BALAS DENDAM ISTRI YANG DIBUNUH SUAMI
"Apa-apaan ini, Felix? Apa semua ini?" tanya Fiona, pandangannya menyapu sekeliling ruangan yang terasa seperti sangkar emas. Raut wajahnya yang sebelumnya dipenuhi tekad kini memudar menjadi pucat pasi, dikhianati oleh kenyataan yang terpampang di depan matanya.
Felix, yang kini bermahkota, merespons pertanyaan itu dengan seringai tipis yang dingin. "Oh, ini, Fiona, adalah takdirmu. Sebuah takdir yang seharusnya sudah kamu pahami sejak awal," sahutnya, suaranya mengandung nada meremehkan.
"Bukankah begitu, sayangku? Tidakkah kamu merasa ini adalah klimaks yang sempurna, setelah setiap pengorbanan yang kamu tumpahkan untukku?"
"Sempurna? Setelah tanganku menjadi kotor demi saudara-saudaramu? Setelah aku rela menderita demi melapangkan jalanmu menuju takhta?" sahut Fiona, suaranya meninggi, dipenuhi amarah yang membara. "Aku melakukan semua ini untuk kita, demi masa depan kita! Tapi apa yang aku dapat sebagai balasan? Pengkhianatan! Kamu memberiku sebuah pengkhianatan yang keji, Felix!"
Felix tertawa pelan. "Astaga, Fiona, kamu masih berpikir ini semua tentang kita? Betapa naifnya pemikiranmu," ujarnya, tawanya mengikis keheningan seperti pecahan kaca. "Darahmu yang tumpah adalah bukti pengabdian absolutmu. Dan kini, kamu menjadi bukti bahwa aku bisa membuang siapa pun yang sudah tidak lagi berguna."
"Kamu sudah menuntaskan kewajibanmu, dan sekarang, sebagai seorang Raja, aku tidak bisa lagi memiliki orang yang sama sepertiku." Ia kemudian menatap Fiona dengan tatapan dingin, seolah-olah dia adalah benda tak bernyawa. "Apa yang kamu harapkan? Sebuah tempat di sampingku sebagai Ratu? Oh, tentu tidak. Tempatmu adalah di sini, di mana kamu tidak akan bisa lagi mengancamku, mengancam kekuasaanku."
Fiona meringis saat para penjaga dengan kasar menyeretnya, membaringkannya di atas meja batu yang dingin dan usang. Tangannya diikat erat pada permukaan yang keras, setiap gerakannya memicu gelombang nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya.
"Lepaskan aku! Pengecut tidak tahu diri!" teriaknya, mencoba melawan dengan sisa-sisa kekuatannya, namun usahanya sia-sia belaka. "Kamu hanya bisa bertarung dari balik bayang-bayang!"
Felix berjalan mendekat, pandangannya yang kosong tanpa emosi terpaku pada Fiona yang kini tak berdaya. "Siksaan ini akan menjadi pelajaran pahit, Fiona. Sebuah peringatan bagi siapa pun yang berani meremehkan takhta yang telah aku rebut. Kamu akan merasakan bagaimana rasanya saat martabatmu diinjak-injak, persis seperti saat kamu menghancurkan semua musuhmu." Dia membisikkan kata-kata itu di telinga Fiona, suaranya dingin dan membekukan.
Fiona hanya bisa mengeluarkan geraman frustrasi, air mata mulai mengalir di pipinya saat rasa sakit fisik dan pengkhianatan emosional menyatu menjadi satu beban yang sangat berat.
"Penyiksaan ini hanyalah permulaan, Fiona. Aku akan memastikan kamu tidak akan pernah bisa melupakan siapa yang berkuasa di sini," tambah Felix dengan nada meremehkan yang sama seperti sebelumnya.
Fiona terperangkap dalam lingkaran penjaga yang mengerikan, tawa mereka bergema, memekakkan telinga. "Yang Mulia hanya meminta kami untuk bersenang-senang sebentar dengan mainannya," sambung penjaga lain dengan suara serak, tangannya yang kotor menyentuh kulit Fiona.
