Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
Bunga terbangun oleh suara kokok ayam tetangga. Ia mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia merasa tidurnya sangat nyenyak.
Ia berbalik, dan jantungnya serasa berhenti berdetak.
'Benteng Guling' itu sudah roboh. Guling besar itu terguling ke lantai. Dan yang lebih parah... tangannya tergeletak hanya beberapa senti dari lengan Arga yang terbalut kaus. Arga masih tertidur pulas, wajahnya tenang. Hembusan napasnya yang teratur menerpa pipi Bunga.
Tok... tok... tok...
"Nduk! Arga! Bangun! Sudah Subuh!"
Suara Ibunya dari balik pintu membuat Bunga tersentak kaget. Ia menarik tangannya secepat kilat.
Arga langsung membuka matanya, terlihat sedikit bingung.
"Mas! Bangun!" bisik Bunga panik.
"Iya, Buk! Sudah bangun!" teriak Arga, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.
Mereka berdua terduduk di atas ranjang, saling menatap dengan canggung. Rambut Bunga berantakan seperti sarang burung, wajah Arga terlihat bengkak.
"Misi pagi pertama," bisik Arga sambil menyeringai kecil.
Bunga tidak bisa menahan senyum. "Gagal total. Bentengnya runtuh."
Keduanya menatap guling yang teronggok menyedihkan di lantai.
"Kamu duluan," kata Arga, berdeham sambil mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. "Mas mau ambil air wudhu."
"Lho?" Bunga bingung. "Mas Arga nggak... mandi?"
"Nanti saja setelah dari masjid. Mas mau sholat Subuh di masjid depan," kata Arga sambil bangkit dari kasur, meregangkan badannya yang kaku.
Bunga merasa sedikit lega. Setidaknya ia tidak perlu berebut kamar mandi. "Oh, oke."
Arga mengambil sarung dan baju koko dari tasnya, lalu keluar dari kamar, meninggalkan Bunga yang masih duduk linglung di atas kasur. Beberapa menit sendirian itu ia gunakan untuk bernapas.
Satu malam terlewati, batinnya. Tidak terlalu buruk.
Ia segera bergegas mandi dan berwudhu. Saat ia selesai, ia mendengar Arga kembali masuk ke kamar. Laki-laki itu terlihat segar, wajahnya basah oleh air wudhu.
"Mas," panggil Bunga ragu. "Kita... sholatnya...?"
Arga menatapnya, lalu ke sajadah Bunga yang terlipat di atas kursi. "Kita jamaah di sini?" tanyanya.
Bunga mengangguk kaku. Ini adalah hal normal yang dilakukan pasangan suami-istri, tapi bagi mereka, ini adalah bagian lain dari sandiwara.
Arga mengangguk. "Ya sudah. Mas jadi imam."
Arga menggelar sajadah di depan, dan Bunga menggelar sajadahnya tepat di belakangnya. Ini adalah pertama kalinya. Selama ini, jika mereka sholat di rumah Bunga, Arga akan sholat bersama Ayah, dan Bunga bersama Ibunya.
Saat Arga mengangkat tangan untuk takbir, Bunga mengikutinya.
"Allahu Akbar."
Suara Arga yang dalam dan tenang memenuhi keheningan kamar. Bacaan Al-Fatihah dan surah pendeknya begitu jelas dan fasih. Bunga mendapati dirinya terhanyut. Ada sesuatu yang... berbeda. Sesuatu yang terasa berat dan sakral.
Ini bukan Mas Arga, kakaknya. Ini adalah imam-nya. Laki-laki yang kemarin namanya disebut dalam satu tarikan napas oleh Ayahnya.
Ketika Arga sujud, Bunga ikut sujud. Ia menyentuhkan keningnya ke lantai, tepat di belakang telapak kaki Arga. Perasaan aneh menjalari hatinya. Perasaan yang bukan bagian dari perjanjian mereka. Perasaan yang membuatnya sedikit takut.
Saat salam terakhir, Bunga terdiam. Haruskah ia... mencium tangan Arga? Seperti yang ia lihat di sinetron-sinetron?
