Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Bab 01

Melati Bunga Yasmin tak ingin percaya dengan apa yang baru saja kedua orangtuanya katakan. Pasalnya, topik yang mereka bahas kali ini benar-benar di luar yang ia duga.

"Menikah?" Ia menelan ludah karena begitu susahnya mengatakan satu kata itu. Ia seakan salah dengar ketika kedua orangtuanya menyebutkan hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Apa bunga ngga salah dengar?" Ujarnya, mencoba memastikan.

Ayah bunga menggeleng sebagai jawaban. "Kamu ngga salah dengar, Bunga. Seminggu lagi kamu akan bertemu dengan calon suamimu sekaligus untuk lamaran." Mendengar kembali kalimat tersebut, membuat kepala Bunga seakan pecah.

"Tapi, Ayah, Bunga kan masih mau kuliah! Bukan menikah!" Pekik gadis itu. "Lagipula, umur bunga baru 18 tahun. Masih terlalu muda untuk menikah!" Bunga mencoba berdebat.

Bayangkan saja apa yang akan teman-temannya katakan jika mereka tahu ia akan menikah muda, dan dijodohkan pula! Mau ditaruh mana wajahnya?! Ia ingin mencari sendiri calon suaminya nanti. Ia juga masih ingin menimba ilmu tanpa harus disambi menikah. Meniti karir setelah kuliah, dan masih banyak lagi impian-impiannya yang belum tercapai. Kalau sampai ia menikah muda, bisa-bisa semua impiannya terbengkalai dan hanya sekedar mimpi di angan.

"Kalau kamu masih mau kuliah di universitas pilihanmu, kamu harus mau menikah dengan pemuda pilihan kami. Ayah dan ibukmu ngga tenang membiarkanmu tinggal seorang diri di kota besar seperti itu, nduk," jelas Ayah Bunga. Orangtua mana yang tenang merelakan anak mereka satu-satunya, anak gadis pula, untuk merantau di kota orang tanpa sanak saudara yang menjaganya.

"Tapi, Yah, Bunga kan bisa nge-kost. Banyak kok kost-kostan putri di sana. Bunga janji bakalan selalu menjaga diri. Beneran deh! Ya ya ya?" Ujar Bunga sedikit merengek.

"Ndak bisa, nduk." Kali ini Ibu Bunga yang menyahut. "Ibuk tetap ngga tenang kamu sendirian di sana. Kalau kamu sedang sakit dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, siapa yang akan menjaga kamu? Kami ngga bisa sewaktu-waktu pergi untuk nengok kamu. Apalagi perjalanan jauh yang membutuhkan waktu beberapa hari. Kalau kamu ada suami, kan, Ibuk dan Ayahmu bisa tenang."

"Naudzubillahiminzalik. Ya jangan sampai kejadian lah, Buk. Insya Allah Bunga benar-benar bisa menjaga diri. Makan tepat waktu, jaga kesehatan, dan hati-hati kalau sedang di jalan. Hal-hal kecil seperti itu bisa Bunga lakukan sendiri kok. Ngga perlu sampai menikah." Bunga mencoba menawar. "Lagi pula, bunga juga ngga mengenal calonnya. Pasti kalau sudah menikah nanti bakalan canggung banget."

Mendengar penuturan putrinya tersebut, Ayah bunga tersenyum kecil. "Insya Allah semua akan berubah seiring dengan waktu, nak. Sama seperti Ayah dan Ibukmu. Kami dulu juga dijodohkan. Memang awalnya canggung, tapi lama-kelamaan tumbuh rasa sayang. Witing tresna jalaran saka kulina. Cinta berawal karena terbiasa." Ayah Bunga berhenti sejenak, dan melihat Bunga dengan tatapan penuh arti. "Terus, siapa yang bilang kalau kamu ngga mengenal calon suamimu? Justru kamu sangat mengenalnya. Ayah yakin dia calon terbaik untuk kamu."

Bunga melongo. Orang yang dia kenal? Memangnya siapa? Tidak banyak laki-laki yang ia kenal, apalagi yang akrab dengannya. "Ayah jangan bikin Bunga penasaran deh. Lagi pula, Bunga masih belum menyetujui pernikahan ini."

