NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:713
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Udara malam terasa berat saat Apollo memasuki halaman mansion. Lampu taman masih menyala, tapi hujan tipis baru saja berhenti, meninggalkan kilau di bebatuan jalan. Mobil hitamnya berhenti di depan pintu utama. Ia keluar tanpa menunggu pelayan, mantel hitam panjangnya masih membawa aroma asap dan anggur dari pesta tadi.

Pintu kayu besar terbuka otomatis, menyambutnya dengan keheningan.Tidak pelayan, tidak ada langkah kaki penjaga. Hanya suara detik jam antik yang bergema di dinding koridor.

Apollo berjalan pelan, melepas sarung tangannya satu per satu.Matanya memeriksa setiap sudut, seolah rumahnya sendiri bisa berkhianat.

Di ujung koridor lantai dua, cahaya lampu kecil menyala. Bayangan seseorang bergerak di sana. Langkah Apollo melambat.Dari arah lain muncul sosok Lyora, dengan rambut terurai sebagian, mengenakan gaun tidur sutra warna abu muda.

Di pelukannya, boneka teddy cokelat yang besarnya hampir menutupi tubuh atas nya .Wajahnya pucat, matanya sayu, seperti seseorang yang tidak benar- benar terjaga.

Ia berjalan pelan, tanpa alas kaki, langkahnya nyaris tanpa suara di lantai marmer.Matanya tidak menatap Apollo, melainkan lurus ke depan, seolah mengikuti sesuatu yang hanya dia yang bisa lihat.

Apollo mendengus pelan. “Jam berapa ini?” suaranya datar, tapi ada nada jengkel di balik kelelahan.

Lyora berhenti sejenak, memeluk boneka itu lebih erat.“Aku tidak bisa tidur,” katanya lirih. “Aku… mendengar sesuatu dari ruang bawah.”

Apollo memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. “Tidak ada siapa pun di bawah. Kau hanya berhalusinasi ”

“Tapi suaranya nyata,” Lyora menatapnya sekarang, mata itu, besar dan penuh cemas, tampak bergetar di bawah cahaya lampu koridor. “Ada langkah… dan bisikan. Aku kira itu kau.”

Apollo menatapnya lama, lalu berjalan melewatinya.“Aku baru pulang. Dan jika memang ada sesuatu di bawah,” katanya dingin, “itu bukan mimpi, tapi masalah lain yang harus disingkirkan.”

Lyora menoleh pelan ke arahnya.“Masalah lain… seperti di Écarlate?” tanyanya samar.

Langkah Apollo berhenti.Kalimat itu, singkat, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menusuk diam-diam.Ia menatap istrinya lewat pantulan kaca di dinding.“Sejak kapan kau mulai memperhatikan ke mana aku pergi?”

Lyora menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Sejak kau berhenti menatap ku.”

Sunyi.

Detik jam di dinding kembali menjadi satu- satunya suara yang hidup. Apollo menarik napas berat, menatap lurus ke depan.

Ia tidak menjawab, hanya berjalan pergi menuju ruang kerjanya, meninggalkan Lyora berdiri di tengah koridor dengan boneka di pelukan.

Tapi ketika langkahnya menjauh, Lyora menoleh perlahan ke arah jendela besar.

Bulan masih menggantung di langit, dan di pantulannya di kaca, sesaat tampak silhouette wanita bertopeng rubah berdiri di luar, di taman, menatap ke arah mereka berdua.

Apollo membuka pintu ruang bawah tanah, cahaya dari lampu gantung bergetar lembut di langit-langit beton.Udara di sana lembap dan berdebu, aroma besi dan minyak mesin menempel di hidung.

Lyora berdiri beberapa langkah di belakang, masih memeluk boneka teddy putihnya.

Suara langkah mereka bergema pelan di antara dinding sempit, hanya diselingi bunyi tetes air dari pipa bocor di sudut ruangan.

Apollo memutar tubuh, menatap sekeliling.

Kosong. Tidak ada siapa pun di sana.

Ia mendengus pelan, melepaskan napas yang terdengar seperti desahan jengkel.

“Mungkin kau halusinasi lagi,” ujarnya dingin tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi setiap katanya seperti bilah tipis yang menyentuh kulit.

Lyora tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menggenggam lebih erat boneka di pelukan nya.

Tatapannya tetap mengikuti punggung Apollo yang berbalik naik ke tangga, langkah pria itu berat dan tegas , tanpa sedikit pun niat menunggu.

Begitu bayangannya lenyap di tikungan, ekspresi Lyora perlahan berubah. Dari kosong menjadi tenang… lalu tersungging senyum samar di bibirnya. Senyum yang lebih ke arah menyeringai.

Ia memandangi dinding dingin di depannya, seolah menatap sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. “Kau memang tidak mengerti ,” bisiknya hampir tanpa suara.

