 
                            Sebuah kecelakaan membawa Sora Langi ke dunia kultivasi, bersama sistem kultivasi harem akankah dia bisa kembali ke bumi?   Sistem milik Sora tidak biasa, kalau mau jadi kuat harus sering melakukan kontak fisik dengan lawan jenis. Semakin intim kontak fisik semakin besar poinnya, akankah Sora mampu melangkah maju bersama sistem? 
 
(Ding! Pegangan tangan dengan lawan jenis, poin harem +...) 
(Ding! Berciuman dengan lawan jenis, poin harem +...) 
(Ding! Berpelukan dengan lawan jenis, poin harem +...) 
(Ding! Berhubungan i...., poin harem +...) 
Tentu saja, meski caranya absurd, Sora Langi pasti melangkah maju sambil mengumpulkan kecantikan di kanan dan kiri.  Anak tetua desa yang cantik tapi pemalu, ketua sekte yang tegas dan dingin, dewi perang yang ditakuti miliaran orang, semua akan menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYN02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
-
Malam itu desa mengadakan perjamuan makan daging karena mereka berhasil mengamankan stok daging untuk satu bulan. Semua ini berkat Sora, dia memburu puluhan sapi bulu besi lalu menyerahkan semuanya ke desa.
Sora cuma menyisakan satu ekor untuk dirinya lalu menyerahkan sisanya kepada desa tanpa meminta bayaran. Di saat semua orang bersorak, ada satu mata yang dengan tulus menatap Sora.
Pemilik mata tersebut adalah Melati, dia paling mencolok di tengah kerumunan wanita karena kulitnya paling putih serta figurnya paling mencolok dibandingkan wanita lain.
Kalau diibaratkan dengan kalimat yang mudah dimengerti, Melati adalah satu - satunya warna cerah di antara kerumunan warna kusam.
Sora tentu saja merasakan tatapan Melati, dia tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.
Para wanita di sekitar heboh, termasuk istri orang yang mungkin memiliki perasaan khusus untuk Sora. Mereka pikir, Sora melambaikan tangan pada mereka, padahal maksud Sora cuma untuk Melati.
Satu - satunya orang yang sadar cuma Melati, tapi dia terlalu malu untuk mengatakannya pada yang lain.
Kehebohan bertahan untuk sementara sampai semua orang terlarut dalam perjamuan yang menyenangkan baru kemudian kehebohan terhenti.
Di akhir perjamuan, Sora dipanggil tetua desa untuk bicara empat mata.
"Kamu seorang kultivator?" tanya tetua desa serius.
Sora ragu sejenak tapi masih menganggukkan kepala. "Benar, ada masalah?"
"Bagus kalau kamu jujur." Tetua desa sama sekali tidak terkejut mendengar jawaban Sora. Mungkin dia sudah tahu namun tetap bertanya cuma untuk menguji Sora. "Kamu suka putriku?"
"Hah?!" Sora melebarkan mata dengan wajah kaget.
Tetua desa dengan tenang mengamati reaksi Sora.
Sora terdiam selama beberapa detik kemudian menganggukkan kepala. "Aku memang menyukai Melati."
"Hah, sudah kuduga, Melati sangat cantik, tidak mungkin kamu tidak menyukainya." Ada rasa pasrah dalam suara tetua desa.
"Apa aku membuat kesalahan?" tanya Sora ragu.
"... Tidak, malah kamu menyelamatkanku dari masalah." Tetua desa tersenyum sederhana seperti pria paruh baya biasa.
Sora menjadi bingung dan penasaran dengan maksud tetua desa. "Tolong jelaskan, sampai aku memahaminya."
"Kamu ingat pertanyaan yang aku lontarkan padamu beberapa saat setelah kamu bangun?"
Sora merenung sejenak. "Kalau tidak salah, kamu tanya aku soal suruhan orang - orang itu."
Tetua desa menganggukkan kepala. "Benar, kamu tidak penasaran dengan siapa orang - orang yang aku maksud?"
"Sejujurnya aku sangat penasaran tapi saat itu aku merasa tidak boleh bertanya," jelas Sora.
"... Kamu bijak juga ya, orang - orang yang aku maksud adalah mereka para bandit gunung. Mereka kejam, bengis, penuh nafsu dan suka merusak. Keberadaan mereka bagaikan duri besar di mata Desa Batu Putih. Berulang kali kami diserang dan setiap kali mengalami kerusakan besar."
Sora menyipitkan mata sambil bergumam dalam hati. 'Akhirnya muncul topik yang cukup berat.' Karena Sora berasal dari dunia modern dan belum pernah bertemu penjahat seperti bandit, dia tidak banyak bereaksi saat mendengar cerita tetua desa. Meski begitu dia tetap menunjukkan wajah super serius di permukaan. "Kalau bandit gunung sangat bermasalah, kenapa tidak melapor pada kerajaan?" tanya Sora ragu.
Tetua desa memutar mata. "Kamu pikir aku belum melakukannya?" Ekspresi tetua desa serius dan tegas.
Sora menghela napas ringan. "Sepertinya sudah."
