PERINGATAN!!!! SELURUH ISI CERITA NOVEL INI HANYA FIKTIF DAN TIDAK RAMAH ANAK ANAK. PERINGATAN KERAS, SEMUA ADEGAN TAK BOLEH DITIRU APAPUN ALASANNYA.
Setelah membantu suaminya dalam perang saudara, dan mengotori tangannya dengan darah dari saudara-saudara suaminya, Fiona di bunuh oleh suaminya sendiri, dengan alasan sudah tak dibutuhkan. Fiona bangkit kembali, ke lima tahun sebelum kejadian itu, dengan tekad kuat untuk membalas Dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
"Siapa kau?" suara kepala bandit itu menggelegar, "Beraninya kau menyelinap ke wilayahku, anak kecil!" Sebuah seringai kejam menghiasi wajahnya, kapak besar yang dipegangnya berlumuran darah.
Fiona, yang napasnya memburu dan pandangannya mulai kabur, menahan sakit dari luka di perutnya. Ia tahu ia terpojok, dikelilingi oleh para bandit yang kehausan darah, dan kali ini, ia tidak akan bisa melarikan diri.
"Aku tidak menyangka kau akan sekuat ini," lanjut kepala bandit itu, mengayunkan kapaknya ke bahu, "tapi semua akan berakhir sekarang." Fiona menelan ludah, matanya menatap tajam, "Kau pikir kau bisa mengalahkanku semudah itu? Kau salah besar!" Namun, sebelum ia sempat melakukan gerakan, kapak besar itu sudah mengayun, dan Fiona hanya bisa menutupi kepalanya dengan tangan.
Tiba-tiba, suara dingin memecah keheningan. "Apa yang kau lakukan, wanita bodoh? Aku pikir kau cerdas, tapi kau malah berkeliaran sampai ke sini." Vergil muncul dari balik pepohonan, matanya menatap tajam ke arah Fiona, ekspresinya dipenuhi kekecewaan.
Tanpa menunggu jawaban, ia bergerak cepat bagai kilat, pedangnya mencabut dari sarungnya, dan dalam sekejap, ia menyisakan kepala bandit yang terkejut, sementara semua anak buahnya telah tewas tertebas. Fiona, yang terpana, hanya bisa melihat para bandit jatuh tak bernyawa, lalu kepalanya menoleh kaku ke arah Vergil, seolah tak percaya.
"Jangan sentuh dia, pria bau!" Vergil menatap tajam ke arah kepala bandit yang masih berdiri. "Kau akan mati di tanganku." Kepala bandit itu, yang terkejut, menyipitkan matanya. "Siapa kau? Apa urusanmu dengannya?" tanyanya, suaranya bergetar. Vergil menyeringai, "Aku adalah orang yang akan mengirimmu ke neraka, dan dia adalah milikku."
Tanpa memberikan kesempatan, Vergil mengayunkan pedangnya, membelah kapak besar di tangan kepala bandit itu. Mata kepala bandit itu melebar, "K-kau..." gumamnya, kini penuh ketakutan. "Kau bodoh jika mengira aku datang untuk menyelamatkannya," bisik Vergil. "Aku datang untuk menunjukkan kepadamu, dan semua orang, bahwa tidak ada yang bisa menyentuh apa yang menjadi milikku." Pedang itu menusuk menembus jantungnya dengan cepat.
Vergil menarik pedangnya, mengabaikan tubuh yang jatuh ke tanah. Ia menoleh ke arah Fiona yang kini tergeletak lemas. Vergil membersihkan pedangnya pada pakaian kepala bandit yang tak bernyawa, lalu menyarungkannya. Ia menatap dingin ke arah Fiona. "Ayo pulang, Fiona," katanya, lalu berbalik.
Namun, Fiona terdiam. Napasnya tersedak, dan kakinya terasa lemas tak bisa digerakkan. Perutnya berdenyut sakit dan pandangannya mulai goyah. Ia berusaha bangkit, namun kembali jatuh.
Vergil menyadari langkah Fiona tidak mengikutinya. Ia berbalik, dan mendapati Fiona tak berdaya. Tanpa kata, ia kembali, membungkuk, lalu mengangkat tubuh Fiona, menggendongnya dalam pelukan. "Dasar merepotkan," gerutunya pelan. "Kenapa kau menolongku?" bisik Fiona. Vergil tak menjawab, namun setelah berjalan beberapa saat, ia akhirnya angkat suara, "Jika otakmu bisa berfungsi bahkan saat kau mati, aku tak perlu menolongmu. Gunakan otakmu dengan baik, dasar bodoh. Aku masih membutuhkannya."
Mereka tiba di kamar Fiona dalam keheningan yang tegang. Vergil meletakkan Fiona dengan hati-hati di ranjang. Vergil duduk di samping tempat tidur, memandangi Fiona yang terbaring lemah.
