Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Cukup Kak Arjun!
Di lantai lima, suasana koridor terasa sunyi. Hanya lampu-lampu putih redup yang menyinari jalur menuju kamar rawat. Pintu ruang 506 kini terbuka setengah, suara lembut Mama Riri terdengar dari dalam.
“Pelan-pelan ya, Nak. Jangan buru-buru.”
Arjuna melangkah masuk perlahan. Di ranjang, Lidya sudah duduk bersandar dengan bantal tinggi. Pipi pucatnya kini sedikit berwarna setelah menerima cairan infus dan obat. Mama Riri duduk di sisi ranjang, menyuapi sendok demi sendok bubur hangat jatah dari rumah sakit ke mulut putrinya.
“Ma,” panggil Arjuna pelan sambil menutup pintu.
Mama Riri menoleh, senyum hangat muncul di wajah lelahnya. “Oh, Arjuna. Kamu udah balik. Mama pikir kamu udah pulang.”
“Aku ke bawah tadi, pesenin makanan buat Mama juga.” Arjuna mengangkat kantong kertas. “Makan dulu, Ma. Aku gantian jagain Lidya.”
“Ah, kamu ini, Nak … padahal kamu pasti juga capek, tadi dari kantor langsung ke sini.”
Arjuna meletakkan kantong itu di meja kecil, lalu menatap Mama Riri dengan tatapan lembut tapi tegas. “Aku nngak capek, biasa saja. Mama makan dulu. Aku nggak akan ke mana-mana.”
Mama Riri akhirnya berdiri perlahan. “Baiklah, Mama makan sebentar di luar sekalian mau ke mushola. Kamu temani adikmu, ya.”
Begitu pintu tertutup, ruangan itu kembali hening.
Lidya menunduk menatap sendok di tangannya, wajahnya kaku.
“Kamu nggak perlu ngelakuin semua ini, Kak,” ucapnya pelan.
Arjuna menarik kursi, duduk di sisi ranjang. “Ngelakuin apa?”
“Pesenin makanan buat Mama. Nungguin aku. Harusnya kamu pulang aja. Ada yang lebih penting nunggu di rumah.”
“Yang lebih penting?” Arjuna tersenyum samar. “Kamu pikir aku bisa tenang ninggalin kamu kayak gini?”
Lidya tidak menjawab, tapi hatinya jelas terkejut. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap gelap malam yang menelan suara hujan gerimis. “Aku nggak mau Kak Eliza salah paham, kalau lihat Kakak mengurusku.”
“Kalau dia salah paham, itu urusanku,” potong Arjuna cepat.
“Kak Arjun yakin?”
Beberapa detik mereka sama-sama diam. Suara hujan di luar jendela menjadi latar, menambah ketegangan yang tak kasat mata di antara mereka.
“Yakin.”
Nada itu terdengar berat, dalam, dan menutup segala kemungkinan perdebatan. Lidya mendesah pelan.
Beberapa detik mereka sama-sama diam. Suara hujan di luar jendela menjadi latar, menambah ketegangan yang tak kasat mata di antara mereka.
Lidya akhirnya bicara lagi, suaranya pelan tapi jelas. “Kamu tahu nggak, Kak … kadang aku iri sama Kak Eliza. Dia punya kamu. Punya seseorang yang selalu tenang, dewasa, siap menanggung semuanya. Tapi … aku sadar, aku mungkin nggak akan pernah bisa punya hal itu.” Entah kenapa ia tiba-tiba saja berkata seperti itu.
Arjuna menatapnya. Tatapannya tajam, tapi di balik itu ada sesuatu yang menekan dada, rasa bersalah. “Jangan ngomong kayak gitu, Lid. Hidup kamu belum selesai. Pastinya nanti akan ada jodoh buatmu, yang menerima kamu apa adanya."
“Mungkinkah? Aku ini beban buat Mama, buat semua orang. Apalagi, masa depanku sudah hancur.”