Ayah Bunga menghela napas, kali ini senyum kecilnya memudar. Ia menatap putrinya dengan sorot yang lebih serius, namun tetap sarat akan kasih sayang. "Kami tidak sedang memintamu menebak, Bunga. Kami memberitahumu."

"Tapi Bunga nggak mau!" Gadis itu kembali meninggikan suaranya, rasa frustrasi membuat matanya panas. "Kenapa Ayah sama Ibu tiba-tiba jadi kolot begini, sih? Ini zaman modern, Yah! Nggak ada lagi yang namanya Siti Nurbaya. Bunga punya mimpi. Bunga mau kuliah, mau jadi arsitek! Kenapa Ayah tega mau menghancurkan itu semua?"

"Siapa bilang impianmu akan hancur?" Kali ini Ibuk yang angkat bicara, suaranya melembut, mencoba meredakan ketegangan. Tangan keriputnya terulur, ingin mengusap lengan Bunga, namun Bunga menarik dirinya.

"Ya jelas hancur, Buk!" pekik Bunga. "Bagaimana Bunga mau fokus kuliah kalau harus mikirin suami? Mikirin rumah tangga? Nanti Bunga disuruh masak, cuci baju, melayani suami. Kapan Bunga belajarnya? Kapan Bunga bisa mengejar cita-cita Bunga?"

Bayangan-bayangan buruk itu berkelebat di kepalanya. Ia melihat dirinya, yang seharusnya berada di studio kampus menggambar denah bangunan, malah terjebak di dapur dengan celemek, bergelut dengan panci dan penggorengan. Ia melihat teman-temannya di media sosial memamerkan kehidupan kampus yang bebas, sementara ia harus meminta izin suami hanya untuk mengerjakan tugas kelompok.

"Nduk," panggil Ayahnya, suaranya rendah dan tegas, memotong lamunan pahit putrinya. "Calon suamimu ini... dia laki-laki yang baik. Dia berpendidikan. Dia tinggal di kota yang sama dengan universitas impianmu. Dia bekerja di sana. Dia... dia sudah berjanji pada Ayah akan menjagamu dan mendukung kuliahmu."

Bunga terdiam sejenak. Informasi baru itu sedikit menggeser fokusnya. Tinggal di kota yang sama? Bekerja di sana? Mendukung kuliah?

"Kalau dia memang sebaik itu," ujar Bunga sinis, "kenapa dia mau-maunya dijodohkan dengan anak 18 tahun yang masih mau kuliah? Kenapa dia nggak cari yang sepadan sama dia aja?"

"Karena dia percaya pada pilihan orang tuanya," jawab Ayah cepat. "Sama seperti Ayah dulu. Dan dia... dia juga mengenalmu dengan baik. Dia tahu impianmu."

"Siapa sih, Yah? Bilang aja!" desak Bunga, rasa penasaran kini bercampur dengan amarah.

Ayah dan Ibunya saling berpandangan. Seakan ada kesepakatan tak terucap di antara mereka.

"Kamu akan tahu minggu depan, saat keluarganya datang melamar," putus Ayah akhirnya. "Sekarang, masuklah ke kamarmu. Tenangkan pikiranmu. Pikirkan baik-baik. Universitas impianmu, atau kamu membatalkan semuanya dan kuliah di universitas swasta kecil di kota ini saja. Pilihannya ada di kamu."

Itu adalah ultimatum.

Bunga merasa seakan baru saja ditinju. Ayahnya tidak main-main. Ancaman itu nyata. Universitas pilihannya adalah universitas negeri terbaik di negeri ini, dan ia lolos melalui jalur undangan yang begitu ketat. Melepaskannya sama saja dengan bunuh diri akademis.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bunga bangkit berdiri. Kakinya terasa berat. Ia menatap Ayah dan Ibunya bergantian dengan pandangan terluka dan kecewa. "Bunga nggak nyangka," bisiknya, suaranya bergetar. "Ayah sama Ibu tega menukar masa depan Bunga dengan 'ketenangan' Ayah dan Ibu."

Ia berbalik, berlari kecil menuju kamarnya dan membanting pintu. Terdengar suara kunci diputar dari dalam.

Di ruang tengah, Ibu Bunga menatap suaminya dengan cemas. "Apa kita tidak terlalu keras, Pak?"

