"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 6
Lorong istana masih berbau melati ketika Camilla keluar dari Paviliun Seraphine. Mary segera menghampiri, wajahnya cemas bercampur lega.
“Lady.. bagaimana pertemuannya?” bisiknya sambil membantu Camilla mengenakan mantel bulu tipis.
Camilla menatap ke depan, menahan semua emosi di balik senyumnya. “Baik. Ibu Suri hanya ingin berbincang ringan.”
Mary mengangguk, meski jelas ia tidak sepenuhnya percaya. Ia tahu, dalam istana, tidak ada percakapan yang benar-benar ringan.
Ketika mereka kembali ke paviliun keluarga Barak, Duke Leontinus sudah menunggu di ruang tamu. Tatapannya tajam, seolah ingin membaca setiap gerakan putrinya.
“Bagaimana?” tanyanya singkat.
Camilla menjawab dengan tenang, “Ibu Suri mengujiku. Namun saya rasa beliau cukup puas.”
Sekilas, mata sang Duke berkilat puas, meski wajahnya tetap kaku. “Bagus. Itu berarti kau berada di jalur yang tepat. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Duchess Helena, yang duduk di samping, menarik tangan Camilla lembut. “Ingat, Nak. Elenora tidak pernah melakukan sesuatu tanpa tujuan. Jika dia mendekatimu sekarang, berarti dia sudah menimbangmu dengan serius. Itu bisa menjadi berkah… atau jerat.”
Camilla menunduk hormat. Dalam hati, ia tahu ibunya benar. Elenora bukan sekadar Ibu Suri, ia adalah dalang yang mampu membalikkan arus istana hanya dengan satu senyum tipis.
Malam itu, saat semua kembali ke kamar masing-masing, Camilla duduk di depan cermin. Ia melepas perhiasan satu per satu, sorot matanya redup namun penuh perhitungan.
Dalam hidupku yang dulu, aku terlalu percaya pada dukungan Elenora.. dan itu menjadi awal kehancuranku.
Kali ini tidak.
Aku akan menjaga jarak, bermain dengan hati-hati. Jika Elenora ingin menguji, maka aku akan menjadi teka-teki yang tidak mudah ditebak.
Ia tersenyum samar pada bayangannya sendiri, lalu memadamkan lilin.
***
Sementara itu, di paviliun timur yang sederhana, Annette duduk di ranjang kayu dengan kecapi kecil di pangkuannya. Jari-jarinya memetik dawai, menghasilkan melodi lembut yang memenuhi kamar.
Ia baru saja selesai menulis surat singkat untuk keluarganya di utara, bercerita tentang kehidupan di istana. Ia tidak menuliskan detail kompetisi, hanya hal-hal sederhana: taman yang indah, burung merpati yang beterbangan di halaman, dan rasa kagumnya pada arsitektur istana.
“Mary benar,” gumamnya pada diri sendiri, mengingat obrolannya siang tadi dengan salah satu dayang. “Istana ini memang indah, tapi juga penuh rahasia.”
Namun Annette tidak ingin terlalu memikirkan itu. Baginya, berada di sini sudah merupakan suatu kehormatan. Ia tidak pernah membayangkan namanya bisa disejajarkan dengan putri-putri bangsawan besar.
***
Di Paviliun Seraphine, Elenora menulis dengan pena bulu di atas kertas tebal berhias lambang kerajaan. Beberapa nama kandidat ia coret, beberapa lainnya ia beri tanda lingkaran kecil.
“Camilla Barak..” bisiknya lirih, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gadis itu mengerti cara menjawab tanpa memberi terlalu banyak. Hm, menarik.”
Seorang dayang mendekat, membawa teh hangat. “Apakah Yang Mulia ingin saya menyampaikan pesan kepada para juri untuk memperhatikan Lady Camilla lebih?”
Elenora menutup kipasnya dengan lembut. “Belum. Biarkan dia tumbuh dengan sendirinya. Bunga yang dipaksa mekar terlalu cepat hanya akan patah di tangkainya. Aku ingin melihat bagaimana dia bergerak, tanpa aku dorong sekalipun.”
Namun matanya berkilat penuh perhitungan. Ia sudah menyiapkan panggung besar, dan Camilla hanyalah salah satu bidak di papan catur yang perlahan ia gerakkan.
***
Fajar berikutnya, istana kembali sibuk. Kandidat-kandidat dipanggil untuk persiapan sesi kedua penilaian, yaitu ujian keterampilan. Para bangsawan memenuhi balkon aula, ingin menyaksikan siapa yang mampu bersinar di hadapan Putra Mahkota.
Camilla berjalan dengan langkah mantap ke aula, jantungnya berdebar tapi wajahnya tetap tenang. Ia tahu, ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah saat para penguasa menentukan siapa yang layak dipertaruhkan.
Di sisi lain, Annette berjalan dengan kecapi kecilnya, tampak sederhana di antara kandidat lain yang membawa lukisan, kaligrafi, atau bahkan karya pahat rumit. Ia tidak tahu bahwa di balkon atas, Arthur sudah menunggu, matanya hanya mencari satu sosok.
***
Keesokan paginya, paviliun keluarga Barak dipenuhi cahaya matahari yang lembut. Burung-burung berkicau di taman, namun suasana hati Camilla tetap waspada. Ia tahu setelah pertemuannya dengan Ibu Suri, setiap langkahnya kini akan diawasi lebih ketat.
Mary membawa nampan sarapan ke kamarnya. “Lady, semua orang membicarakan Anda sejak semalam. Mereka bilang Ibu Suri sendiri yang mengundang Anda. Itu.. besar sekali artinya.”
Camilla hanya menatap bubur lembut di mangkuk tanpa banyak selera. “Itu juga berarti aku kini target gosip dan pengawasan, Mary. Jangan terlalu gembira.”
Mary menggigit bibirnya, lalu menunduk. “Saya mengerti.”
Camilla menarik napas panjang, kemudian berdiri dan berjalan ke jendela. Dari sana, ia bisa melihat halaman paviliun lain. Beberapa kandidat sibuk berlatih, sebagian sibuk dengan gaun dan tata rias. Namun ia tahu, yang mereka semua lakukan bukan sekadar untuk penampilan, melainkan strategi untuk bertahan.
“Mary,” katanya lirih, “mulai hari ini, dengarkan semua gosip yang beredar. Aku ingin tahu apa yang dibicarakan orang tentangku, juga tentang kandidat lain.”
Mary tampak terkejut. “Apakah itu penting, Lady?”
Camilla menoleh, tatapannya tajam. “Lebih penting daripada gaun terindah sekalipun. Kadang, yang menentukan bukan apa yang kita lakukan, melainkan apa yang orang pikir kita lakukan.”
Mary mengangguk, kini mengerti. “Baik, saya akan memperhatikan.”
Sementara itu, di paviliun kecil timur, Annette duduk di kursi kayu sederhana. Jemarinya memetik kecapi, melodi lembut mengalun, memenuhi ruangan dengan kehangatan. Gadis itu memang tidak memiliki gaun paling indah, atau perhiasan paling mencolok, tetapi ada ketulusan dalam dirinya yang tidak bisa dipalsukan.
Dayangnya, Liora, masuk sambil membawa kain yang baru dijahit. “Lady, saya sudah menyelesaikan perbaikan gaun Anda untuk acara berikutnya. Tidak seindah milik kandidat lain, tapi. semoga cukup.”
Annette tersenyum lembut. “Terima kasih, Liora. Aku tidak butuh gaun mewah. Selama kita bisa menjaga kesopanan, itu sudah cukup.”
Liora menggenggam kain itu erat. “Tapi Lady.. mereka semua menilai dari penampilan. Bagaimana kalau..”
Annette menutup percakapannya dengan senyum yang menenangkan. “Aku percaya pada hal yang berbeda. Kalau memang aku ditakdirkan gagal hanya karena gaun sederhana, maka biarlah begitu. Aku tak ingin berubah hanya untuk kesan semu.”
Liora terdiam, matanya berair karena kagum sekaligus cemas. Ia tahu dunia istana bukan tempat untuk hati yang terlalu polos.
***
Di ruang kerjanya, Arthur memanggil Aiden. Wajah Putra Mahkota itu tampak lelah, tapi matanya menyimpan kilat tekad.
“Aiden, bagaimana kabar yang kau dengar pagi ini?” tanya Arthur.
“Seperti dugaan, Yang Mulia,” jawab Aiden hati-hati. “Banyak bangsawan mulai membicarakan Lady Camilla. Mereka bilang Ibu Suri sudah memberi sinyal restu. Itu membuat sebagian besar keluarga besar mulai mengerahkan dukungan ke arahnya.”
Arthur mengetukkan jarinya di meja. “Camilla memang berbakat. Tapi aku tidak bisa menutup mata pada Annette.”
Aiden terdiam sejenak. “Dengan segala hormat, Yang Mulia.. dunia ini jarang menerima cinta polos tanpa syarat. Politik dan kekuasaan selalu ikut menentukan.”
Arthur menatap tajam. “Aku tahu itu. Tapi aku bukan hanya Putra Mahkota. Aku juga manusia. Dan aku berhak memilih siapa yang akan menemaniku, bukan hanya siapa yang berguna bagi kerajaan.”
Aiden menunduk, tidak berani membantah lebih jauh.
Namun dalam hati, ia khawatir. Karena ia tahu, semakin Arthur menaruh perhatian pada Annette, semakin besar badai yang akan mengguncang keduanya.
