NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 JANGAN HARAP!

“Nona Ava…” suara lembut Bi Ana terdengar dari balik kabut tipis kantuk. Tangan tuanya mengguncang pelan bahu Ava, cukup untuk menariknya kembali ke dunia nyata.

Ava membuka mata perlahan. Cahaya matahari pagi langsung menusuk pandangan, membuatnya menyipit dan mengangkat tangan menutupi sebagian wajah. Udara dingin yang menempel pada kulitnya mengingatkannya tempat ia tertidur semalam.

“Bi Ana?” suaranya serak. “Kenapa tidak membukakan pintu untukku?”

Wajah Bi Ana tampak penuh penyesalan. “Maaf, nona. Bibi baru datang… dan terkejut melihat nona tidur di luar.” Ia memandang selimut yang kini kusut di pangkuan Ava.

Ava mengerutkan kening. “ Jadi semalam rumah Kosong?"

“Sepetinya tidak, nona. Karena mobil tuan Arash sudah ada di halaman sebelum saya kemari.” lanjut Bi Ana sambil menoleh ke halaman.

Ava mengikuti arah pandangannya. Mobil hitam itu berdiri di tempatnya, seolah menertawakan dirinya. Ia tidak tahu kapan pria itu datang, tapi jelas ia pulang cukup awal untuk melihatnya tertidur di luar… dan membiarkannya tetap di sana.

“Cih, anak itu benar-benar…” Ava mengembuskan napas kesal. Dinginnya lantai tadi malam masih terasa di lutut dan lengannya. Ia segera berdiri dan masuk ke rumah tanpa menoleh lagi.

Di belakang, Bi Ana memungut selimut dan bantal yang digunakan Ava, menghela napas kecil sebelum ikut masuk.

Langkah Ava terdengar cepat, hampir menghentak setiap lantai rumah. Napasnya naik turun bukan karena lelah, tapi karena amarah yang menumpuk sejak semalam. Tanpa ragu, ia mendorong pintu kamar Arash. Pintu itu terbuka keras hingga suara pukulannya menggema di seluruh ruangan.

“Arash! Kau benar-benar—”

Suara itu mati begitu saja ketika Arash menoleh. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, meneteskan butiran air yang mengalir melewati rahangnya dan jatuh ke lantai. Ia berdiri dengan hanya mengenakan kaus hitam tipis dan celana rumah. Tatapannya datar, seolah kedatangan Ava hanyalah angin yang lewat.

“Kenapa kau tidak memindahkan aku semalam?” tanya Ava, suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya. Ia mendongak menatap pria itu, jarak tinggi mereka membuatnya terlihat semakin kecil.

Senyum sinis muncul di wajah Arash—dingin, malas, dan sedikit mengejek. Ia melangkah mendekat, sangat dekat, hingga jarak mereka hanya satu jengkal.

“Kau berharap aku menggendongmu masuk?” suaranya rendah, hampir seperti gumaman, tapi tajam. “Jangan harap.”

Ava berkedip, sadar ia salah memilih kata. “Se… setidaknya bangunkan aku,” ralatnya cepat. “Biar aku masuk sendiri.”

Arash mengangkat satu alis. “Untuk apa?” Nada suaranya tenang, namun mengandung penghinaan halus. “Kau mau tidur di luar atau di mana pun… bukan urusanku.”

Ia menunduk sedikit, menyamakan tinggi wajah mereka. Sorot matanya dingin, menusuk. Beberapa detik mereka saling menatap—dua orang yang terjebak dalam ikatan pernikahan yang tidak menyisakan ruang untuk kelembutan. Tidak ada yang mengalihkan pandangan duluan.

Sampai butiran air dari rambut Arash jatuh, menetes ke pipi Ava—membuatnya spontan menghindar.

“Dasar… tidak punya hati,” gumamnya lirih, tapi cukup terdengar.

“Apa kau bilang?” Arash langsung menangkap lengannya, cengkeramannya kuat dan menyakitkan.

Ava meringis, mencoba menarik lengannya. “Lepaskan! Kenapa kau kasar sekali pada wanita? Kau… berbeda dengan kakakmu!”

Ucapan itu seperti pisau yang menancap tepat di tempat yang paling sensitif. Tatapan Arash berubah dalam hitungan detik—dari marah, menjadi gelap, menjadi berbahaya.