Laki-laki paruh baya itu menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Ini demi kebaikannya, Buk. Kita tidak bisa menjaganya di sana. Tapi Arga bisa."

Di dalam kamarnya, Bunga menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Ia membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak sekeras mungkin. Teriakannya tertahan oleh kain, berubah menjadi isakan yang tertahan.

Ini tidak adil. Ini sungguh tidak adil!

Ia meraih ponselnya, ingin sekali menelepon sahabatnya, Rina, dan menceritakan segalanya. Tapi apa yang akan ia katakan? 'Eh, Rin, aku mau nikah minggu depan. Dijodohin.' Rina pasti akan menertawakannya, atau lebih buruk lagi, mengasihaninya. Wajahnya mau ditaruh di mana?

Ia membuka galeri di ponselnya. Foto-foto rendering bangunan modern, desain interior minimalis, dan tangkapan layar gerbang depan universitas impiannya. Semua itu terasa begitu dekat, namun kini seakan dijauhkan paksa darinya.

Lalu, pikirannya kembali berputar ke teka-teki Ayahnya.

Orang yang sangat ia kenal.

Laki-laki baik, sholeh, mapan.

Tinggal di kota tujuannya.

Mendukung kuliahnya.

Siapa?

Bunga mulai membuat daftar mental. Anak Pak RT? Mustahil, dia sudah beristri. Anak teman pengajian Ibunya? Ia mengenal beberapa, tapi tidak ada yang "sangat" ia kenal. Kakak kelasnya dulu? Siapa?

Lalu, satu nama terlintas di benaknya. Nama yang begitu familiar, begitu dekat, namun terasa sangat tidak mungkin.

"Mas Arga...?"

Ia mengucapkannya dalam bisikan. Arga Pradipta. Putra tunggal Om Pradipta dan Tante Ratih, sahabat kental Ayahnya sejak muda. Mas Arga yang lima tahun lebih tua darinya. Mas Arga yang saat ini bekerja sebagai arsitek muda di sebuah firma ternama di kota metropolitan itu. Kota yang sama dengan kampusnya.

Bunga menggeleng keras, seakan mengusir pikiran itu.

"Nggak. Nggak mungkin."

Mas Arga sudah seperti kakaknya sendiri. Sejak kecil, Bunga adalah "adik" yang selalu mengekor ke mana Arga pergi saat keluarganya berkunjung. Mas Arga yang mengajarinya bermain sepeda. Mas Arga yang dengan sabar membantunya mengerjakan PR Fisika yang rumit. Mas Arga yang lima bulan lalu, saat pulang kampung, mentraktirnya es krim sambil menggodanya, "Udah siap jadi anak kota, nih? Awas jangan kaget sama macetnya."

Tidak. Tidak mungkin orang tuanya dan orang tua Arga setega itu. Menjodohkan dua orang yang hubungannya sudah seperti saudara? Itu... aneh. Menjijikkan.

Bunga lebih memilih dijodohkan dengan orang asing sekalian daripada dengan Mas Arga. Kalau dengan orang asing, ia bisa membangun benteng. Tapi dengan Mas Arga? Bagaimana bisa ia bersikap canggung dengan orang yang tahu semua aib masa kecilnya?

"Bukan dia," Bunga meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti bukan dia. Ayah cuma menggertak."

Tapi, jauh di dalam hatinya, sebuah keraguan mulai tumbuh. Semua deskripsi Ayahnya... terlalu pas.

Seminggu itu terasa seperti di neraka.

Bunga menjalankan aksi mogok bicara. Ia hanya akan menjawab "ya", "tidak", atau "tidak tahu" jika ditanya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, mengunci diri, seakan berharap jika ia bersembunyi cukup lama, hari lamaran itu tidak akan pernah tiba.

Rumah mereka, sebaliknya, menjadi sibuk. Ibu mulai memesan kue-kue kering dan tumpeng mini. Ayah terlihat beberapa kali menelepon, suaranya terdengar serius namun antusias. Bunga melihat Ibu mengeluarkan setoples rengginang terbaik dan membersihkan ruang tamu lebih teliti dari biasanya.

Semua persiapan itu bagaikan paku-paku yang ditancapkan ke peti matinya.

Dua hari sebelum hari-H, Ibu masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Ia membawa sebuah bungkusan besar dari butik langganannya.