Sebelum Bunga sempat memutuskan, Arga sudah berbalik badan dan melipat sajadahnya. Sepertinya, Arga juga tidak mengharapkan ritual itu. Bunga merasa lega sekaligus... entah kenapa, sedikit kecewa.
"Mas keluar dulu, ya. Mau ngobrol sama Ayah di teras," kata Arga, seakan memutus kecanggungan. Ia melipat sarungnya dan menggantinya dengan celana pendek.
"Iya, Mas."
Bunga membereskan mukenanya dengan pikiran berkecamuk. Sandiwara ini ternyata jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Pukul setengah tujuh, aroma nasi uduk dan ayam goreng buatan Ibu Bunga sudah menguar ke seluruh penjuru rumah. Ini adalah "misi" kedua mereka: Sarapan pagi sebagai pengantin baru.
Bunga keluar dari kamar, mengenakan kaus rumah biasa. Ia melihat Arga sudah duduk di meja makan, asyik mengobrol dengan Ayahnya tentang berita di koran pagi. Keduanya tampak begitu santai, seolah mereka adalah menantu dan mertua sungguhan.
"Nah, ini dia pengantin perempuannya baru bangun!" goda Ayah saat melihat Bunga.
Wajah Bunga langsung memerah. "Ih, Ayah! Bunga udah bangun dari Subuh, tahu!"
"Duduk, Nduk," kata Ibu, meletakkan semangkuk besar opor ayam di meja. "Ayo, Arga, dimakan. Ini Ibu masak spesial."
Bunga duduk di kursi di sebelah Arga. Posisinya terasa sangat aneh. Biasanya ia duduk di seberang Ayahnya.
"Aduh, senangnya lihat pengantin baru," kata Ibu sambil tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar. Ia jelas sedang berusaha keras untuk tidak menggoda mereka habis-habisan.
Bunga hanya bisa menunduk malu, mengambil piringnya. Arga, di sebelahnya, tampak lebih tenang. "Wah, opor ayam, Buk. Kelihatannya enak sekali."
"Ambil sendiri, lho, Mas. Anggap saja rumah sendiri," kata Ayah.
Suasana sarapan dimulai dengan sedikit kaku. Bunga hanya mengambil nasi, sedikit bihun, dan sepotong tempe. Ia terlalu gugup untuk makan. Ia sadar betul sepasang mata Ibunya terus mengawasi mereka berdua, mencari-cari momen "romantis" pengantin baru.
"Kok makannya sedikit, Nduk?" tegur Ibu. "Ayamnya nggak diambil?"
"Lagi nggak... nggak terlalu lapar, Buk," bohong Bunga. Padahal, ia sangat ingin mengambil opor ayam itu.
Ayah dan Arga kembali mengobrol tentang pekerjaan Arga sebagai arsitek. Bunga hanya mendengarkan sambil mengaduk-aduk nasinya.
Saat itulah ia melihat mangkuk opor ayam. Potongan sayap, bagian kesukaannya, masih tersisa tiga potong di sana. Ia melirik sendok sayur, ragu-ragu antara ingin mengambil tapi malu.
Tiba-tiba, sebuah tangan terulur dari sebelahnya. Tangan Arga.
Dengan gerakan yang sangat natural dan tanpa menghentikan obrolannya dengan Ayah Bunga, Arga mengambil sendok sayur, menyendok sepotong sayap ayam opor, dan meletakkannya dengan pelan di atas piring Bunga.
"...iya, Om. Proyeknya memang agak menantang, tapi..."
Obrolan Arga terus berlanjut seakan tidak terjadi apa-apa.
Bunga, di sisi lain, membeku.
Gerakan itu. Gerakan itu sangat... Mas Arga.
Ia ingat, sejak kecil, setiap kali keluarganya makan bersama, Mas Arga-lah yang selalu mengambilkan sayap ayam untuknya. "Adik kecil sukanya sayap," katanya dulu. Mas Arga ingat. Di tengah semua sandiwara dan status baru mereka, dia masih ingat kebiasaan kecilnya.
