Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Dulu, Riana begitu bersyukur bisa menikah dengan Septian, lelaki mapan dan rupawan yang menjadi incaran banyak perempuan di ibu kota. Namun kini, rasa syukur itu berubah menjadi beban yang terus menyesakkan dada. Bagaimana tidak, ia sempat percaya Septian benar-benar mencintainya, tapi ternyata lelaki itu menikahinya hanya untuk bisa dekat dengan sang kakak, Liliana.
Keyakinan itu semakin kuat sejak dua bulan lalu, tepat ketika Liliana menyandang status janda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Dengan alasan iba, Septian memintanya tinggal bersama mereka. Dalih itu terdengar manis, tapi di mata Riana, semuanya justru bukti bahwa hati sang suami tak pernah benar-benar menjadi miliknya.
“Riana, ini uang belanja untuk minggu ini. Jangan lupa, kulkas harus selalu terisi makanan. Kakakmu masih menyusui, dia butuh asupan bergizi dan nggak boleh makan terlambat. Dan kamu juga harus berhemat," ucap Septian sembari menyodorkan segepok uang merah ke tangannya.
Satu kata hemat itu terasa menusuk jantung Riana. Dari semua perintah suaminya, mengapa kata itu harus ditujukan kepadanya, sementara hampir semua kebutuhan justru diprioritaskan untuk sang kakak?
“Hemat, Mas?” ulang Riana pelan.
“Iya. Perusahaan akhir-akhir ini sedang pailit. Lagi pula, kamu kan ibu rumah tangga, nggak ke mana-mana, jadi nggak perlulah beli macam-macam atau ikut arisan,” tandas Septian, semakin memperdalam luka di hati istrinya.
Padahal sebelum menikah, wanita berusia 29 tahun itu lulusan dokter berprestasi dengan nilai cumlaude. Namun, demi cintanya pada Septian, ia rela meninggalkan kariernya dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Ia menganggap pengorbanan itu layak demi menyandang status sebagai istri Septian Prawira. Sayangnya, kini semua itu terasa sia-sia.
“Lalu uang itu untuk apa, Mas?” tanya Riana dengan nada kesal setelah menerima uang pemberian sang suami. Matanya sempat melirik dua gepok uang lain yang masih tersusun rapi di atas meja.
Septian membenarkan kacamatanya sejenak, lalu melirik uang tersebut. Senyum tipisnya terbit sebelum ia menjawab, “Itu untuk kakak ipar. Kamu tahu sendiri kebutuhannya banyak, kan? Harus beli baju, mainan anak, susu, popok, dan masih banyak lagi.”
“Tapi Mas…”
“Riana, jangan pelit. Kamu tahu kakakmu itu janda. Kalau bukan aku adik iparnya yang memenuhi kebutuhannya, siapa lagi? Aku nggak mau berdebat lagi, ini sudah sering kita bahas,” ucap Septian dengan nada dingin sebelum lelaki itu melenggang pergi sambil membawa uang yang sudah disiapkan tadi.
Riana hanya bisa menatap punggung Septian yang perlahan menghilang ditelan tembok putih. Tatapannya kosong, seolah berharap lelaki itu kembali padanya. Namun, semua itu hanya angan. Sudah satu jam berlalu sejak suaminya pergi, dan tak juga kembali ke kamar mereka.
“Apa benar sudah tak ada harapan untukku, Mas? Kita sudah menikah bertahun-tahun, tapi kamu gak pernah mengizinkanku tidur di sisimu, kecuali saat ingin melakukan hubungan suami istri…” gumam Riana lirih, dengan air mata yang mulai berurai.
Sebagai seorang dokter, Riana paham betul bahwa suaminya mengalami gangguan tidur akibat trauma masa lalu. Karena itu, ia berusaha memaklumi alasan Septian tidak pernah mengizinkannya tidur di sisinya. Ia mencoba menanamkan pengertian dalam hati, bahwa semua itu bukan karena dirinya.
Namun, beberapa waktu lalu, kenyataan pahit justru menamparnya. Dengan mata kepalanya sendiri, ketika hendak membawa segelas susu hangat, Riana melihat sang suami bisa terlelap dengan pulas di ranjang kakaknya. Sejak malam itu, pengertiannya perlahan runtuh.
Kilas balik itu kini terus menghantuinya. Riana duduk di tepi ranjang dengan wajah sembab, air mata masih mengalir tanpa henti. Luka di hatinya semakin dalam seolah pengorbanannya selama ini tak pernah dianggap.