"Nduk," panggilnya lembut. Bunga hanya diam, memunggungi ibunya sambil pura-pura membaca buku kuliah yang sudah ia beli.

"Ini kebaya untuk hari Minggu. Dicoba, ya. Takutnya ada yang tidak pas."

Bunga tidak bergeming.

"Bunga, Ibu mohon..." suara Ibunya terdengar lelah. "Jangan mempersulit semuanya. Ayahmu melakukan ini karena dia sayang padamu."

"Sayang?" Bunga akhirnya berbalik, matanya berkilat marah. "Dengan menjual Bunga seperti ini? Ini namanya bukan sayang, Buk. Ini egois."

"Jaga ucapanmu, Bunga!" Suara Ibu meninggi, sesuatu yang jarang terjadi. "Kami ini orang tuamu! Kami lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Kamu pikir kami tenang melepas anak gadis satu-satunya merantau sendirian? Kalau kamu kenapa-kenapa di sana, siapa yang mau menolong?"

"Bunga bisa jaga diri! Bunga bukan anak kecil lagi!"

"Buktinya sekarang saja kamu masih membantah orang tua!" Ibu meletakkan bungkusan kebaya itu di atas meja belajar Bunga. Warnanya dusty pink lembut, dengan bordiran bunga melati—nama depannya—di bagian kerah. Cantik sekali. Dan Bunga membencinya.

"Pakai itu hari Minggu. Atau Ayahmu sendiri yang akan memaksamu memakainya," ancam Ibu sebelum keluar dari kamar, menutup pintu dengan lebih keras dari biasanya.

Bunga menatap kebaya itu dengan nanar. Air matanya kembali jatuh. Ia kalah. Tidak peduli seberapa keras ia berdebat, ia tahu ia sudah kalah.

Hari Minggu pagi.

Bunga terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara bising di luar kamarnya. Suara orang menata kursi, suara piring-piring. Jantungnya serasa diremas.

Ini harinya.

Ia ingin kembali tidur, berharap saat ia bangun semua ini hanya mimpi buruk. Tapi ketukan di pintunya membuyarkan harapan itu.

"Nduk, bangun. Sudah Subuh. Habis sholat, nanti ada Mbak Wati yang mau merias kamu."

Merias? Bunga mengernyit. "Ini cuma lamaran, kan, Buk? Kenapa harus dirias?"

"Sekaligus tunangan resmi, Nduk. Biar pantas," jawab Ibunya dari luar.

Bunga menyeret kakinya ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata yang sembap, wajah yang kuyu. Calon pengantin macam apa ini?

Setengah jam kemudian, Mbak Wati, perias langganan di kampung mereka, sudah duduk di depannya. Bunga pasrah saja saat wajahnya dipoles foundation, eyeshadow, dan blush-on. Ia seperti boneka kayu, mati rasa.

"Aduh, Nduk Bunga ini emang dasarnya sudah cantik, ya," puji Mbak Wati. "Dikasih make-up tipis aja langsung manglingi. Calonnya beruntung banget ini."

Bunga hanya tersenyum tipis, senyum yang terasa seperti tarikan otot yang kaku.

Pukul sembilan pagi, ia sudah siap. Kebaya dusty pink itu melekat pas di tubuhnya. Ironis. Rambutnya disanggul modern sederhana. Ia terlihat... dewasa. Dan ia membencinya.

"Nah, sekarang kamu tunggu di kamar, ya. Nanti kalau rombongan sudah datang dan siap, baru Ibu panggil," instruksi Ibunya.

Bunga mengangguk dan kembali masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya yang dingin saling bertaut. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berdentum-dentum memekakkan telinga.

Ia masih tidak tahu siapa yang akan datang. Dalam seminggu terakhir, pikirannya terlalu kalut untuk kembali menganalisis. Ia hanya tahu bahwa hidupnya akan berubah hari ini.

Pukul setengah sepuluh.

Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Lebih dari satu. Jantung Bunga melompat ke tenggorokannya.

Ia mendengar suara Ayahnya menyambut. "Assalamu'alaikum..."

Lalu sahutan dari banyak suara. "Wa'alaikumsalam..."