Itu adalah gerakan refleks. Sebuah kebiasaan lama yang sudah mendarah daging.
Bunga menelan ludah. Wajahnya terasa panas. Ia melirik ke arah Arga, tapi laki-laki itu sedang fokus pada Ayahnya, seakan-akan tangannya bergerak atas kemauannya sendiri.
Lalu, Bunga memberanikan diri melirik Ibunya.
Bingo.
Ibunya sedang menatap pemandangan itu. Tangannya yang sedang memegang sendok nasi berhenti di udara. Sebuah senyum yang sangat lebar, tulus, dan penuh arti terbit di wajahnya. Mata Ibu Bunga berbinar-binar, seakan ia baru saja memenangkan lotre.
Bunga langsung menunduk, berharap bisa menghilang ditelan bumi.
Ibu Bunga, dengan segala kearifannya, sepertinya sadar bahwa ia "tertangkap basah" sedang mengamati. Ia juga sadar kalau ia berkomentar, "Aduh, Mas Arga perhatian banget, ya," atau "Tau aja kesukaan istrinya," kedua anak di depannya ini pasti akan semakin kaku dan malu.
Maka, Ibu Bunga tidak berkata apa-apa.
Ia berdeham pelan, melanjutkan makannya seolah tidak melihat apa-apa. Senyumnya ia sembunyikan di balik gelas teh hangatnya. Witing tresno jalaran saka kulina, batinnya, merasa keputusannya dan suaminya sudah sangat tepat. Biar saja, biar tumbuh alami.
Ayah Bunga, yang juga menangkap adegan singkat itu, hanya tersenyum tipis di balik kumisnya. Ia lalu mengalihkan topik. "Jadi, pesawat kalian besok jam sepuluh, kan? Berangkat dari rumah jam berapa, Ga?"
Atmosfer kaku di meja makan itu mendadak pecah oleh pertanyaan Ayah. Seakan gerakan Arga tadi adalah pemecah kebekuan.
Arga menoleh ke Bunga, yang masih memandangi sayap ayam di piringnya dengan tatapan nanar. "Bunga?" panggil Arga.
"Eh... iya, Mas?" Bunga tergagap.
"Habis ini mulai packing buku-bukumu," kata Arga, nadanya kembali seperti seorang kakak yang memberi instruksi. "Mas mau lihat dulu seberapa banyak. Nggak mungkin kita bawa semua dalam sekali angkut."
"Ih, Mas Arga!" Bunga refleks memprotes. Kecanggungan tadi menguap begitu saja, digantikan oleh kekesalan yang familiar. "Itu buku-buku penting buat kuliah! Ya harus dibawa semua!"
"Nggak ada ceritanya maba bawa 50 kilo buku. Kamu mau kuliah apa mau buka perpustakaan?" ledek Arga.
"Biarin! Pokoknya harus dibawa!" Bunga cemberut.
"Nanti kita sortir. Yang penting-penting aja. Sisanya bisa dikirim pakai paket kargo," putus Arga final.
"Tapi, Mas..."
"Makan dulu opornya," potong Arga, kali ini dengan nada yang lebih lembut, sambil menunjuk piring Bunga. "Keburu dingin."
Bunga terdiam. Ia menatap Arga, lalu menatap sayap ayamnya. Sambil menggerutu pelan, "Iya... iya..." ia akhirnya mengambil sendok dan mulai memakan sarapannya. Termasuk sayap ayam pemberian suaminya.
Di seberang meja, Ayah dan Ibu Bunga saling berpandangan, senyum lega terukir di wajah mereka.
Pagi itu, di meja makan yang sederhana, di tengah-tengah obrolan tentang bagasi pesawat dan debat tentang buku kuliah, Bunga merasa ada sesuatu yang bergeser.
Laki-laki di sebelahnya ini memang suaminya di atas kertas. Tapi di saat yang sama, ia tetaplah Mas Arga. Kakaknya. Pelindungnya. Dan entah kenapa, fakta itu membuat perjanjian gila mereka terasa sedikit... lebih ringan untuk dijalani.