkan seperti pemburu yang baru saja menemukan mangsanya.
“Tuan Arka,” bisik Alya, mundur selangkah di belakang Deo.
Deo, yang tidak tahu siapa Arka secara langsung (hanya dari berita), segera melangkah maju, melindungi Alya.
“Siapa Anda? Jauhi dia!” tantang Deo, berani namun bodoh.
Arka tidak menatap Deo. Matanya hanya terpaku pada Alya. Arka berjalan mendekat, setiap langkahnya terasa seperti gempa bumi.
“Kau telah menguji batas kesabaranku, Alya,” kata Arka, suaranya pelan dan mengancam, seolah-olah hanya mereka berdua yang ada di sana.
Tangan Arka yang kuat mencengkeram pergelangan tangan Alya. Cengkeraman itu kasar, dingin, dan sangat menyakitkan. Alya terkesiap. Ia tahu Arka sedang mengamuk, tetapi ini adalah pertama kalinya Arka menyakitinya secara fisik sejak hari pernikahan. Rasa sakit itu bukan hanya karena cengkeraman, tetapi karena menyadari betapa jauh Arka telah melangkah.
“Lepaskan dia!” teriak Deo, meraih lengan Arka.
Arka akhirnya menoleh ke Deo. Tatapannya sedingin es, penuh penghinaan dan kekejaman.
“Jangan ikut campur. Kau tidak punya hak.”
Deo tidak gentar. “Aku mencintainya! Aku tidak peduli siapa kau! Dia bukan milikmu!”
Alya melihat pertarungan di mata Arka. Amarah murni, kecemburuan posesif, dan ketakutan yang mendalam. Arka bisa saja menghancurkan Deo di tempat, tetapi ia menahan diri. Arka tahu, kekerasan publik akan memicu lagi skandal yang baru saja ia redakan.
Arka hanya menatap Deo, matanya memancarkan peringatan mematikan. Dengan satu tarikan, Arka menarik Alya menjauh dari Deo.
“Dia istriku,” kata Arka, kata-kata itu keluar seperti peluru. Pendek, mutlak, dan final. “Pergilah.”
Deo terdiam. Kata-kata itu, diucapkan oleh pria dengan aura kekuasaan yang tak tertandingi, terasa seperti penghinaan dan kekalahan mutlak. Naya menarik Deo mundur.
Arka tidak menyia-nyiakan waktu. Dia menarik Alya menuju mobil.
“Masuk!” perintah Arka, membukakan pintu mobil dengan satu tangan sementara tangan lainnya mencengkeram lengan Alya kuat-kuat.
Alya, yang sudah terkejut oleh pertemuan brutal itu, kini didorong ke kursi penumpang. Sebelum Arka menutup pintu, Alya melihat wajah Deo yang hancur. Saat itu, Alya tahu, Arka telah menghancurkan satu-satunya hubungan murni yang ia miliki di dunia luar.
Perjalanan Pulang yang Mengerikan
Arka masuk ke kursi pengemudi. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia mengunci pintu secara otomatis, menyalakan mesin, dan melesat pergi tanpa sabuk pengaman.
Alya mulai menangis. Dia tidak bisa menahannya lagi. Tangisan itu bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi karena rasa sakit yang ia rasakan untuk Deo, untuk Naya, dan untuk dirinya sendiri yang kembali ke sangkar.
“Bagus! Puas? Saya benci Anda! Anda mengambil semua yang saya miliki! Anda bahkan tidak membiarkan saya berbicara dengan teman saya!” isak Alya.
Arka mencengkeram setir mobil dengan kedua tangannya, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Dia tidak menatap Alya, matanya tertuju ke jalan.
“Jangan bicara, Alya,” kata Arka, suaranya serak dan berbahaya. “Satu kata lagi, dan aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku sudah menahan ini selama dua puluh empat jam. Jangan menguji kesabaranku.”
Udara di dalam mobil terasa tebal dan mencekik. Alya bisa merasakan amarah Arka yang bergejolak, terkunci rapat di dalam dirinya. Ini bukan hanya amarah karena kabur; ini adalah amarah karena ketakutan.
Alya terus menangis, air matanya membasahi pipi. Dia melihat Arka di sebelahnya. Pria itu menahan diri untuk tidak meledak, tetapi menahan emosi yang begitu besar membutuhkan kontrol diri yang mengerikan.
Arka akhirnya berbicara lagi, setelah sepuluh menit keheningan total.
“Kau melarikan diri,” bisik Arka, tanpa menoleh. “Aku memberimu kebebasan. Aku memberikan apa yang kau minta. Dan kau pergi ke pelukan pria lain.”
“Dia hanya teman! Anda yang membandingkan saya dengan hantu Anda!” balas Alya, tidak peduli dengan ancaman Arka. Dia harus memicu ledakan ini.
Arka membanting setir mobil dengan satu tangan, membiarkan suaranya yang mengerikan meledak. “Aku menghabiskan sepanjang malam mencari tahu apakah kau aman, apakah kau hilang, apakah kau dibunuh! Aku tidak tidur! Aku takut! Aku takut tragedi itu akan terulang! Dan kau… kau tertawa dengan pria yang mencintaimu di depan sebuah minimarket! Kau ingin aku merobeknya berkeping-keping di sana, Alya!”
Alya terkejut melihat luapan emosi Arka yang begitu liar, penuh dengan rasa takut dan amarah yang tulus.
“Bukan aku yang kau takutkan, Tuan Arka. Kau takut pada dirimu sendiri!” teriak Alya.
Arka menarik mobil ke pinggir jalan. Dia menoleh ke Alya, matanya penuh air mata yang tertahan.
“Kau benar. Aku takut pada diriku sendiri. Aku takut menjadi pria yang gagal lagi. Aku takut kehilanganmu, Alya. Dan aku tidak peduli siapa yang harus aku hancurkan, aku akan memastikan kau tetap bersamaku. Kau adalah milikku. Kau adalah milikku!”
Arka mengulangi klaim itu, posesif dan putus asa. Alya melihat kehancuran di mata Arka. Dia melihat pria yang sangat rapuh, pria yang hanya bisa mengekspresikan cintanya melalui kontrol.
Perjalanan itu berakhir dengan kepulangan ke villa. Arka menarik Alya keluar dari mobil, cengkeramannya masih kasar, tetapi bukan lagi karena amarah, melainkan karena kelegaan yang putus asa.
Alya tahu, ledakan emosi yang sesungguhnya belum terjadi. Itu akan terjadi setelah mereka melewati pintu.