Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merindukannya
“Kau, kau, sengaja, ya!”
Green mendorong tubuh suaminya dan bergegas bangkit dari atas tubuh Rex. Wajahnya memerah karena marah sekaligus malu.
Rex yang mendapatkan tuduhan tersebut hanya tertawa kecil dan terlihat sangat menikmati ekspresi galak istrinya.
“Dengan kondisiku yang seperti ini. Bagaimana mungkin aku melakukannya dengan sengaja.” Rex menunjuk bagian kakinya yang masih terasa sakit. “Kau seharusnya yang berhati-hati, Nyonya Carson. Atau... kau memang sengaja melakukannya? Sayangnya, kau harus bersabar sampai kakiku sembuh.”
Rex menaikkan sebelah alisnya untuk menggoda Green dan itu sungguh berhasil.
Green merasakan matanya yang berkedut saat mendengar panggilan suaminya. Wajahnya yang sudah memerah semakin gelap mendengar ucapan pria itu.
“Jangan mengada-ngada. Kau jelas-jelas yang menarik bajuku.”
“Aku tidak menariknya, aku hanya berpegangan supaya tidak terjatuh. Siapa yang tahu kau akan...”
“Hentikan omong kosongmu.” Entah apa lagi yang akan dikatakanya jika Green membiarkan pria itu mengoceh. “Aku tidak punya waktu untuk meladeni manusia mesum sepertimu!”
Green merapikan pakaian yang sempat berantakan karena ditarik oleh Rex. “Makanlah, aku harus pergi untuk bekerja. Membuang-buang waktu saja.”
Dengan kesal, Green melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, bersiap untuk meninggalkan apartemen. Namun, tiba-tiba Rex berkata, “Aku memesan banyak makanan. Lebih baik kau makan siang terlebih dahulu.”
“Tidak perlu. Kau makan saja sendiri!” ketus Green seraya membuka pintu.
Sebelum wanita itu berhasil melangkahkan kakinya keluar pintu suara Rex kembali terdengar. “Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Antonio untuk menemaniku makan. Dan mungkin... beberapa polisi yang akan menginterogasiku.”
Mendengar kata polisi, punggung Green menegang. Dia tahu kalau Rex sedang mengancamnya dengan alasan tidak mau merawatnya.
Sial!
Mengentakkan kakinya dengan kesal, Green kembali menghampiri Rex. Ia menarik meja supaya lebih dekat dengan sofa dan memudahkan suaminya untuk makan.
“Cepat makanlah. Aku tidak punya banyak waktu.”
Rex mengulum senyuman dan segera menerima wadah makanan yang sebelumnya dibawa gadis itu dari tempat kerjanya.
Green sama sekali tidak melirik ke arah Rex di sampingnya. Ia hanya menghabiskan makanan dengan cepat. Bukan karena takut terlambat, tapi karena dia tidak mau terus-terusan dekat dengan pria ini.
Semakin lama ia berada di sisi Rex, akan semakin sakit kepalanya, karena pria itu akan terus berbicara melantur.
Rex yang hanya baru menghabiskan makanannya sebanyak dua suapan, terus memperhatikan istrinya. Bagaimana cara wanita ini makan, bagaimana ia masih bisa menelan makanannya meski hatinya sedang dongkol dan sesekali menggerutu dengan suara yang tidak jelas.
Setelah beberapa saat, Green meletakkan sendoknya setelah menghabiskan makanannya. “Selesai,” katanya seraya meneguk air di dalam gelas. “Aku harus buru-buru pergi bekerja. Biarkan saja piring kotornya aku akan membersihkannya setelah pulang.”
Green berdiri dan meninggalkan apartemennya dengan tergesa-gesa. Jangan sampai Rex kembali menghentikannya untuk alasan yang konyol.
Namun, saat baru saja menutup pintu, suara Rex yang samar terdengar dari dalam.
“Hati-hati istriku.”
Green terlihat jengkel tapi dia enggan menanggapi ucapan suaminya dan segera kembali dengan motornya.
Begitu sampai di tempat kerja, salah satu rekan kerjanya menghampiri.
“Green, kau baru kembali?”
“Hmmm!”
“Apakah terjadi sesuatu di perjalanan? Tidak biasanya kau aga lama mengantarkan pesanan."
Green terdiam, tidak mungkin, kan ia mengatakan harus menemani suaminya makan siang terlebih dahulu?
“Ya, itu... aga sedikit macet.”
“Tidak masalah. Apakah kau sudah makan siang?” Lizbet, teman dekat Green menghampiri dan bertanya. Bagian kitchen membuatkan kita makanan.”
