Amira wanita cantik itu, menatap suaminya dengan perasaan yang sulit di artikan. bagaimana tidak, dua tahun yang lalu, dia melepaskan kepergian Andika untuk bekerja ke kota, dengan harapan perekonomian rumah tangga mereka akan lebih mapan, keluar dari kemiskinan. tapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. suami yang begitu di cintanya, suami yang setiap malam selalu di ucapkan dalam sujudnya, telah mengkhianatinya, menusuknya tanpa berdarah. bagaimana Amira menghadapi pengkhianatan suaminya dengan seorang wanita yang tak lain adalah anak dari bos dimana tempat Andika bekerja? ikuti yuk lika-liku kehidupan Amira beserta buah hatinya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Baim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Sementara di rumah Bu Susi. Setelah mengakhiri sambungan telponnya, tak lama kemudian, Bu Susi mengirimkan tiga buah foto kebersamaan Amira dan Dimas, pada Andika. Ya...Bu Susi meminta seseorang untuk memotret keduanya secara diam-diam, saat Amira di antar Dimas ke Bank. Bu Susi tersenyum puas. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Amira, Amira, jangan kamu pikir, aku tidak bisa memisahkan kamu dari Andika. Tunggu saja Amira, hidupmu akan berakhir. kamu sebentar lagi akan menjadi janda. Uang anakku yang bodoh itu, aku sendiri yang menikmatinya."Bu Susi kembali tertawa. Sepertinya Bu Susi sangat percaya diri, lantaran sudah berhasil memfitnah Amira.
Flashback end.
................
Suara adzan dari Masjid, membangunkan Amira dari tidurnya. Masih dengan mata mengantuk, Amira menatap sekeliling kamar, yang terasa asing. Hingga pandangannya berakhir di atas tempat tidur, di samping nya. Dimana putranya sedang terlelap. Amira menutup kedua matanya sebentar.
"Ya Allah...aku harap ini cuma mimpi."
Beberapa detik kemudian, dia kembali membuka kedua matanya. Amira menarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembuskan perlahan. Setelah kesadarannya penuh, Amira mengangkat badannya dari atas tempat tidur, duduk sebentar di atasnya. Menoleh ke sampingnya, menatap sang putra. Tangannya terulur membelai rambut buah cintanya dengan suami tercinta.
"Maaf kan Ibu ya sayang. Kita akan selalu bersama, apapun yang akan terjadi nanti. Ibu akan selalu melindungi mu, walau harus sakit dan berdarah-darah."Sebuah senyuman penuh kasih, tersungging di bibirnya.
"Ayo Amira, demi buah hatimu, kamu harus kuat, hadapi dunia dengan optimis. Jangan pernah menyerah, jangan pernah putus asa. Kamu seorang Ibu Amira, kamu pasti bisa."
Awal pagi, dengan menyemangati dirinya. Amira mengambil ponselnya yang di letakan di samping bantal, yang menjadi alas kepalanya semalam. Desahan kecewa dia keluarkan.
"Ternyata kamu belum juga menghubungi aku Mas. Aku harap perasaan kamu nggak akan pernah berubah. Aku juga nggak tau, apa Ibu sudah menghubungimu atau belum. Kepercayaan kamu, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Jangan pernah ragukan cintaku Mas, jangan pernah kecewakan aku. Cuma kamu dan Alif dunia ku saat ini."
Amira menurunkan kedua kakinya menyentuh lantai kamar. Seketika dinginnya lantai menusuk telapak kakinya. Tapi tidak dengan hatinya. Dengan semangat yang berkobar, Amira keluar dari dalam kamar. Hendak ke kamar mandi, yang letaknya ada di belakang dekat dengan dapur. Suasana rumah terasa sepi, itu yang dia rasakan sesaat setelah pintu kamar dibuka nya. Amira melangkahkan kakinya dalam cahaya remang-remang ruang tengah, menuju dapur. Dia akan membuang hajat, membersihkan diri, sekaligus berwudhu.
................
Suasana sarapan pagi di meja makan keluarga Pak Slamet dan Bu Sinta, terasa hangat dengan kehadiran Amira dan Alif di tengah-tengah mereka. Sesekali mereka tersenyum mendengar celoteh bocah dua tahun itu, yang belum begitu lancar berbicara.
"Semalam Alif bangun makan tidak Mir?"Tanya Bu Sinta, yang melihat cara makan bocah itu, sangat lahap disuapi Ibunya. Sepertinya dia sangat lapar.
Amira tersenyum takut-takut."Semalam Alif tidurnya lelap sekali, aku juga nggak tega bangunin dia. Maaf Bu."Jawab Amira menundukan wajahnya.
"Lain kali, jangan biarkan anak-anak tidur dalam keadaan perut kosong. Kita saja orang dewasa, tidak enak tidurnya, kalau lapar. Apa lagi anak seperti Alif ini..ngerti kamu?"Sambung Pak Slamet, dengan tegas.
