Liora, 17 tahun, lulusan SD dengan spesialisasi tidur siang dan mengeluh panjang, menjalani hidup sederhana sebagai petani miskin yang bahkan cangkulnya tampak lebih bersemangat darinya. Suatu pagi penuh kebodohan, ia menginjak kulit pisang bekas sarapan monyet di kebunnya. Tubuhnya melayang ke belakang dengan gaya acrobat amatir, lalu—krak!—kepalanya mendarat di ujung batang pohon rebah. Seketika dunia menjadi gelap, dan Liora resmi pensiun dari kemiskinan lewat jalur cepat.
Sayangnya, alam semesta tidak tahu arti belas kasihan. Ia malah terbangun di tubuh seorang perempuan 21 tahun, janda tanpa riwayat pernikahan, lengkap dengan balita kurus yang bicara seperti kaset kusut. Lebih parah lagi, si ibu ini… juga petani. Liora menatap langit yang sudah tau milik siapa dan mendesah panjang. “Ya Tuhan, jadi petani rupanya jalan ninjaku.”
Anak kecil itu menunjuk wajahnya, bergumam pelan, “Wa... wa...”
Liora melotot. “Hebat. Aku mati dua kali, tapi tetap dapat kerja tanpa gaji.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smi 2008, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Sepertinya… kita perlu bicara, Nek.”
---
“Pa… pa…” tiba-tiba Salwa bersuara, lalu kembali mencomot nasi dengan tekun. Liora dan Akmal hanya menatap sejenak, diam, membiarkan momen itu bergulir pelan.
“Paman… terima kasih atas tawarannya,” kata Liora sambil menahan tangan yang gemetar karena lapar. Ia kembali menyendok nasi ke piring Salwa, menumpuk hingga menggunung, lalu menuang kuah sayur. Tanpa peduli penilaian orang di sekitarnya, ia menyuap dengan rakus. “Tapi aku tidak bisa meninggalkan rumahku. Aku nyaman di sana—kecil, damai, dan tenang. Aku juga tidak ingin membuatmu repot hanya karena aku.”
Liora menyingkirkan sendok dan mulai menyuap dengan lahap; dua potong pete sekaligus masuk mulutnya, disusul udang. Dengan jari-jarinya yang cekatan, ia menjepit sepotong ikan bakar untuk Salwa, yang mengunyah pelan namun mantap. Saat itu, makan adalah prioritas utama baginya.
Akmal menarik napas panjang, menatap keponakannya yang tak lagi tampak anggun. Ia menoleh ke Salwa, lalu berkata lembut tapi tegas, “Liora… pikirkan Salwa. Dia butuh tempat yang aman dan lingkungan yang layak. Paman bisa mengurus terapi terbaik di Jakarta, supaya tumbuh sesuai usianya.”
Liora menatap sambil mengunyah. “Cukup Paman kirim uang tiap bulan,” jawabnya santai. “Kirim langsung ke aku, bukan lewat Nenek. Pakai amplop—langsung. Hadiah juga boleh, tapi jangan kartu dan PIN. Aku tidak mau ribet.”
Ia melahap suapan berikutnya, lalu menambahkan tanpa ragu, “Oh, Paman juga boleh bantu perbaiki atap seng rumahku yang bocor, dan pasang lantai tegel biar awet.”
Akmal mengernyit, mendengar permintaan frontal itu. Sekilas wajahnya menegang, tapi senyum tipis muncul—artinya Liora masih percaya padanya tanpa ingin membebani. Ia menepuk meja pelan, menatap keponakannya yang sibuk makan.
Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang, wajahnya melunak, mata sedikit berkilat. “Baik, Lio… kalau itu yang kau mau, Paman urus semuanya. Amplop tiap bulan langsung ke tanganmu, atap bocor dan lantai tegel, Paman tangani. Salwa juga akan mendapatkan terapi terbaik,” ucapnya, menatap keponakannya dengan lega dan hangat.
Liora tersenyum lega, mengira pamannya bakal marah karena permintaannya nyeleneh. Ia menahan kunyahannya, mengedipkan mata ke pria di depannya. “Paman memang terbaik,” pujinya tulus.
Akmal menoleh, senyum tipis masih di wajahnya. “Baru sadar, ya? Santai saja, biar Paman yang urus semuanya. Kebetulan hari ini aku memang nggak buru-buru,” ujarnya sambil mengecek jam di pergelangan tangan.
Setelah perut mereka kenyang dan membuncit, Akmal dan Liora melanjutkan perjalanan ke mall. Mereka membeli banyak baju dan celana untuk Salwa dan Liora, serta sendal dan sepatu. Beberapa kebutuhan lain juga ikut diborong: selimut, kasur, sarung, handuk, bahkan celana dalam untuk ibu dan anaknya.
Akmal juga membelikan Salwa mainan: boneka beruang besar, mainan masak-masakan, dan mainan edukatif untuk melatih sensoriknya. Untuk kebutuhan tubuh Liora dan Salwa, Akmal membeli susu dalam kemasan dos, serta berbagai kebutuhan makan Liora.
Liora pura-pura menolak, tapi di hatinya terdengar bisikan, “Ayo Paman, beli, beli, beli.” Akmal tahu itu, terlihat dari mata Liora yang berbinar-binar.