“Aku sudah berusaha mengerti, Mas… tapi ternyata yang kamu butuhkan bukan aku,” bisiknya lirih.
Air mata Riana semakin deras, membasahi pipi hingga jatuh ke bantal. Malam ini terasa begitu panjang dan sunyi, hanya isakannya yang terdengar di dalam kamar. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari kehangatan yang tak pernah ia dapatkan dari suaminya.
Dulu Riana pernah membayangkan, hidup penuh cinta, kebersamaan, dan kebahagiaan, nyatanya hanya fatamorgana. Setiap hari ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit, bahwa keberadaannya hanyalah pelengkap.
Dering ponsel membuat Riana menyudahi kesakitannya. Ia melihat pemanggil itu berasal dari salah satu dosen sekaligus dokter pembimbingnya dulu. Ia segera menghapus sisa air mata lalu menetralkan emosinya.
“Halo, Dok,” sapa Riana pelan.
“Riana, saya sudah membaca surat pengajuanmu untuk ikut sebagai relawan di Sorong. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik?” tanya dokter Alif, suaranya tegas namun lembut.
“Iya, Dok. Saya rasa sudah cukup selama lima tahun ini menyia-nyiakan gelar saya. Jiwa saya sebagai dokter terpanggil lagi, lebih dari sekadar rasa bersalah. Di sana banyak yang butuh bantuan medis dasar, dan saya ingin berguna lagi,” jawab Riana, suaranya sedikit kencang, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Dokter Alif terdiam sesaat, lalu bertanya dengan hati-hati, “Kamu paham konsekuensinya? Jauh, berat, dan mungkin memakan waktu lama. Bagaimana dengan keluargamu?”
Riana menutup mata sekejap. Pikiran tentang Septian dan Liliana berkecamuk, namun jawabannya tegas, “Saya paham, Dok. Justru karena itu saya harus pergi. Bukan lari, tapi mencari kembali siapa saya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
“Aku menghargai keputusanmu,” jawab Dokter Alif. “Baiklah, ada proses seleksi dan pelatihan singkat. Kalau lulus, keberangkatan mungkin bulan depan. Siapkan dokumen, rapid test, dan surat izin dari pihak keluarga bila memungkinkan. Kalau butuh bantuan administrasi, datang saja ke rumah sakit, saya bantu urus.”
Riana merasa ada sesuatu hangat merayap di dadanya, sebuah harapan. “Terima kasih, Dok. Saya akan datang minggu ini.”
Setelah menutup telepon, Riana duduk sejenak menatap jendela. Ia ingat seminggu lalu, setelah melihat suaminya begitu dekat dengan sang kakak, ia langsung memutuskan ikut menjadi relawan. Ia tak ingin lagi menyiksa diri, jika Septian memang tidak mencintainya, melepaskan mungkin satu-satunya jalan menuju kebahagiaan.
Lagipula, untuk apa ia harus berebut cinta yang tak akan pernah menjadi miliknya? Selain itu, wanita yang dicintai suaminya adalah sang kakak. Dan ia berhak bahagia!
Riana menarik napasnya dalam setelah merasa tenang, ia ingin mengambil segelas air untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Namun, sebelum ia membuka pintu terdengar suara ketukan pintu.
"Ada apa Kak?" tanya Riana saat mengetahui orang yang mengetuk pintu Liliana tengah menggendong bayi mungilnya.
“Riana… aku boleh tidur di sini? Bayiku rewel sekali, mungkin dia terganggu karena suamimu tidur di sana, terus ngorok kenceng banget,” ucap Liliana dengan wajah lelah.
Riana terdiam. Ada rasa getir kembali menyeruak. Bagaimana mungkin sang kakak bisa berkata demikian tanpa ada rasa enggan sama sekali, seolah semua adalah hal biasa?
“Oh..,” jawab Riana dengan suara serak. Ia berusaha tersenyum, meski hatinya terasa hancur.
Liliana tanpa dipersilahkan masuk, ia menyerobot lalu meletakkan bayinya di atas ranjang, kemudian duduk tenang sambil bertanya dengan polosnya, “Kamu kelihatan pucat. Kamu gak lagi cemburukan?”
Amarah Riana tersulut. Tenggorokannya tercekat, bibirnya mulai bergetar, siap melontarkan semua kata yang selama ini ia kubur.