Tetua desa menganggukkan kepala. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi mereka tidak pernah mengirim ahli untuk menumpas bandit gunung. Mungkin karena mereka berpikir desa ini tidak terlalu penting untuk kerajaan."
Tatapan Sora memadat. "Penting atau tidak, ratusan nyawa ada di sini. Kerajaan seharusnya memberi bantuan meski cuma sedikit."
"..." Tetua desa tidak menanggapi namun ekspresinya menjadi lebih rumit.
"Paman mau aku menghadapi bandit gunung?" tanya Sora.
"Mana mungkin, aku tidak bisa meminta sebanyak itu padamu."
"Lalu apa?"
Tetua desa menyipitkan mata lalu berkata dengan serius. "Misalnya terjadi sesuatu, aku ingin kamu pergi dengan Melati. Bawa dia pindah ke tempat aman tanpa memedulikan keadaan penduduk desa."
Sora terdiam seribu bahasa.
"Aku sudah mengawasimu sejak hari pertama dan yakin kalau kamu bisa membahagiakan Melati. Aku tidak punya penyesalan lagi selama putriku hidup bahagia bersama orang yang dicintainya."
"Aku lega sekarang Paman percaya padaku, tapi buat apa lari kalau aku bisa mengalahkan bandit gunung?" Ada rasa percaya diri sedalam samudra dalam pernyataan Sora.
Tatapan tetua desa memadat. "Aku tahu kamu belum pernah bertarung habis - habisan, kamu pikir bisa membunuh manusia seperti saat memburu binatang?"
Perasaan Sora tertahan sebentar. Sebagai orang yang hidup di era damai, Sora kurang percaya diri bisa melakukannya. Tapi dia sadar kalau cepat atau lambat dia harus membunuh manusia, apalagi sekarang dia hidup di dunia kultivasi yang berlaku hukum rimba.
Membunuh atau dibunuh, dunia kultivasi tidak seindah yang kalian kira. Ragu sedikit saja bisa berakibat fatal pada kehidupan kalian.
"Tidak, tapi aku harus melakukannya!" tegas Sora.
Tetua desa terdiam usai mendengar jawaban Sora. Normalnya dia harus membujuk Sora supaya tidak bertindak gegabah, tapi sekarang entah mengapa dia merasa bisa mempercayai Sora.
"Sepertinya tekadmu sudah bulat, aku rasa tidak mungkin untuk membujukmu."
Sora berdiri dengan senyum percaya diri. "Jangan khawatir, kalau bandit gunung datang menyerang desa, itu akan menjadi hari terakhir mereka hidup."
"Semoga begitu." Tetua desa mengangguk lembut.
"Cuma itu yang ingin dibicarakan?" tanya Sora.
"Mm, kamu bisa kembali. Sepertinya Melati sangat ingin bicara denganmu," jawab tetua desa.
Sora tersenyum tipis lalu meninggalkan ruangan setelah membungkuk pada tetua desa.
Tetua desa mendekati jendela kayu kemudian menghela napas tanpa daya. "Nasib seluruh desa berada di tangannya, tolong berikan dia kekuatan untuk melawan bandit gunung." Tetua desa tidak tahu kalau dengan mengirim Sora bertemu dengan Melati, sudah lebih dari cukup untuk memberinya kekuatan yang bisa digunakan untuk mengalahkan bandit gunung.
...
Melati menguping dari pintu masuk dengan penuh rasa ingin tahu.
"Apa yang mereka obrolkan?" ujar Melati ragu. Karena terlalu fokus, dia tidak sadar kalau terdengar suara langkah kaki yang sangat jelas dari dalam.
Klack!
Sreeet!
"Eh?" Melati baru sadar saat pintu dibuka dari dalam. Dia bertatapan sebentar dengan Sora, kemudian dengan panik berlari lalu menyembunyikan diri di balik gubuk dengan pipi merona.
Sora terkekeh dan berkata, "Kenapa malah lari? Bukannya kamu ingin bicara denganku?"
"!" Tubuh Melati menegang. Dia mengintip sebentar kemudian berkata, "Kamu, apa yang kamu bicarakan dengan ayah?"
Sora tersenyum sambil berjalan mendekati Melati. Begitu tiba di depan Melati, dia menahannya di dinding lalu memajukan wajahnya sampai keduanya bisa merasakan napas satu sama lain.
Melati sangat gugup, jantungnya berdebar kencang sehingga membuat buah surganya bergerak naik - turun.
Sora juga sama saja, ini pertama kalinya dia menggoda wanita sedekat ini. Jantungnya berdebar semakin kencang dari waktu ke waktu sementara gairahnya mulai naik sampai hampir saja merusak akal sehatnya.
Beruntung malam ini udaranya cukup dingin. Angin yang berhembus memiliki suhu rendah yang cukup untuk menekan gairah Sora.
Setelah mendapatkan ketenangannya kembali, Sora tersenyum menggoda dan berbisik di telinga Melati. "Paman bicara soal hubungan kita, dia memberi restu untuk kita menjadi pasangan suami - istri."
"Eh?" Wajah Melati memerah dari pangkal leher sampai ujung telinga.
...
..
.
Bersambung...
 
                     
                    