Green menelan ludah. Perutnya sangat kenyang saat ini karena dia menghabiskan makanan yang dipesan oleh Rex sebelumnya.
“Terima kasih, Kak, tapi tadi aku sempat mampir untuk membeli makan karena sudah telanjur lapar.”
Terpaksa dia berbohong meski sedikit merasa bersalah.
“Kau ini bagaimana? Kebiasaan menunda makan. Apakah pagi tadi kau tidak sarapan?”
Mendengar Green yang kelaparan, Lizbet segera khawatir. Hafal betul bagaimana gadis ini yang tidak merawat dirinya dengan benar. Sering melewatkan makan.
“Ya, hanya makan sereal,” kilahnya tanpa berani menatap Lizbet yang berdiri di hadapannya.
“Baiklah, kalau begitu kau bisa meneruskan pekerjaanmu. Biar aku simpankan makanannya untuk nanti malam.”
Green tersenyum senang mendengar hal itu. “Terima kasih, Kak.”
Green bergegas menghampiri rekannya dan bertanya apakah masih ada pesanan yang harus diantarkan? Ternyata ada dua pesanan lainnya. Ia segera mengantarkannya.
Tidak seperti saat mengantar makanan pesanan Rex, kini Green kembali lebih cepat.
Setelah semua pesanan selesai diantarkan, Green kembali membantu yang lainnya untuk melayani pelanggan yang makan di tempat. Sesekali, Green juga membantu bagian dapur untuk mencuci piring atau sekedar memotong bahan makanan yang akan dimasak oleh chef.
Sekitar pukul setengah sembilan malam, Green menyelesaikan pekerjaannya. Dia merebahkan tubuhnya di kursi yang ada di ruang karyawan. Beberapa rekannya sedang sibuk berganti pakaian.
“Green, mau menumpang padaku untuk pulang?” Seorang pemuda tampan seumuran dengan Green bertanya. “Ini sudah malam, tidak baik kalau kamu pulang dengan sepedamu.”
Green bangkit dari berbaringnya dan menatap pria yang menawarkan tumpangan itu. “Terima kasih, Kak, tawarannya. Tapi aku akan pulang dengan sepedaku saja. Tenang saja, arah ke tempat tinggalku sangat aman dan sering banyak polisi yang berpatroli malam.
“Baiklah kalau begitu.”
Pria itu sama sekali tidak memaksa karena dia sudah tahu bagaimana Green yang tidak kan berhasil meski dibujuk bagaimanapun juga kalau sudah mengambil keputusan.
Green tidak memerlukan untuk berganti pakaian karena ia hanya perlu melepaskan rompinya setelah itu segera meninggalkan kafe.
Saat akan keluar dari area tempatnya bekerja dengan sepeda ontelnya, ponsel Green berbunyi. Ia mendapatkan sebuah pesan. Buru-buru dia membukanya dan membaca pesan tersebut.
[Bagaimana mungkin kau bisa melewatkan peringatan tiga tahunnya? Apa kau sungguh membencinya?]
Green menatap lekat pesan tersebut tapi sama sekali tidak menunjukkan tekad untuk membalasnya.
Saat Green hendak mengabaikan pesan tersebut. Pesan lainnya masuk. Buru-buru ia membukanya. Sebuah pesan dari nomor yang berbeda dari sebelumnya.
[Aku tahu itu sangat berat bagimu. Tidak apa-apa tidak kembali, asalkan kamu sembuh dan bahagia atas hidupmu, itu sudah cukup bagi kami. Tapi, kalau kamu sudah siap untuk kembali, aku sendiri yang akan menjemputmu.]
Membaca pesan kedua itu, Green tak kuasa menahan perasaannya. Matanya mulai memerah dan cairan bening menggenang di pelupuk mata. Ia bahkan menepuk dadanya yang tiba-tiba terasa sesak dan sakit. Ia pikir, dirinya sudah tidak peduli, tapi semuanya masih sama, menyakitkan.
Menghela napas dalam-dalam, Green membuka ruang obrolan lain yang mana sudah tidak pernah ada satu pesan pun muncul dari nomor itu tapi setiap hari selalu ia buka, selalu ia harapkan, dan selalu ditunggu, tapi sudah tiga tahun berlalu tidak ada satu pesan yang masuk.
Air mata yang sekuat tenaga ditahannya akhirnya jatuh juga di pipinya dengan suara lirih Green berkata, “I miss you, Dad.”
.
.
.
.
Hai Readers, jangan lupa tap dulu like-nya dan berikan vote untuk mendukung cerita ini. Kalau kalian suka ceritanya, sampaikan di kolom komentar. Terima kasih love....
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor