NovelToon NovelToon
Paket Cinta

Paket Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Chicklit / Enemy to Lovers
Popularitas:793
Nilai: 5
Nama Author: Imamah Nur

Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.

   Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.

   Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?

Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12. Pengakuan Palsu

“Loh ini kan Mbak Nokia temannya Rina ya? Kok digendong sama Mas Gojek? Ada apa ini?”

Reygan tidak berhenti. Ia hanya mengubah sudut tubuhnya sedikit, memosisikan punggungnya sebagai perisai antara Nokia dan tatapan tajam Bu Ratna. “Darurat, Bu. Permisi,” geramnya, suaranya rendah dan mendesak.

Reygan begitu melesat melewati wanita itu begitu saja.

Nokiami bisa merasakan tatapan menusuk Bu Ratna pada punggung Reygan. Wajahnya memerah karena malu sebab digendong oleh kurir pemarah. Disaksikan oleh biang gosip nomor satu di gedung ini.

“Turunkan aku,” bisiknya putus asa ke bahu Reygan. “Orang-orang melihat.”

“Biar saja mereka melihat,” balas Reygan dengan napas yang mulai memburu karena menuruni tangga dengan cepat sambil membawa beban. “Lebih baik dilihat orang daripada jadi arang. Sekarang diam.”

Perintah itu, meski kasar, memiliki efek menenangkan yang aneh. Nokiami menurut. Ia menyandarkan kepalanya lebih dalam, menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Reygan.

Aroma jaket Reygan yang begitu aneh, campuran antara detergen, debu jalanan, dan keringat memenuhi indranya. Ini bukan aroma yang menyenangkan, tetapi Nokiami paham aroma ini ditimbulkan akibat perjuangan keras.

Mereka terus menuruni tangga darurat yang remang, hanya diterangi oleh lampu darurat dan kedipan strobo merah yang menyelinap dari celah pintu. Suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan gumaman panik dari penghuni lain menggema di sekitar mereka. Reygan bergerak seperti mesin, langkahnya mantap dan efisien, seolah ia telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengevakuasi pelanggan yang merepotkan dari gedung yang terbakar.

Nokiami bisa merasakan otot-otot di punggung dan lengan Reygan menegang. Ia juga ikut merasakan getaran setiap kali kaki Reygan menghantam anak tangga beton. Pria ini kuat. Jauh lebih kuat dari yang ia duga meskipun semakin lama napas Reygan semakin berat, tetapi cengkeramannya pada Nokia tidak goyah sedikit pun.

Akhirnya, mereka tiba di lobi. Udara di sini terasa lebih dingin dan lapang. Sirene alarm berhenti melengking tiba-tiba, meninggalkan keheningan yang canggung dan berdengung di telinga.

Puluhan penghuni berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, beberapa masih memakai piyama, yang lain memeluk hewan peliharaan. Wajah mereka dipenuhi kebingungan dan kekesalan.

Reygan segera mencari sudut yang paling tidak mencolok dan dengan hati-hati menurunkan Nokiami hingga kakinya yang sehat menapak lantai. Nokiami bersandar di dinding yang dingin, merasakan darah kembali mengalir ke kakinya yang terlipat.

“Terima kasih,” ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Reygan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat, matanya sibuk memindai kerumunan, wajahnya pucat dan tegang. Ia menyugar rambutnya yang sedikit basah oleh keringat, jaket hijaunya kini tampak sangat mencolok di antara pakaian rumahan para penghuni. Ia tampak seperti penyusup, seorang asing yang tertangkap di tempat yang salah pada waktu yang paling salah.

Saat itulah seorang petugas keamanan berbadan tegap dengan kumis tebal menghampiri mereka. Seragam birunya tampak rapi, dan raut wajahnya menunjukkan otoritas yang tidak bisa diganggu gugat.

“Selamat malam,” sapanya, suaranya berat dan resmi. Matanya beralih dari Reygan ke Nokiami, lalu kembali ke Reygan. “Bapak pengemudi ojek daring, kan? Sedang apa di sini?”

Jantung Reygan seolah berhenti berdetak. Ini dia. Momen yang paling ia takuti.

“Saya … saya baru saja mengantar pesanan, Pak,” jawabnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

Petugas keamanan itu mengangkat sebelah alisnya. “Mengantar pesanan? Sampai ke dalam unit? Saat alarm berbunyi?”

“Tidak, Pak. Saya sudah di lobi waktu alarm bunyi,” bohong Reygan cepat.

Petugas keamanan tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah.

“Begitu ya? Soalnya Bu Ratna dari lantai 3 tadi lapor ke saya, katanya lihat Bapak gendong Mbak ini turun dari tangga darurat. Itu jauh dari lobi, Mas.”

Merasa tertangkap basah, Reygan menelan ludah. Ia bisa merasakan tatapan Nokiami yang panik tertuju padanya. Seluruh skenario buruk berkelebat di kepalanya. Laporan ke kantor pusat, penangguhan akun, pemecatan, utang ayahnya yang menumpuk. Semua akan hancur hanya karena sebuah galon air dan alarm sialan.

Ia harus memikirkan sesuatu. Sesuatu yang masuk akal, yang bisa menjelaskan kehadirannya di lantai atas tanpa melanggar aturan. Sesuatu yang bisa melindungi dirinya dan gadis di sebelahnya dari pertanyaan lebih lanjut.

Pikir, Reygan, pikir! otaknya berteriak.

