NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Ketika Dunia Berhenti Berputar

# Bab 35: Ketika Dunia Berhenti Berputar

Setahun setelah Aini lahir, dunia berubah.

Virus Corona menyebar ke seluruh negeri—lockdown diberlakukan, sekolah ditutup, pabrik berhenti beroperasi, pasar sepi, jalanan kosong.

Dan Dewanga... kehilangan segalanya.

***

**Pagi itu, Dewanga bangun seperti biasa—pukul 03.30.**

Ia membuat adonan gorengan dengan harapan masih bisa berjualan—meski ia tahu jalanan sudah sepi, tapi ia harus mencoba.

Pukul 05.00 pagi, ia mendorong gerobaknya menuju perempatan dekat pasar tradisional—tempat biasanya ramai pembeli.

Tapi hari ini berbeda.

Jalanan kosong. Tidak ada orang. Tidak ada pembeli. Hanya polisi dan petugas satpol PP yang berjaga dengan masker dan face shield.

Dewanga memarkir gerobaknya di pinggir jalan—menunggu dengan harap.

Satu jam berlalu. Tidak ada pembeli.

Dua jam berlalu. Masih sepi.

Pukul 08.00 pagi, beberapa orang mulai lewat—ibu-ibu yang buru-buru ke pasar untuk belanja keperluan mendesak.

Dewanga langsung menawarkan. "Bu, gorengan! Masih anget!"

Seorang ibu hampir mendekat—tapi tiba-tiba ada petugas satpol PP berteriak dari kejauhan.

"IBU! JANGAN BERKERUMUN! PULANG! INI LOCKDOWN!"

Ibu itu langsung tergesa-gesa pergi—tidak jadi membeli.

Dewanga terdiam—dadanya sesak.

Ia mencoba lagi—menunggu orang lain. Tapi setiap kali ada yang mulai mendekat, petugas langsung membubarkan.

"JANGAN BERKERUMUN! BUBAR! PULANG!"

Bukan Dewanga yang diusir—tapi pembeli yang diusir.

Dan tanpa pembeli... ia tidak bisa menjual apa pun.

***

**Siang itu, Dewanga pulang dengan gerobak penuh gorengan yang tidak laku.**

Semuanya masih utuh—tidak ada yang terjual. Bahkan tidak ada yang mencicipi.

Ia masuk rumah dengan wajah kosong—lelah, putus asa, bingung.

Tini duduk di sofa, menggendong Aini yang sedang menyusu. Wajahnya datar—tidak ada sapaan.

"Laku berapa?" tanyanya tanpa menatap Dewanga.

Dewanga menunduk. "Gak laku... sama sekali."

Hening.

Lalu Tini menatapnya—tatapan tajam, penuh tuduhan.

"Gak laku? Atau lo males jualan?"

"Bukan gitu, Tini... pembeli gak ada. Jalanan sepi. Petugas bubar-bubarin orang—"

"ALASAN! LO CUMA NYARI ALASAN! PASTI LO CUMA DUDUK-DUDUK DOANG DI SANA!"

"Tini, aku serius—"

"TERUS SEKARANG GIMANA?! KITA MAU MAKAN APA?! AINI MAU MAKAN APA?!"

Dewanga terdiam—bibirnya bergetar. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku... aku akan coba lagi besok. Mungkin besok lebih baik—"

"BESOK?! BESOK?! LO PIKIR KITA BISA BERTAHAN SAMPAI BESOK TANPA UANG?!"

Dewanga menunduk dalam-dalam—air matanya hampir keluar, tapi ia menahannya.

"Maaf... maafin aku, Tini..."

Tini tidak menjawab lagi. Ia hanya menatap Dewanga dengan tatapan penuh kekecewaan—lalu berbalik, masuk kamar dengan Aini.

BRAK!

Pintu ditutup keras.

Dewanga berdiri sendirian di ruang tamu—menatap gerobak yang penuh gorengan tidak laku.

Ia duduk di lantai—menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan... keputusasaan yang benar-benar nyata.

***

**Hari-hari berikutnya tidak jauh berbeda.**

Dewanga tetap mencoba berjualan—pindah tempat, coba di perempatan lain, coba di kampung-kampung.

Tapi hasilnya sama. Lockdown membuat semua orang takut keluar. Petugas terus membubarkan kerumunan. Tidak ada yang berani membeli.

Hari pertama: tidak laku.

Hari kedua: laku lima ribu—hanya satu pembeli yang kasihan.