Ada suara tawa berat yang ia kenali sebagai suara Om Pradipta, sahabat Ayahnya. Bunga menahan napas. Jadi... keluarga Mas Arga datang?

Tapi itu bisa saja kebetulan. Mungkin mereka hanya tamu undangan, sebagai sahabat keluarga. Ya, pasti begitu.

Lalu, ia mendengar suara lain. Suara yang dalam, tenang, dan familiar. Suara yang selalu terdengar ramah dan sedikit menggoda.

"Sehat, Om? Maaf, tadi di jalan agak macet."

Bunga merasa seluruh darah di tubuhnya surut ke kaki. Ia lemas. Kakinya gemetar hebat.

Itu suara Mas Arga.

Tidak. Tidak. Tidak.

Ia mencengkeram sprei kasurnya kuat-kuat. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Nggak mungkin. Tolong, jangan dia.

Pintu kamarnya terbuka. Ibunya berdiri di sana dengan senyum lebar yang dipaksakan. "Ayo, Nduk. Rombongannya sudah lengkap. Saatnya kamu keluar."

Bunga tidak bisa bergerak.

"Bunga, ayo," panggil Ibunya lagi, kali ini sedikit tidak sabar.

Bagaikan robot yang rusak, Bunga bangkit. Setiap langkah dari kamar tidurnya menuju ruang tamu terasa seperti berjalan di atas bara api. Lantai di bawahnya terasa bergoyang.

Ia tiba di ambang pintu ruang tamu. Ruangan itu penuh. Di sana, di atas karpet, duduk Ayah dan Ibunya. Di seberang mereka, Bunga melihat Tante Ratih yang tersenyum lembut padanya, dan Om Pradipta yang mengangguk-angguk kecil.

Dan di sebelah Om Pradipta, duduk dia.

Arga Pradipta.

Pria itu mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat gelap yang serasi dengan kedua orang tuanya. Rambutnya yang biasanya sedikit ikal dan berantakan, kini tersisir rapi ke belakang. Dia terlihat sangat berbeda. Lebih serius, lebih mapan, dan... lebih asing.

Saat Bunga masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi Bunga hanya bisa terpaku pada satu orang.

Mata mereka bertemu.

Mata Bunga membelalak ngeri, penuh dengan pertanyaan, dan sarat akan tuduhan pengkhianatan.

Mata Arga, sebaliknya, tenang. Namun di baliknya, Bunga bisa melihat sesuatu yang lain. Ada rasa bersalah di sana, tapi juga ada keteguhan yang kokoh. Seakan dia tahu apa yang dia lakukan dan siap menanggung konsekuensinya.

"Nah, ini dia putri kami satu-satunya, Melati Bunga Yasmin," suara Ayah Bunga memecah keheningan yang tegang. Ayahnya terdengar bangga.

Om Pradipta di seberang sana tersenyum lebar. "Wah, Bunga sudah jadi gadis rupanya. Cantik sekali. Bagaimana, Arga?"

Bunga ingin berteriak. Bagaimana apanya?!

Arga tidak melepaskan pandangannya dari Bunga. Dia tersenyum tipis—senyum yang sangat Bunga kenali, senyum yang biasanya ia gunakan untuk menenangkan Bunga saat gadis itu panik karena PR—namun kali ini senyum itu terasa salah.

"Cantik sekali, Om," jawab Arga, suaranya tetap tenang.

Dua kata itu menghantam Bunga seperti badai.

Dia tahu.

Laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri ini tahu segalanya. Dia tahu tentang perjodohan ini. Dia terlibat. Dia adalah pusat dari semua kekacauan ini.

Dia... adalah calon suaminya.

Bunga merasakan air mata panas mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin berbalik dan lari. Tapi kakinya seakan terpaku di lantai.

"Silakan duduk, Bunga," kata Ibunya, menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Bunga duduk dengan kaku. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menolak untuk melihat siapa pun, terutama Arga.

Acara pembukaan basa-basi dimulai. Ayah Bunga dan Om Pradipta saling melempar pantun jenaka, yang disambut tawa oleh para tamu lain. Bunga tidak mendengar satu kata pun. Telinganya berdengung.

Yang ia tahu hanyalah, dunianya baru saja runtuh. Dan orang yang membantunya membangun dunianya selama ini, kini adalah orang yang sama yang menghancurkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!