Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Rahasia yang Belum Diungkapkan
Langit mulai berwarna jingga saat mentari perlahan tenggelam di balik puncak gunung. Suara-suara langkah dan obrolan ringan terdengar dari asrama para murid, menggantikan hiruk-pikuk latihan siang tadi. Keletihan belum sepenuhnya hilang, tapi suasana terasa lebih tenang, seolah sekte itu sedang menarik napas dalam setelah hari yang panjang.
Di lorong kayu yang menghadap taman kecil, Yanzhi duduk sendirian, membenamkan wajah dalam lengannya. Napasnya perlahan, pikirannya masih penuh gema ujian dan nyala api yang nyaris tak terkendali.
Namun sebelum ia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri, langkah ringan mendekat.
Sore harinya, saat para murid berkumpul di asrama, suasana sedikit lebih santai.
Mo Ran menghampiri Yanzhi, kali ini dengan senyum yang lebih hangat.
"Mungkin kita bisa kerja sama nanti. Siapa tahu, gabungan kekuatan mental dan fisik kita bisa bikin pelatihan ini lebih mudah."
Yanzhi menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil.
"Aku tidak suka bergantung pada orang lain. Tapi… untuk sekarang, aku akan coba."
Mo Ran tertawa ringan.
"Itu sudah langkah besar, Yanzhi. Ayo, kita hadapi semua ini bersama."
......................
Malam itu, Yanzhi menatap langit dari jendela kamarnya. Bintang-bintang berkelap-kelip di balik kabut tipis. Aura roh api mengalir lembut dalam dirinya, seakan menyulut kembali tekad yang sempat padam.
"Aku boleh saja keras kepala. Tapi aku juga harus jadi lebih kuat. Bukan hanya untuk diriku, tapi untuk mereka yang sudah pergi."
Sunyi.
Namun tak lama kemudian, sebuah suara terdengar dari dalam dirinya, dalam, tajam, dan penuh nada meremehkan.
"Akhirnya sadar juga, dasar bocah lambat."
Yanzhi mengerjap, lalu menghela napas panjang. "Kau muncul hanya untuk mengolok?"
"Kalau aku diam saja, nanti kau lupa siapa dirimu. Kepala batu yang sok tangguh. Tapi ya... setidaknya sekarang kau nggak sepenuhnya bodoh seperti biasanya."
Yanzhi mendengus kecil. "Terima kasih atas pujian setengah hati itu," gumamnya sarkas. Ia bersandar di jendela, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Diam sejenak, lalu bertanya dengan nada lebih tenang, "Hei… selama ini aku belum sempat tanya. Kau… sebenarnya apa?"
Sunyi mengendap. Untuk sesaat, roh itu tak menjawab.
"Aku tahu kau bukan roh biasa. Aku bisa merasakannya. Sejak pertama kali kau bangkit di dalam tubuhku, kekuatan itu… terlalu besar."
"Pfft. Akhirnya otakmu berfungsi. Kukira butuh setahun lagi."
"Jangan ngelak. Jawab serius. Kau bukan roh pengawal biasa, kan?" Yanzhi menoleh ke arah gelap ruangan, seakan bisa melihat sosoknya.
"…Tergantung definisimu tentang 'biasa'. Aku jelas lebih hebat dari makhluk-makhluk yang kau sebut roh pengawal."
"Lalu… siapa kau sebenarnya?"
"Itu nggak penting sekarang."
"Buatku penting. Aku bawa-bawa kekuatanmu ke mana-mana, bahkan nyawaku pernah nyaris lepas karenanya. Tapi aku nggak tahu apa-apa soal kau." Yanzhi mengatupkan rahangnya. "Kalau kau memang punya nama… atau asal-usul…"
Roh itu mendengus pelan.
"Nama itu cuma simbol. Kau belum layak tahu."
Yanzhi mengernyit. "Belum layak?"
"Kau masih terlalu lemah. Bahkan tubuhmu nyaris runtuh saat pertama kali menampung sebagian kekuatanku. Kalau aku jujur sekarang, bisa-bisa kau celaka karena penasaran."
"Jadi kau sembunyikan?"
"Aku lindungi kau, bedanya tipis."
Yanzhi terdiam. Ucapan itu terdengar seperti omong kosong sarkastik, tapi di balik nada meremehkannya, ia bisa merasakan satu hal: sang roh menyembunyikan sesuatu yang besar. Sesuatu yang tidak hanya menyangkut kekuatannya… tapi juga masa lalunya.
Ia mengingat kembali percakapan mereka saat awal terikat, ketika roh itu mengaku kehilangan ingatannya.
"Waktu itu kau bilang… ingatanmu terkunci. Tapi semakin lama kita terhubung, aku makin tidak yakin."
"Oh? Baru nyambung satu dua petunjuk, langsung merasa paling paham?"
"Kau sering menyela dengan saran yang anehnya selalu tepat. Saat aku berlatih atau ikut ujian, kau tahu harus bagaimana, seolah semua itu sudah biasa bagimu."
"Itu disebut insting tajam dan kecerdasan alami. Coba kau punya sedikit saja."
Yanzhi mengabaikan ledekannya. "Kalau benar-benar lupa, dari mana semua itu datang? Kau bukan cuma roh kuat. Kau... pernah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dari ini, kan?"