Di kasir, Akmal menyerahkan kartu dan menatap total belanjaan yang membuat kasir menahan napas. Liora hanya tersenyum licik di sampingnya—pura-pura bersalah tapi jelas menikmati setiap detik pesta belanja ini.
Mereka keluar dari toko dengan penampilan yang sama sekali berbeda. Baju yang dikenakan Liora dan Salwa telah berubah—dulu mirip lap lusuh, kini tampak berkelas.
Liora mengenakan gaun sederhana tapi elegan yang jatuh lembut di tubuh rampingnya, menonjolkan sisi anggun tanpa berlebihan. Tapi ekspresinya? Congkak dan songong. Ia mengibaskan anak rambut yang disanggul asal-asalan, seolah berkata pada dunia, “Lihat aku sekarang.” Di bahunya tergantung tas selempang merah muda cantik, di dalamnya terselip Samsung Galaxy A54—juga dibeli oleh Paman, lengkap dengan kartu isi ulang yang siap dipakai.
Salwa mengenakan dress mini lembut dengan motif kelinci dan bunga mungil, lengkap dengan sepatu yang pas. Penampilannya rapi dan manis, membuatnya tampak seperti versi mini dari Liora—meski belum bisa menyaingi ekspresi congkak sang ibu.
Mereka kembali ke rumah dengan bagasi mobil penuh barang. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di ujung Lorong Sinar Batu. Untung saja stapak masih muat satu mobil. Mobil berjalan pelan, diiringi tatapan penasaran tetangga.
Ani, yang sedang menunggu ikan di depan rumah Bu Misna, menyikut tangan Mama Rena. Mata Mama Rena tak lepas mengikuti mobil itu sampai berhenti.
“Liora, mana rumahmu? Ini sudah sangat ujung. Jangan bilang kita harus naik gunung,” tanya Akmal, khawatir. Di depannya terlihat tanaman pisang dan pohon cokelat.
“Sedikit lagi… ya, ya, nah… sampai!” Liora menjawab senang, sementara Salwa sudah tertidur di kursi mobil.
Akmal memandang sekeliling, mencari-cari rumah Liora, tapi tak terlihat sedikit pun.
“Liora… apa kau yakin alamatnya benar?” tanyanya mulai ragu. Apakah mungkin keponakannya menjadi tunawisma? Tidak ada rumah di sekitar, hanya lorong sepi.
Liora menunjuk ke arah sebuah bangunan, sedikit mendongak. Akmal mengikuti arah tangannya, dan seketika mulutnya terbuka lebar.
“Busyet. Ini… rumah atau pemakaman?” gumamnya, bulu kuduk meremang. Ia membayangkan rumah mungil dan cantik, tapi kenyataannya hanyalah kotak reot dengan atap karatan, dinding kayu bengkok dan patah, beberapa bagian ditambal seadanya dengan seng bekas dan kardus. Lebarnya hanya sekitar 5x7 meter, berdiri di atas tanah miring tanpa pondasi.
Akmal memijit pelipisnya, hampir tak percaya. “Serius, Lio?”
Liora menepuk punggung pamannya. “Paman, jangan lihat fisiknya, lihat fungsinya. Aku masih hidup dan bahagia. Rumahku kecil dan reot, tapi nyaman. Aku dan Salwa bisa tidur nyenyak, terlindungi dari panas dan hujan selama empat tahun. Dan ada hikmahnya, Paman—aku belajar menghitung dari lubang-lubang di atapnya!”
Akmal menelan ludah, menatap rumah itu lagi, lalu menatap Liora. Bibirnya bergetar antara ingin tertawa atau menangis.
Akmal membuka bagasi mobil dan mengeluarkan isinya satu per satu, mengangkat barang-barang Liora ke atas. Sementara itu, Liora menggendong Salwa dan naik ke rumah, menidurkan anaknya di kasur. Akmal mondar-mandir, mengangkut barang dengan napas ngos-ngosan, sementara bisik-bisik tetangga mulai terdengar dari telinga ke telinga.
Setelah semua terangkut dan kamar Liora penuh dengan barang-barang, Akmal merebahkan diri di lantai, kepala dan kakinya hampir menyentuh dinding. Liora memberikan segelas air, yang langsung diteguknya dengan rakus.
Liora membuka bungkusan kue donat berbagai varian rasa dan menaruhnya di piring, lalu menyodorkannya kepada pamannya. Akmal mengambil satu dan baru saja akan menyuapnya, terdengar suara keras dari luar:
“Liora, keluar! Beraninya bawa pulang laki-laki, dasar wanita sundal!”
Nenek Darma menerobos masuk, langkahnya tergesa, namun pandangannya langsung terhenti. Wajahnya seketika memucat, seolah melihat sesuatu yang tak pernah ia sangka.
“Sepertinya… kita perlu bicara, Nek.”
“Nak Ak… Akmal?”
ketahuan boroknya ....
nek jelasin kemana uang yg dikirimkan untuk Liora....
mumpung yg ngirim juga ada di situ.....
nyampeknya cuma lima ratus ribu......
duh ini mah bukan korupsi lagi tapi perampokan....
badai Liora.......
kejam sekali itu nenek Darma.
ngak ada Darmanya sama cucu sendiri.