"Hei Fiona," ucapnya tiba-tiba, "jika kau bosan hidup, berikan otakmu padaku." Suaranya santai, seolah ia sedang bercanda. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis terukir di wajah Fiona. Itu membuat Vergil terdiam sesaat, tatapannya melembut.
Sementara itu, di kamar Felix, suasana tegang menyelimuti. Ratu Eleanor berjalan mondar-mandir di hadapan Felix. "Sekarang apa, Felix? Kau tak memiliki perlindungan sebagai putra mahkota dari ayahmu, kau bodoh!" bentaknya. "Sudah kubilang untuk membuang Fiona dari dulu."
"Aku sudah menyingkirkan semua selir ayahmu, dan sekarang kau harus menyingkirkan anak-anak mereka, semua pangeran, untuk memastikan posisimu aman." Ratu Eleanor berhenti dan menatap dingin ke arah Felix. "Kau tidak punya pilihan lain selain mengorbankan apa yang kau punya demi tujuan kita."
"Felix, kita tak bisa menunggu lebih lama lagi." Ratu Eleanor mencondongkan tubuhnya ke depan, tangannya memegang kedua sisi sofa. "Pangeran Julian dan Pangeran Damien adalah ancaman nyata bagi posisimu. Mereka mendapatkan dukungan dari para bangsawan. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyingkirkan mereka berdua, tapi aku butuh persetujuanmu. Apa yang kau pikirkan?" Ratu Eleanor menatap Felix dengan penuh perhitungan. "Julian semakin mendapatkan banyak dukungan dari para jendral dan petinggi kerajaan, kita harus menyingkirkannya sebelum ia menjadi duri dalam daging. Dan Damien, dia juga tidak bisa dianggap remeh."
Di kamar Fiona, Vergil duduk di samping tempat tidur. "Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Fiona?" tanyanya pelan. "Hanya menunggu," jawab Fiona singkat.
Vergil menyipitkan mata, "Apa maksudmu menunggu?" Fiona tersenyum sinis. "Eleanor dan Felix tidak akan langsung melawanku, Vergil. Mereka tahu sekalipun mereka menang, mereka akan kehilangan banyak hal jika menyerangmu sekarang."
"Menang?" Vergil menyeringai. "Dalam mimpi saja mereka tidak akan pernah menang. Tapi kau ada benarnya." "Baiklah kalau begitu, aku akan bersantai untuk beberapa waktu, melihat mereka saling membunuh."
Tiba-tiba perut Fiona berbunyi. Ia berusaha untuk duduk, namun tubuhnya kaku. Fiona menatap Vergil dengan pandangan memohon. Vergil melirik Fiona, "Apa?" lalu menatapnya lagi.
"Astaga... Baiklah, akan aku ambilkan," gerutunya frustasi. "Fiona, aku ini bukan babumu," sambungnya. Fiona tertawa kecil, "Aku tak mengatakan apa pun, Vergil. Kau sendiri yang menyimpulkan seperti itu." Dalam hati Vergil, ia merutuk, Sialan, aku salah paham.
"Aku akan berlatih," kata Vergil, berdiri dari tempat tidur Fiona. "Jika kau butuh apa pun, panggil saja pelayan. Mereka akan mengurus semuanya." Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Fiona sendirian.
Vergil berjalan cepat menuju lapangan latihan. Di sana, ia mencabut pedangnya, lalu mulai berlatih. Setiap ayunan pedangnya presisi, cepat dan mematikan. Keringat membasahi tubuhnya, namun Vergil terus bergerak. Gerakannya begitu luwes dan mematikan, ia seperti menari dengan pedang. Ia membayangkan setiap ayunan pedangnya mengenai musuh-musuhnya.
Di kamar Fiona, senyum yang tadi menghiasi wajahnya memudar. Begitu pintu tertutup, wajahnya berubah datar. Ia mengamati kakinya. Sambil tersenyum sinis, ia menepuk-nepuk lututnya yang tadinya kaku. Ia tak pernah benar-benar tak bisa bergerak. Itu hanya akting.
Ia bangkit dan berjalan mondar-mandir di kamar. "Dasar bodoh," ia bergumam, "aku bahkan tak tahu kenapa aku tersenyum. Astaga." Fiona memegang pipinya. Pipinya terasa panas. Ia tidak pernah tersenyum pada siapapun. Ia menertawakan Vergil, pria itu dengan mudahnya ia kerjai. Fiona bertekad, tak akan pernah lagi tersenyum pada siapapun.
Fiona berjalan ke balkon, ia melihat Vergil berlatih. Sambil tersenyum, ia berkata dalam hati, "Dasar bodoh, kau mengira kau hebat? Bodoh. Kau tak tahu aku tak pernah benar-benar lemah." Senyum itu dengan cepat menghilang dari wajahnya. Fiona menatap kosong ke arah langit.