"Kau terlalu banyak berpikir malam-malam begini. Tidurlah. Otakmu butuh istirahat."
"Kau mengelak lagi."
"…Aku nggak bohong sepenuhnya."
“Artinya kau bohong sebagian.”
"Artinya… ada hal yang belum saatnya kau tahu."
Yanzhi menatap langit malam yang semakin kelam. Dalam diam, ia merasa satu hal semakin jelas: sosok yang bersarang dalam tubuhnya bukan hanya sekadar roh kuat. Ia adalah sesuatu, atau seseorang yang sedang menyembunyikan bayangannya sendiri di balik api dan sarkasme.
Dan Yanzhi bersumpah, cepat atau lambat… ia akan mengungkap semuanya.
......................
Keesokan harinya, kabut pagi belum sepenuhnya menghilang saat rutinitas sekte kembali berjalan.
Hari itu di lapangan latihan sekte, udara pagi masih segar tapi penuh dengan semangat. Para murid berkumpul, masing-masing dengan tekad yang berbeda. Yanzhi berdiri di antara mereka, matanya masih menyisakan rasa lelah setelah ujian kemarin, tapi ada semangat baru di dalamnya.
Pelatih membagi kelompok untuk kompetisi latihan, tujuannya sederhana: mengasah pengendalian kekuatan dan kerja sama.
Yanzhi mendapat pasangan latihan, seorang murid bernama Liang, yang sudah cukup mahir menggunakan elemen angin. Mereka harus saling menguji kemampuan dalam simulasi serangan dan pertahanan.
Mengetahui tingkat kultivasinya belum cukup untuk menandingi Liang, Yanzhi mengatupkan rahangnya. Ia tak takut bertarung. Tubuhnya sudah cukup terlatih, dan kekuatan fisiknya bisa diandalkan. Tapi bila menyangkut teknik elemen dan kendali energi… ia masih tertinggal. Apalagi, energi yang ia pakai bukan sepenuhnya miliknya.
"Mau digulung angin seperti daun kering, atau aku turun tangan?"
Suara itu menggema dalam benaknya. Sudah terbiasa dengan sarkasme roh api, Yanzhi hanya mendecak.
"Aku bisa sendiri."
"Oh tentu. Kau bisa. Hanya butuh sepuluh tahun lagi."
Yanzhi menghela napas panjang. "Kau senang sekali, ya, mengolok."
"Itu hiburan satu-satunya dalam tubuh keras kepala sepertimu. Tapi tawaran tadi masih berlaku. Ambil saja sedikit tenagaku. Sedikit."
Ia ragu. Tapi melihat Liang sudah mulai menarik napas dan mengumpulkan aura angin di telapak tangan, Yanzhi tahu ia tak punya banyak pilihan.
"…Baiklah. Tapi jangan coba-coba mengendalikan tubuhku."
"Kalau aku mau kendali, kau sudah tidur dari tadi."
Yanzhi mengepalkan tangan dan menarik napas dalam-dalam. Ia membuka saluran kecil dalam jiwanya, membiarkan percikan kekuatan roh mengalir. Api menyala perlahan di telapak tangannya, panas, hidup, tapi juga… tidak stabil.
Saat giliran Yanzhi menggunakan kekuatan roh api, ia mencoba memanggil nyala api dengan stabil. Namun seperti biasa, nyala itu sering bergetar tak terkendali, seakan menggambarkan sifat roh yang masih suka menyela dan mengejeknya di tengah proses.
"Fokus, manusia. Kau membuatku malu di depan anak-anak ini."
"Kalau kau diam sedikit, mungkin aku bisa lebih fokus."
"Lihat ini, api kecil yang susah dikendalikan, persis seperti pemiliknya," suara roh itu mengusik dalam hati Yanzhi.
Yanzhi mengerutkan dahi tapi membiarkan itu berlalu. Dia mencoba fokus mengendalikan api, tapi Liang segera memanfaatkan celah untuk menyerang dengan angin kencang yang menyapu api Yanzhi. Ronde pertama berakhir dengan kemenangan Liang.
Namun, Senior Lu Ming tersenyum dan berkata, "Yanzhi, kamu memang belum sempurna, tapi jangan lupa, mengendalikan kekuatan itu butuh ketenangan."
Yanzhi menunduk sejenak, kemudian mengangkat kepala dan berkata dengan suara tegas, "Aku mengerti, Senior Lu Ming."
Saat latihan berlanjut, Yanzhi mulai mencoba mendengarkan apa yang dikatakan roh, tapi juga berusaha mengambil kendali penuh atas kekuatannya. Lama-kelamaan, api yang keluar mulai stabil, dan dia bisa membantu Liang mempertahankan posisi mereka.
......................
Setelah latihan selesai, Yanzhi duduk di bawah pohon, menarik napas panjang. Dalam hati dia berkata, "Mungkin roh ini memang suka mengolok, tapi aku butuh dia. Aku harus belajar lebih banyak."
Roh itu muncul lagi dengan nada setengah sarkastik, "Nah, lihatlah. Kepala batu mulai belajar. Mungkin ada harapan untukmu."
Di balik sarkasme dan bara yang belum stabil, satu hal menjadi jelas. Yanzhi tidak lagi berjalan sendirian. Dan mungkin, untuk pertama kalinya… ia mulai percaya bahwa itu bukan hal yang buruk.
...****************...