Apollo naik ke lantai dua. Di tangannya, ponsel bergetar. Apollo melangkah di koridor lantai atas, jasnya terbuka separuh, dasi longgar di leher.Ketika ia hampir memutar gagang pintu kamarnya, ponselnya bergetar.

Nama Eliot muncul di layar. Apollo mengangkatnya tanpa ekspresi. Suara di seberang terdengar cepat dan cemas.

“Bos , rapat dengan pihak dewan dimajukan ke pukul delapan pagi. Mereka ingin laporan langsung dari Anda.”

“Hm.Siapkan semua berkas. Aku akan tiba tepat waktu,” ucapnya singkat sebelum menutup telepon.” Apollo menjawab singkat, menutup telepon.

Begitu pintu kamar terbuka, matanya langsung menangkap sosok di dalam. Lyora.

Ia sudah terbaring di ranjang besar, boneka teddy-nya dipeluk erat di dada. Wajahnya tampak tenang, seolah tertidur nyenyak sejak lama.

Alis Apollo berkerut.Ia tahu Lyora masih bersamanya di ruang bawah tanah… hanya beberapa menit lalu.Lalu, bagaimana bisa dia sudah di sini?

Rahangnya mengeras. Ia berdiri di ambang pintu cukup lama, menatap tubuh Lyora di bawah cahaya lampu redup, seolah mencoba membaca sesuatu di balik ketenangan palsu itu.

Sebuah gumaman lirih lolos dari bibirnya.

“Jadi… permainanmu dimulai di sini.”

Apollo berjalan ke arah kamar mandi, melepaskan dasinya sambil menyalakan lampu di dalam.Cermin besar memantulkan bayangan tubuhnya yang lelah,bayangan yang kini lebih tampak seperti hantu daripada manusia.

Air dingin mengalir dari keran, menghapus sisa dingin malam dari kulitnya.

sementara itu di atas ranjang,, Lyora perlahan membuka matanya.Ia tidak benar-benar tertidur. Tatapannya mengarah pada pintu kamar mandi yang kini memantulkan cahaya lembut. Senyum samar melintas di bibirnya sebelum ia bangkit perlahan dari ranjang dan melangkah ke luar kamar, nyaris tanpa suara.

Beberapa detik kemudian, pintu kamar mandi terbuka.Apollo muncul dengan kemeja yang kini tersampir di tangannya, bahu dan dada terbuka diterpa uap hangat.Ia melihat sekilas pintu kamar yang setengah terbuka, dan sudut bibirnya terangkat miring.

Angin malam berembus lembut di antara pepohonan, membawa aroma melati dan suara gemericik air mancur batu. Lyora berjalan perlahan di jalan setapak berbatu, gaun tidurnya berayun lembut, langkahnya nyaris tanpa bunyi.

Ia berhenti di depan patung naga yang menjulang di tengah taman, memastikan sekeliling benar-benar sepi.Dan di sanalah, di balik bayangan patung. Seseorang telah menunggunya.

Seorang wanita dengan wajah yang… sama persis dengannya.Duduk di tepi kolam, memeluk boneka teddy putih yang sama.

Hanya matanya yang berbeda, lebih dingin, lebih hitam, lebih tua.

“Kakak,” panggil Lyora lirih.

Wanita itu menoleh perlahan, mengangkat alis tipis dengan ekspresi malas.

“Berikan apa yang kau curi .” Ucap Lyora

“Aku tidak mencuri apa pun.” Nada suara kembarannya datar, tenang, tapi menyimpan sesuatu yang licik di dalamnya.

Lyora mempersempit tatapannya, langkahnya maju setengah meter.“Jangan bohong. Kau tidak mungkin datang ke mansion ini tanpa alasan.”

“Aku datang untuk menggantikanmu,” ucap wanita itu, menatap Lyora tanpa berkedip.

“Ketika kau terlalu sibuk mengikuti suamimu ke Hotel Écarlate.” Lyora membeku sesaat. Tatapannya turun ke boneka teddy di pelukan sang kembaran.

Ada sesuatu di dalamnya, lipatan kertas, mungkin berkas rahasia yang hilang dari meja Apollo. Ia baru akan bicara, tapi—

“Lyora.”

Suara berat itu datang dari belakang.Dalam sekejap, darahnya serasa berhenti mengalir.

Ia menoleh perlahan. Apollo berdiri di sana.

Masih tanpa jas, rambutnya sedikit berantakan, mata hitamnya menatap lurus ke arahnya, dingin, menusuk, dan mematikan.

“Kau bicara dengan siapa?” tanyanya pelan, tapi nada suaranya membuat udara di sekeliling membeku.

Lyora menelan ludah, jantungnya berdetak cepat. Ia menoleh lagi ke arah patung naga, berharap masih melihat bayangan kakaknya.