***
Hari berikutnya, aula latihan dipenuhi para kandidat. Mereka diminta memperlihatkan keterampilan yang dianggap bisa mendukung peran sebagai Putri Mahkota.
Ada yang menampilkan tarian, ada yang melantunkan puisi, ada pula yang menunjukkan kemampuan diplomasi dengan berdebat ringan.
Camilla maju dengan langkah tenang. Ia tidak membawa alat musik, tidak pula menyiapkan tarian. Sebaliknya, ia mengambil gulungan peta kerajaan yang sudah disiapkan panitia.
“Kerajaan ini berdiri kokoh karena tiga pilar: rakyat, bangsawan, dan istana,” ucap Camilla dengan suara lantang.
“Namun perbatasan timur kita masih rawan serangan. Jika saya boleh berpendapat, pembangunan benteng tambahan dan penempatan garnisun akan memberi rasa aman bagi rakyat sekaligus meneguhkan kewibawaan kerajaan.”
Para juri terdiam sesaat, lalu mengangguk-angguk. Seorang bangsawan tua berbisik, “Gadis ini berpikir seperti negarawan…”
Sorak-sorai kecil terdengar dari kursi penonton. Camilla menunduk sopan, lalu mundur dengan hati tenang. Ia tahu penampilan ini akan mengukuhkan citranya sebagai kandidat paling matang.
Setelah itu, giliran Annette. Gadis itu maju dengan kecapi di pelukannya. Jemarinya gemetar sedikit, tapi begitu ia mulai memetik, suara jernih mengalun. Lagu yang sederhana, tapi penuh ketulusan.
“Aku percaya,” ucap Annette dengan lirih di akhir lagunya, “bahwa hati yang damai lebih kuat dari pedang. Jika aku bisa membawa sedikit kedamaian untuk Putra Mahkota, maka tugasku sudah cukup.”
Ruangan sunyi sesaat. Beberapa juri menatapnya dengan bingung, sebagian lagi dengan ragu. Tidak ada strategi besar, tidak ada rencana pembangunan, hanya ketulusan.
Namun dari balkon atas, Arthur berdiri. Matanya tak pernah lepas dari Annette. Senyum samar muncul di wajahnya, senyum yang tidak pernah diberikan pada kandidat lain.
Camilla melihat itu dari sudut matanya. Sekilas, ia merasakan perasaan asing, bukan cemburu, melainkan kesadaran bahwa jalan yang ia tempuh berbeda dari jalan Annette. Dua kekuatan yang bertolak belakang, namun sama-sama berbahaya.
Selepas acara, gosip menyebar lebih cepat daripada angin. Para pelayan dan dayang di paviliun sibuk berbisik.
“Lady Camilla.. dia bicara seperti seorang ratu sejati. Semua orang yakin dia calon terkuat.”
“Tapi kau lihat Putra Mahkota? Tatapannya tidak pernah lepas dari Lady Annette. Itu pertanda jelas!”
“Kalau begitu, kerajaan bisa terbelah. Apa yang dipilih hati Putra Mahkota tidak selalu sama dengan yang dipilih istana.”
Mary mendengar semua bisikan itu ketika berjalan kembali ke paviliun. Ia segera melapor pada Camilla. “Lady, semua orang tahu Anda kuat, tapi mereka juga mulai membicarakan kedekatan Putra Mahkota dengan Lady Annette.”
Camilla duduk di kursi, menatap secangkir teh yang masih mengepul. “Begitulah seharusnya permainan ini berjalan, Mary. Aku akan menjadi pohon yang kokoh, sementara dia—” Camilla menutup matanya sebentar. “—akan menjadi bunga yang lembut. Pada akhirnya, kita lihat mana yang dipilih istana.”
Mary menggenggam tangan tuannya erat. “Saya percaya pada Lady. Tidak ada yang bisa menggoyahkan pohon yang berakar sedalam Anda.”
Camilla tersenyum tipis, meski hatinya berputar penuh perhitungan. Ia tahu, ini baru awal. Dan badai yang sesungguhnya belum dimulai.
***
Di sisi lain istana, Ibu Suri Elenora menerima laporan dari mata-matanya. Wanita itu duduk di kursi tinggi, memutar kipas gadingnya pelan.
“Camilla makin menguat,” lapor seorang dayang. “Namun Putra Mahkota tampak condong ke Annette.”
Elenora tersenyum samar. “Biarkan saja. Anak itu masih muda. Ia boleh bermain dengan hatinya sebentar. Pada akhirnya, kerajaan membutuhkan ratu yang bisa menopang tahta, bukan gadis kecil dengan kecapi.”
Ia menutup kipasnya dengan bunyi lembut, seolah menutup sebuah keputusan. “Tapi tetap awasi Annette. Kadang, bunga kecil bisa membuat pohon besar goyah.”