Accidentally Wedding
Udara di Puncak Blackwood adalah campuran memabukkan dari keheningan dan dinginnya ketinggian, bau tanah basah, dan aroma samar cemara yang dibawa oleh angin malam.
Pemandangan dari sini, di ketinggian hampir dua ribu meter di atas permukaan laut, selalu berhasil membungkam pikiran Greenindia Simon. Bagi Green, nama panggilan yang ia pilih karena lebih ringkas dan menenangkan, tebing granit itu adalah rumah ketenangan sementara, pelarian dari kebisingan kota yang ia tinggalkan di bawah sana.
Ia telah mendaki selama sepuluh jam, meninggalkan jalur resmi sejak pukul empat sore, sengaja memilih rute yang lebih terjal dan tersembunyi.
Kelelahan yang membebani otot-ototnya bukanlah hukuman, melainkan anugerah; kelelahan fisik adalah satu-satunya hal yang mampu mengusir kepenatan mental dan gema kekecewaan yang tak pernah berhenti menghantuinya di dataran rendah.
Greenindia melangkah perlahan ke tepi tebing. Di bawahnya, lembah Blackwood tampak seperti jurang tak berdasar yang diselimuti oleh hutan pinus yang menyerupai karpet kasar dan gelap.
Di kejauhan, di ujung cakrawala yang memudar, Metropolis berkilauan. Jutaan lampu kota yang tak terhitung jumlahnya berkedip, tampak tenang dan damai dari jarak ini. Sebuah ironi, pikirnya, mengingat semua kekacauan yang terjadi di balik setiap jendela kecil itu.
Ia meletakkan ranselnya yang sudah usang di atas batu datar, lalu duduk bersila, mengeluarkan termos baja anti-karatnya. Uap teh herbal dengan sedikit ginger mengepul, memberikan kehangatan yang kontras dengan embusan angin yang menusuk tulang. Ia menikmati ritual ini: memanaskan telapak tangan pada termos yang hangat, menghirup aroma rempah, dan membiarkan ketenangan menyelimuti seluruh inderanya.
Matanya terpejam sejenak. Ia adalah Greenindia Simon, wanita yang mencari kejernihan di puncak tertinggi. Ia bukan wanita yang kalah.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat memecah keheningan yang suci. Greenindia membuka mata, terkejut dan marah karena invasi mendadak ini. Tidak seharusnya ada orang di sini. Pemandangan ini adalah miliknya.
"Hei! Kau gila?!"
Suara bariton yang kasar dan mendesak itu langsung menghancurkan kedamaiannya. Greenindia melihat ke samping. Sekitar sepuluh meter darinya, seorang pria jangkung dengan jaket gunung tebal berdiri, siluetnya mengancam di bawah cahaya bulan yang baru muncul.
"Minggir dari situ! Cepat!"
Pria itu tidak memberinya kesempatan untuk bertanya, apalagi untuk menjelaskan. Sebelum Greenindia bisa mengatakan sepatah kata pun, pria itu sudah berlari ke arahnya, mencengkeram erat pergelangan tangannya. Cengkeraman itu begitu kuat sehingga menimbulkan rasa sakit. Rex menarik Greenindia dengan paksa, menyeretnya menjauh dari tepi tebing.
"Dasar wanita bodoh! Apa yang kau pikirkan?!" bentak Rex, wajahnya tampak merah, entah karena kelelahan atau kemarahan. Ia melonggarkan cengkeraman hanya untuk memutar tubuh Greenindia menghadapnya.
"Kau pikir siapa yang akan menemukanmu di sini? Apa kau tidak memikirkan trauma orang yang akan menemukan jasadmu nanti? Tindakan bodoh macam apa ini?!"
Greenindia merasakan gelombang panas kemarahan membakar tenggorokannya. Ia menatap mata Rex—mata yang dipenuhi penghakiman dan frustrasi.
Bunuh diri?
Pria ini datang ke tempat pribadinya, menyentuhnya secara paksa, dan langsung melabelinya sebagai orang yang putus asa. Ketersinggungan itu mendidih. Ia tidak sedang mencoba bunuh diri; ia sedang mencoba hidup dengan caranya sendiri.
"Lepaskan aku!" seru Greenindia, mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Rex tak bergeming. "Siapa kau sampai berani menyentuhku?! Aku tidak gila, aku hanya—"
"Hanya apa? Hanya menikmati pemandangan sebelum kau terjun?" potong Rex sinis. "Aku melihatmu berdiri di sana, seperti patung, siap melompat! Jangan berlagak tidak tahu, Nona. Aku sudah melihatnya berkali-kali. Kau beruntung aku ke sini untuk memeriksa jalur pendakian darurat!"
Kata-katanya yang meremehkan dan kontak fisik yang tidak diizinkan di tempat terpencil ini memicu alarm merah di benak Greenindia. Ketakutan akan pelecehan tiba-tiba mendominasi amarahnya. Dia sendirian di puncak gunung bersama pria asing yang kuat ini.