“Cukup.” Arjuna mencondongkan tubuh, suaranya menurun namun tegas. “Aku nggak mau denger kata-kata itu lagi. Bukankah kita sudah sepakat.”
Tatapan mereka bertemu — sesaat, tapi cukup untuk membuat udara di ruangan berubah.
“Kak Arjun, aku minta ... bersikaplah seperti biasa. Seperti sebelum ada kejadian di antara kita berdua. Aku tidak ingin salah paham atas segala perhatian dengan mengatasnamakan seorang ‘kakak ipar', karena aku perempuan yang mudah terlena dengan perhatian laki-laki. Dan, begitu pula aku tidak ingin Mama dan Kak Eliza salah paham, aku rasa sudah cukup. Seharusnya Kakak pun bisa memegang ucapan sendiri.”
Ada sesuatu di mata Arjuna yang tak bisa Lidya jelaskan — bukan sekadar kasihan, tapi juga ketakutan. Ketakutan akan sesuatu yang tumbuh di tempat yang salah.
Sebelum Lidya kembali bicara lagi, suara dering ponsel memecah hening. Mama Riri baru saja kembali, membawa nampan berisi nasi kotak dan air mineral yang belum sempat ia makan. Ia mengangkat ponsel yang terus bergetar.
“Eliza?” kata Mama Riri pelan, membaca nama di layar. “Ya ampun, kenapa baru nelpon sekarang.”
Arjuna langsung menegakkan punggung.
Mama Riri menekan tombol hijau. “Halo, El? Mama di rumah sakit. Iya, di Brawijaya. Dari tadi sore Mama telepon kamu kenapa nggak diangkat? Lidya di rawat. Oh? Kamar 506, Nak. Iya, silakan kalau mau ke sini. Adikmu sakit.”
Begitu telepon ditutup, Mama Riri memandang Arjuna dan Lidya bergantian. “Eliza mau ke sini. Tapi, katanya masih di mall.”
Lidya menunduk, menahan napas. Arjuna hanya mengangguk kecil.
***
Beberapa menit kemudian di pusat perbelanjaan, Eliza berdiri di depan kasir butik tas ternama.
“Ma’am, are you still taking this item?” tanya kasir sopan.
Eliza menatap tas krem di depannya — model terbaru yang ia idamkan sejak pagi. Kedua temannya, Shinta dan Eva, sudah membawa belanjaan masing-masing. Tapi kartu debit Eliza tertahan di tangan, dan ponselnya menunjukkan 8 panggilan tak terjawab — semua ke Arjuna.
“Oh … suamiku masih lagi meeting, kayaknya lupa transfer, “ katanya tersenyum kaku. “Tasnya aku ambil besok aja, ya. Biar dia transfer dulu.”
Shinta tertawa kecil. “Ih, suamimu tuh sibuk banget sih, El. Padahal cuma 75 juta aja.”
Eva ikut menyahut, “Atau jangan-jangan dia lupa ya, bukan karena lagi meeting, tapi sibuk jagain gundikmu yang sakit?”
Senyum Eliza langsung kaku. “Jagain gundik? Maksud kamu?” Ia heran mengapa temannya tahu.
“Ya, aku lihat di story-nya temen yang kerja di RS Brawijaya. Katanya dia lihat Mas Arjuna ada di sana. Tapi nggak tahu nemenin siapa. Yang jelas sih perempuan. Jangan-jangan, suamimu diam-diam punya simpanan.”
Wajah Eliza langsung berubah pucat. “Eh.” Ia teringat kalau suaminya memang ada di rumah sakit.
Eva buru-buru menambahkan, “Eh, mungkin cuma kebetulan. Tenang aja, El—”
Tapi Eliza sudah mengambil tasnya, menyambar ponselnya. “Aku ke sana sekarang. Aku baru ingat adikku masuk rumah sakit."
Bersambung ... ✍️