Hari ketiga: tidak laku lagi.

Uang tabungan Dewanga semakin menipis—habis untuk beli bahan baku yang tidak menghasilkan apa-apa.

Satu minggu kemudian, ia sudah tidak punya uang untuk beli bahan baku lagi.

***

**Malam itu, Dewanga duduk di teras—menatap langit gelap tanpa bintang.**

Ponselnya berdering—panggilan dari Rini.

"Halo, Bu..."

"Dewa, kamu baik-baik aja? Ibu denger lockdown di kota. Kamu masih bisa jualan?"

Dewanga terdiam. Air matanya mengalir—ia tidak sanggup berbohong pada ibunya.

"Ibu... aku... aku gak bisa jualan lagi. Semuanya sepi. Aku gak punya uang..."

Rini menangis di seberang telepon. "Dewa... kenapa gak bilang dari dulu? Ibu kirim beras ya, besok. Biar kalian gak kelaparan."

"Ibu gak usah repot-repot... Ibu juga butuh—"

"Ibu gak apa-apa, Nak. Yang penting kamu, Tini, sama Aini makan. Ibu akan kirim besok."

"Terima kasih, Bu... maafin Dewa..."

"Gak papa, Nak. Ini ujian. Kamu harus kuat."

Telepon terputus.

Dewanga menangis sendirian di teras—menangis untuk keadaan yang tidak bisa ia kontrol, untuk keputusasaan yang semakin mencengkeram, untuk kehidupan yang semakin gelap.

***

**Keesokan harinya, Rini mengirim beras—sepuluh kilogram—lewat tetangga yang kebetulan lewat kampung Dewanga.**

Dewanga menerima beras itu dengan tangan gemetar—memeluknya erat seperti memeluk nyawa.

"Terima kasih, Bu... terima kasih..." bisiknya pada diri sendiri.

Sore itu, Pak RT kampung datang—membawa kantong plastik berisi mie instan, telur, dan beberapa bungkus makanan kaleng.

"Dewa, ini dari pribadi saya. Bukan bantuan resmi. Saya tau kamu lagi susah. Semoga membantu."

Dewanga langsung menangis—tidak malu lagi, tidak peduli lagi.

"Pak... terima kasih... terima kasih banyak..."

Pak RT menepuk bahunya. "Sama-sama, Nak. Kita tetangga. Harus saling bantu."

***

**Malam itu, Dewanga memasak nasi dari beras kiriman ibunya.**

Ia menyiapkan makan malam sederhana—nasi putih, telur ceplok, dan sambal terasi.

Tini duduk di meja makan dengan wajah datar—Aini sudah tidur di keranjang rotan.

Mereka makan dalam diam—tidak ada percakapan, tidak ada kehangatan.

Tapi tiba-tiba, Tini berbicara—nada suaranya tajam, penuh sindiran.

"Enak lo makan. Cari uang gak becus."

Dewanga terdiam—sendok di tangannya berhenti di udara.

Jantungnya berdegup cepat. Dadanya sesak.

Ia menatap Tini—berharap ia salah dengar.

Tapi Tini menatapnya balik—tatapan dingin, tanpa penyesalan.

"Iya, gue ngomong sama lo. Enak banget lo makan. Padahal lo gak ngasih uang sama sekali. Beras ini dari mana? Dari ibu lo kan? Bukan dari hasil kerja lo."

Dewanga menunduk—bibirnya bergetar. Tangannya mengepal erat di atas meja.

"Tini... ini lockdown. Aku gak bisa jualan—"

"ALASAN MULU! ORANG LAIN MASIH BISA CARI UANG! CUMA LO YANG GAK BISA! LO LEMAH! LO GAK BECUS!"

Dewanga tidak menjawab—ia hanya duduk di sana, menunduk dalam-dalam, menahan air mata yang sudah menggenang.

Tini melanjutkan makan—dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Tapi Dewanga... tidak bisa melanjutkan.

Ia berdiri perlahan—meninggalkan piring yang masih setengah penuh, berjalan gontai ke kamar kecil di belakang rumah.

Duduk di lantai dingin—memeluk lututnya, menangis dalam diam.

"Ya Allah... kenapa... kenapa hidup aku kayak gini... aku udah berusaha... tapi tetep aja... tetep aja gak cukup..."

Ia menangis sepanjang malam—tidak ada yang tahu, tidak ada yang peduli.

Dan keesokan harinya, ia bangun lagi—mencoba lagi, bertahan lagi.

Karena itulah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.

---

#

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!