"Lepaskan aku, Cabul!" teriak Greenindia, menendang kakinya ke depan. Ia menggunakan satu kata terburuk yang ia tahu untuk memicu kemarahan pria itu, berharap Rex akan kaget dan melepaskannya. "Aku akan berteriak! Dasar pria gila, kau mau melecehkanku, ya?!"
Rex tercengang. Seluruh tubuhnya menegang. Ia mengira ia akan menghadapi penolakan, tetapi tuduhan ini? Itu jauh di luar dugaannya. Wajahnya yang tegang karena kekhawatiran berubah menjadi luapan amarah yang tulus.
"Melecehkan? Kau mencoba bunuh diri, dan menuduh aku orang yang cabul?! Astaga, kau benar-benar kehilangan akal sehatmu!" Rex menggelengkan kepala, mencibir. "Aku tidak peduli kau mau bunuh diri, tapi kau tidak akan melakukannya di pandangan mataku. Kita turun sekarang! Setelah kita di bawah dan di tengah keramaian, kau boleh menuduhku apa pun. Tapi sekarang, kau ikut aku!"
Rex mencoba menyeretnya ke belakang, menuju jalan setapak yang samar-samar. Greenindia melawan dengan sekuat tenaga. Ia yakin Rex hanya menggunakan dalih "menyelamatkan" untuk membawanya ke tempat yang lebih gelap.
Tidak akan!
Tangan kirinya yang bebas secara refleks meraih saku celana kargo. Ia menarik keluar pisau lipat kecil dengan gagang merah terang, hadiah dari ayahnya yang selalu ia bawa untuk memotong tali atau membuka kemasan makanan beku di jalur pendakian.
"Aku bilang, jangan sentuh aku!" bentaknya lagi, mengacungkan pisau itu di antara mereka. Tujuannya adalah gertakan, menciptakan jarak, membuat Rex mundur karena terkejut.
Rex, yang emosinya sudah di ambang batas, hanya mendengus, berpikir itu adalah upaya dramatis terakhir Greenindia untuk kembali ke tepi tebing. "Simpan mainanmu. Aku tidak takut pada orang putus asa sepertimu," katanya, melangkah maju untuk menutup jarak dan melucuti senjata Greenindia.
Greenindia mundur, rasa takut membuatnya panik. Ia mengayunkan pisau itu secara asal, hanya untuk menjaga agar Rex menjauh.
Namun, di tengah pergumulan yang canggung dan kacau di atas tanah yang tidak rata, ia kehilangan pegangan. Pisau itu berputar di udara, dan yang ia rasakan selanjutnya adalah benturan tulang dan daging, diikuti dengan suara erangan yang jauh lebih dalam dan menyakitkan daripada erangan amarah.
Rex sontak berhenti. Cengkeramannya pada Greenindia langsung melonggar. Ia menatap Green dengan mata melebar karena rasa sakit yang murni, lalu melihat ke bawah pada kakinya. Pisau lipat merah itu menancap di paha kirinya, tepat di atas lutut, menembus lapisan celana tebalnya. Darah yang merembes keluar terlihat sangat gelap di bawah cahaya bulan.
Rex jatuh berlutut, wajahnya memucat drastis. Ia menekan luka itu dengan satu tangan, mengerang pelan.
Greenindia menatap pisau itu, lalu ke wajah Rex, napasnya tercekat. Rasa ngeri yang dingin menusuknya. Ia tidak berniat melukai siapa pun. Ia hanya menggertak!
"Ya Tuhan! Maafkan aku! Aku... Aku tidak sengaja!" Greenindia menjatuhkan dirinya di sampingnya, panik total. Ia mencengkeram bahu Rex, bingung harus berbuat apa. "Apa yang harus kulakukan? Aku harus membawamu turun! Kita harus—"
Greenindia mencondongkan tubuhnya, siap merobek jaketnya untuk membalut luka Rex.
Rex, yang kesakitan hebat, mendongakkan kepalanya. Ada kilatan gila—campuran rasa sakit, putus asa, dan sesuatu yang benar-benar tak terduga—di mata Rex.
"Kau tanya apa yang harus kau lakukan?" Rex berbisik, suaranya parau dan terputus-putus.
Greenindia mengangguk cepat, siap melakukan apa pun.
Seringai miring dan terpelintir perlahan terbentuk di wajahnya yang pucat. "Menikahlah denganku."
“Hah?”
.
.
.
.
.
Hai, i'm back.
Selamat datang di karya terbaruku. Bagi pembaca buku, yang masih menunggu karya Playboy in Marriage update. Maaf, ya, kalau terlalu lama. Aku akan menyelesaikannya perlahan setelah aku kembali membacanya hehe. biar engga ada yang miss.
Selama menunggu cerita itu update, tolong nikmati karya baruku dan mohon dukungannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Fera Susanti
hadiiirrr
2025-10-26
0