Ia melirik Nokiami. Wajah gadis itu pucat, matanya memancarkan ketakutan yang sama seperti saat ia melarikan diri dari sesuatu. Saat itu, Reygan sadar kebohongan ini bukan hanya untuk menyelamatkan pekerjaannya. Jika petugas keamanan ini mulai curiga dan mencatat identitas Nokiami, bisa jadi data itu akan sampai ke tangan yang salah. Ke tangan Leo.

Satu-satunya jalan keluar adalah sebuah kebohongan yang begitu besar hingga tidak ada yang berani mempertanyakannya lebih jauh.

Reygan menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah maju sedikit, memposisikan dirinya di antara Nokiami dan petugas keamanan, seolah sedang melindungi. Ia menatap lurus ke mata petugas keamanan itu, ekspresinya berubah dari panik menjadi tegar dan penuh kepemilikan.

“Maaf, Pak. Saya tadi tidak jujur,” katanya dengan suara yang mantap dan jelas, cukup keras untuk didengar oleh beberapa orang di dekatnya. “Saya bukan sekadar kurir.”

Pria di dekatnya menyipitkan mata. “Lalu?”

Reygan mengulurkan tangannya ke belakang dan meraih tangan Nokiami yang dingin. Nokiami tersentak kaget oleh sentuhan tiba-tiba itu, tetapi Reygan menggenggamnya erat, sebuah sinyal tanpa kata untuk diam dan mengikuti alurnya.

“Dia ini tunangan saya,” ucap Reygan.

Keheningan melanda. Nokiamu membelalakkan mata. Mulutnya sedikit terbuka karena syok. Ia mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Reygan terlalu kuat.

Petugas keamanan tampak sama terkejutnya. Kumisnya bergerak-gerak. “T ... tunangan?”

“Betul, Pak,” lanjut Reygan, kini dengan kepercayaan diri yang tinggi.

“Namanya Nokiami. Kakinya sedang cedera parah, tidak bisa jalan. Saya datang menjenguknya tadi, membawakan makanan dan obat. Pas mau pulang, alarm bunyi. Tentu saja saya tidak mungkin meninggalkan tunangan saya yang sedang sakit sendirian di atas. Makanya saya gendong dia turun.”

Penjelasan Reygan terdengar sangat meyakinkan. Nokiami hanya bisa menatap profil Reygan dengan tak percaya. Pria yang beberapa jam lalu memerasnya untuk ongkos angkat galon, pria yang menatap foto keluarganya dengan kebencian, kini berdiri di hadapannya, menggenggam tangannya, dan mengklaim ikatan paling serius yang bisa dibayangkan. Ikatan yang sama persis dengan pria yang coba ia lepaskan. Ironi itu begitu pahit hingga membuat perutnya mulas.

Petugas keamanan mengamati mereka berdua, dari tangan mereka yang bertautan hingga wajah Nokiami yang pucat. Akhirnya, ekspresi curiganya melunak, digantikan oleh pemahaman dan sedikit rasa bersalah.

“Oh, begitu. Wah, maaf kalau begitu, Mas. Saya tidak tahu,” katanya, nadanya berubah total.

“Tindakan yang benar, Mas. Tentu saja keluarga harus didahulukan. Syukurlah tidak terjadi apa-apa. Ternyata hanya alarm palsu, ada yang merokok di dekat detektor asap di lantai atas.”

“Syukurlah,” sahut Reygan datar. Ia melepaskan tangan Nokiami, seolah benda itu baru saja menyetrumnya. “Kalau begitu, kami permisi kembali ke atas, Pak.”

“Silakan, Mas, Mbak. Sekali lagi maaf sudah mengganggu.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Reygan berbalik dan berjalan menuju lift yang sudah kembali beroperasi, meninggalkan Nokiami yang masih terpaku di tempat.

Tak lama kemudian Nokiami buru-buru terpincang-pincang mengikutinya.

Perjalanan di dalam lift terasa begitu lama. Mereka berdiri di sudut yang berlawanan, tidak saling menatap, tidak bersuara. Hanya ada deru mesin lift yang naik dan detak jantung Nokiami yang berdebar kencang di telinganya sendiri.

Pintu lift terbuka di lantai tiga, Reygan melangkah keluar lebih dulu, berjalan menuju unit Nokiami, seolah ia sudah hafal jalannya. Ia menunggu sementara Nokiami membuka kunci pintu dengan tangan gemetar.

Begitu pintu tertutup di belakang mereka, memisahkan mereka dari dunia luar, Nokia langsung berbalik menghadapnya. Adrenalin dari evakuasi dan kebohongan itu kini berubah menjadi amarah yang bergetar.

“Tunangan?” desisnya, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan. “Dari semua kebohongan yang bisa kamu karang di dunia ini, kamu memilih kata itu?”

Reygan bersandar di pintu, melipat tangannya di depan dada. Wajahnya kembali menjadi topeng dingin yang tak terbaca. Ia menatap Nokiami dengan mata kosong, seolah percakapan di lobi tadi tidak pernah terjadi.

“Itu adalah penjelasan paling efisien untuk situasi kita,” jawabnya singkat.

“Efisien?” ulang Nokiami, nadanya meninggi. “Kamu tidak tahu apa-apa soal kata itu bagiku! Kamu baru saja …”

“Diam,” potong Reygan, nadanya tajam, mematikan protes Nokiami seketika. Matanya yang dingin menatap lurus ke arah Nokiami, tanpa sedikit pun penyesalan.

“Jangan terlalu cerewet. Anggap saja itu bonus. Harga sewa untuk layanan galon air.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!