Cengkeramannya berpindah ke kedua bahu Ava, lebih keras dari sebelumnya. “Jangan pernah,” suaranya rendah, seperti ancaman dari dasar dada, “bandingkan aku dengan siapa pun.”

Ava mengembuskan napas tertahan, menahan rasa sakit pada bahunya.

Arash mendekat—begitu dekat hingga napas mereka hampir bercampur. “Dan satu lagi…” suaranya lebih keras, lebih tajam, “jangan berani-beraninya kau menyebut nama kakakku dengan mulutmu itu.”

Lalu ia mendorongnya—bukan keras, tapi cukup untuk membuat tubuh Ava terhuyung mundur beberapa langkah, terpaku, kaget, dan terluka bukan hanya secara fisik tapi juga batin.

Ava hanya bisa menelan napasnya sendiri, sementara Arash berdiri di tempatnya, dada naik turun tipis… masih dipenuhi amarah yang belum sepenuhnya reda.

Ava berdiri mematung. Napasnya terputus-putus, bukan hanya karena terkejut, tetapi karena rasa nyeri yang masih berdenyut di kedua bahunya. Kulitnya terasa panas di tempat tangan Arash tadi mencengkram—keras, tergesa, dan penuh luapan emosi yang tak ia pahami. Di hadapannya, Arash kini membelakanginya, bahunya yang lebar naik turun perlahan seiring napasnya. Nada tegang yang tadi memenuhi ruangan perlahan memudar, namun jejaknya masih mengambang di udara seperti asap tipis yang enggan pergi.

Ava menelan ludah, mencoba meredakan ketakutan yang membuat ujung jarinya dingin. “Arash…” panggilnya lirih, suaranya pecah meskipun ia berusaha menahannya. “Maaf… aku tidak bermaksud begitu.” Kata-katanya keluar perlahan, namun cukup untuk membuat Arash berhenti mengeringkan rambutnya.

Pria itu menoleh sedikit, hanya cukup untuk menunjukkan separuh wajahnya. Pandangannya tajam, tapi tidak setajam beberapa menit lalu. “Lupakan itu,” ucapnya datar, suaranya rendah dan enggan. “Aku tidak suka drama pagi-pagi.”

Ava menghela napas panjang, mencoba menerima bandingannya yang datar itu sebagai tanda bahwa setidaknya amarahnya mereda meski tidak benar-benar hilang. Ia mengangguk kecil, lalu berbalik menuju kamar mandi. Begitu pintu menutup di belakangnya, Ava langsung menyandarkan punggungnya ke kayu dingin itu. Matanya terpejam, berusaha menertawakan hidupnya sendiri.

“Bagus, Ava,” gumamnya lirih. “Sekarang kau punya suami muda yang emosian.” Ia menggeleng kecil sambil masuk ke dalam untuk mandi.

Setelah rapi, Ava menuju dapur. Perutnya kosong sejak semalam, dan aroma masakan sederhana Bi Ana langsung menyambutnya—hangat, menenangkan, seperti pelukan yang tidak pernah ia minta tapi selalu ia dapatkan dari wanita itu. Bi Ana sibuk mengelap meja ketika Ava masuk.

“Arash sudah pergi?” tanya Ava, mencoba terdengar biasa saja.

“Sudah, nona. Dan tuan muda menitipkan ini untuk nona.” Bi Ana mengambil tas dari atas nakas dan menyerahkannya.

Ava meraihnya, memeriksa isinya. Dompetnya, buku sketsa, ponsel—semua lengkap. Ia menarik napas lega tanpa sadar. “Terima kasih, Bi.”

Ava makan perlahan, membiarkan kehangatan makanan meredakan sisa kekakuan di dadanya. Ketika ia selesai, Bi Ana mendekat dan menyerahkan seutas kunci kecil. “Nona, ini kunci rumah ini.”

Ava mengerutkan alis. “Untuk apa memberikannya padaku?”

“Saya khawatir kejadian seperti kemarin terulang. karena saya hanya datang pagi dan pulang sore.” Jelas bi Ana.

Ava menatap kunci itu sejenak—dingin, kecil, sederhana, tetapi terasa seperti sebuah tanggung jawab baru. Ia mengangguk. “Baiklah, Bi. Ava ambil, ya.”

Kunci itu masuk ke dalam tas, dan kini setelah ia memiliki kunci rumah ini, tidak ada lagi drama dirinya tidur di luar.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa like dan dukung cerita ini, sangkyu😘

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!