Amira menggelengkan kepalanya. "Iya Pak, makasih udah perhatian sama kami."
"Sudah..sudah, kamu cepat suapin Alif, habis itu kamu juga harus sarapan."Bu Sinta menimpali.
Mereka kembali melanjutkan sarapan dalam diam. Selesai menyuapi Alif, giliran Amira melanjut sarapan, dia makan di bekas piring makan anaknya. Karena makanan Alif masih tersisa.
"Ayo..Alif sama Om Romy ya, kita main di luar."Ajak Romy selesai sarapan terlebih dahulu.
"Romy, jangan bawah Alif main di luar, nanti di lihat Neneknya, bisa ribut lagi pagi-pagi."Ucap Bu Santi mencegah putranya membawa Alif main di luar rumah.
Romy seketika tertawa. Sepertinya cowok tanggung itu baru sadar kalau, kalau tamu yang semalaman menginap di rumahnya itu, telah diusir dari rumah Ibu mertuanya, yang berada di sebelah rumahnya.
"Maaf, lupa."
"Kalau gitu kita nonton aja ya?"
"Oce Om."
Mereka tertawa, mendengar jawaban Alif, dengan mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi. Kalau dia setuju dengan ajakan Omnya. Bocah itu pun ikut tertawa. Alif dibawah pergi oleh Romy
"Jadi gimana Amira, mau tinggal di kampung ini, atau mau ikut suamimu ke kota?"Tanya Pak Slamet, setelah mereka sudah selesai sarapan. Tapi belum beranjak dari tempat itu. Piring bekas makan dan sisa sarapan, belum mereka bersihkan.
"Aku masih mau tinggal di kampung ini dulu Pak. Belum ada rencana mau nyusul Mas Dika ke kota., dalam waktu dekat ini. Insya Allah, setelah semuanya siap, baru aku sama Alif nyusul Mas Dika. Tapi untuk sementara, aku sama Alif mau tinggal di rumahnya Endang dulu, kalau sudah dapat kontrakan, baru pindah."
"Mira.."Panggil Pak Slamet pelan.
"Saran Bapak, lebih baik kamu nyusul suamimu ke kota. Kalau kamu tetap di sini dan tinggal dengan ngontrak, apa kata orang-orang nanti. Walau mereka tau, kalau Ibu Susi sering memperlakukan kamu dengan buruk. Tetap saja itu kurang baik nak. Pergilah susul suamimu. Soal ongkos biar nanti kami yang nanggung."Sambung Pak Slamet.
Pria paruh baya itu, sungguh sangat iba pada Amira. Dia teringat akan anak perempuannya yang telah menikahi dan sekarang tinggal di kota mengikuti suamiku yang memang orang kota. Dia tidak bisa membayangkan kalau Ibu mertua anaknya memperlakukannya seperti Bu Susi pada Amira. Mungkin dia orang pertama yang akan membawa anaknya itu pulang ke rumah.
Amira terdiam menatap Pai Slamet sebentar, lalu beralih pada Bu Sinta.
"Pak, Bu."Suara Amira serak menahan tangisnya. Hatinya membuncah. Dia seperti mendapatkan pengganti kedua orang tuanya saat ini. Kedua kelopak matanya sudah tergenang dengan air mata, yang siap meluncur.
"Amira...kalau kamu tidak mau ikut suamimu, maka kamu sama anakmu tidak usah ke rumah Endang, kamu akan tinggal di kost-kostan kami yang ada di ujung kampung itu. Ibu rasa kamu sudah tau tempatnya. Ada satu petak kamar yang kosong, tinggal lah di situ nak, bersama anak mu, tidak usah mikirin biaya sewanya, kami ikhlas bantu kamu."Sambung Bu Sinta.
"Bu."
Air mata Amira tumpah seketika. Antara terharu dan tidak enak hati, yang dia rasakan saat ini. Bagaimana tidak, dia bukan siapa-siapa, yang tidak ada hubungan darah atau apapun dengan Pak Slamet dan Bu Sinta, tapi perhatian mereka kepada dirinya dan anaknya melebihi hubungan darah.
"Sudah, tidak usah menangis. Sekarang beresin meja makan, nanti Bapak yang antar kamu ke sana sekalian Bapak mau ke kantor."Ucapan Pak Slamet, beranjak dari kursinya.
Amira tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya diam dengan derai air matanya. Dia juga tidak ingin menolak, permintaan kedua orang tua yang sangat mulia itu. Karena saat ini, yang dia butuhkan adalah rumah.
Bersambung......
Jd gmes bcanya bkin emosi
Thor jgn bkin amira jd org bego. Toh itu cm mertua bkn ibu kndungnya