Namun tempat itu kosong. Hanya air mancur yang memantul di bawah sinar bulan.

Wanita itu sudah lenyap. Lyora berdiri kaku, senyum samar terhapus dari wajahnya. Tangannya mencengkeram ujung bajunya lebih erat, menyembunyikan kegugupan nya .

Sementara Apollo mendekat, langkahnya tenang tapi berat.Suara langkah sepatu kulit menembus keheningan taman. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara desir angin dan gemericik air mancur.

Lyora berdiri mematung, tangannya bergetar samar di sisi tubuh. Boneka teddy di kakinya tampak kecil dan basah oleh embun.

Apollo berhenti beberapa langkah di depan nya. Tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi,tapi matanya menelusuri setiap detail: posisi kaki Lyora, arah pandangannya, bahkan cara napasnya yang terlalu cepat.

Ia berbicara pelan, tapi nada suaranya menusuk. “Bukan kah kau tadi tidur?”

Lyora membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar.

“Saat aku masuk kamar, kau ada di ranjang.” Ia berhenti sebentar, matanya tetap pada Lyora. “Sekarang aku menemukanku di taman, tengah malam, dengan boneka di taman.”

Ia memiringkan kepala sedikit. “Tidur sambil berjalan, hm?”

Nada suaranya terdengar nyaris lembut , tapi ada sarkasme tipis di sana. Senyum samar muncul di sudut bibirnya, bukan karena geli, melainkan seperti sedang menikmati adegan yang hanya ia mengerti.

Lyora menelan ludah, mencoba menguasai diri.“Aku… hanya ingin udara segar,” katanya pelan.

“Udara segar,” ulang Apollo perlahan, seolah merenungkan makna kata itu. Ia menatap ke langit malam yang kelam sebelum menunduk kembali ke Lyora. “Kau bisa membuka jendela kamar untuk itu.”

Matanya turun, berhenti di boneka teddy yang basah di kaki Lyora. “Tapi kau memilih keluar. Membawa boneka.” Nada bicaranya berubah, pelan tapi tajam. “Menarik. Seolah kau tidak ingin sendiri.”

Lyora menggenggam jemarinya erat, menunduk. “Itu hanya kebiasaan lama. Boneka ini… milik masa kecilku.”

Apollo mendekat satu langkah lagi. Kini hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. “Jadi, kau keluar dari kamar di tengah malam hanya untuk mengajak masa kecilmu berjalan- jalan?”

Tatapannya tak berkedip, dingin dan menelusuri setiap perubahan ekspresi di wajah Lyora. Ia tidak berteriak, tidak mengancam, justru semakin pelan. Dan itulah yang paling menakutkan dari cara bicara Apollo.

“Lucu sekali kebiasaanmu,” ucapnya lirih, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Selalu ada sesuatu yang tidak kau katakan.”

Lyora memalingkan wajah. “Aku tidak menyembunyikan apa pun.”

Apollo mencondongkan tubuh sedikit, hampir berbisik di telinganya.“Semua orang yang berkata begitu… biasanya sedang berbohong.”

Hening panjang menelan udara di antara mereka.Suara air mancur terasa seperti detak jam yang memecah keheningan.

Akhirnya, Apollo melangkah mundur. Napas nya teratur, matanya tetap menusuk.“Kalau kau ingin berjalan-jalan malam, lakukan di bawah pengawasanku. Aku tidak suka kejutan.”

Ia berbalik perlahan, menatap ke arah patung naga. Matanya sempat berhenti pada tempat kosong di belakang patung, tempat yang beberapa detik lalu ditempati sosok lain yang hanya Lyora yang melihat. Lalu ia menambah kan dengan nada lebih berat, “Dan aku paling tidak suka… rahasia.”

Lyora berdiri mematung. Ia tidak berani bergerak sampai Apollo mulai melangkah pergi, bayangannya memanjang di bawah sinar bulan.Begitu suara langkahnya menjauh, Lyora buru-buru menunduk dan memungut boneka teddy dari tanah.

Baru ia hendak berbalik kembali ke arah mansion ketika suara itu terdengar lagi.

“Lyora.”

Suara bariton yang tenang, tapi kini terdengar lebih berat, nyaris tanpa emosi. Lyora menegang.

Apollo berdiri di ambang jalan taman, tangan di saku, tubuhnya tegap dengan siluet yang dipotong cahaya lampu taman.

“Selanjutnya,” katanya pelan, “usahakan tidurmu lebih nyenyak. Karena kalau aku harus mencari keberadaanmu setiap malam…”

Ia berhenti sejenak, matanya berkilat samar.

“…mungkin aku akan mengurungmu di tempat yang tidak bisa kau tinggalkan.”

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!