Rasa mual menjalar di perut Fiona, bercampur dengan ketakutan yang dingin. "Kau tidak berhak menyentuhku!" jeritnya, memalingkan wajahnya dan mencoba menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga, tetapi ikatan di pergelangan tangan dan kakinya semakin menguat, mengunci setiap geraknya.
Di sudut ruangan, Felix tersenyum sinis, seolah-olah dia sedang menikmati pertunjukan yang paling menghibur di dunia. Fiona memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir tanpa henti, saat rasa jijik, marah, dan sakit menusuk ulu hatinya, menyadari bahwa pengkhianatan ini jauh lebih kejam dari yang ia bayangkan.
Tawa para penjaga yang tadinya menggema kini memudar, digantikan keheningan yang mencekam saat salah satu dari mereka, yang paling berotot, melangkah maju. Tangannya yang besar dan kasar melingkari leher Fiona, cengkeraman kuatnya mengunci napasnya.
Mata Fiona membelalak kaget, dipenuhi amarah dan ketakutan yang campur aduk. Ia mencoba melawan, tetapi setiap ons kekuatan yang dimilikinya kini terasa tak berarti.
Tiba-tiba, suara retakan memecah kesunyian, mengakhiri perlawanannya. Tubuh Fiona lunglai, matanya yang tadi memancarkan kobaran api kini kosong tanpa cahaya.
Pandangannya terhenti pada siluet Felix yang berdiri di sudut ruangan, hanya memberikan senyum dingin yang puas. Dengan kepergian Fiona, segala ambisi dan pengorbanan yang ia lakukan kini sirna, tak meninggalkan jejak kecuali kenangan pahit akan pengkhianatan.
Tiba-tiba, seperti terlahir kembali dari neraka, Fiona terkesiap, tubuhnya terhempas dari meja dingin. Napas yang tadi dicekik kini kembali, menusuk paru-parunya dengan kemarahan yang membara.
Kenangan akan tatapan sinis Felix dan suara lehernya yang patah terngiang-ngiang di kepalanya, memicu api dendam yang tak terkendali di dalam hatinya.
Pandangannya yang masih buram karena penderitaan berangsur jelas, dan ia menemukan dirinya terbaring di atas karpet beludru yang tebal. Ia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang duduk di kursi kebesaran, Pangeran Vergil, Pangeran Ketiga dari Kerajaan Alvez, adik kedua dari Felix dan salah satu dari tujuh putra Raja Alex.
Fiona memandangnya, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan kalkulasi. Vergil adalah salah satu dari tujuh pangeran yang dibantunya untuk dibunuh. Ia tahu sekarang, ia kembali. Ini adalah kesempatan kedua.
Vergil, merasakan tatapannya, menoleh dengan gerakan anggun. "Kenapa kamu ada di kamarku?" tanyanya dengan suara dingin.
Fiona bangkit, menatap Vergil dengan sorot mata penuh tekad. Ini adalah kesempatan untuk menulis ulang takdir, dan Felix akan membayarnya dengan harga yang jauh lebih mahal.
Dengan hati yang dipenuhi api dendam dan pikiran yang tajam, Fiona berdiri dan melangkah pasti menuju pintu. Ia tidak lagi ingin melarikan diri, melainkan ingin memulai permainan baru.
Namun, baru saja tangannya menyentuh gagang pintu, sebuah tangan dingin dan kuat mencengkeram pergelangannya, menghentikan langkahnya dengan paksa. Vergil sudah berdiri tepat di belakangnya, kehadirannya yang tiba-tiba membuat bulu kuduknya meremang.
"Kau kira bisa masuk dan keluar dari kamarku begitu saja, calon kakak ipar?" bisiknya, suaranya terdengar begitu dekat hingga Fiona bisa merasakan napas dinginnya di telinga. Sebuah seringai sinis terukir di bibirnya yang tipis, memperkuat kesan bahwa dia adalah sosok yang berbahaya dan tidak terduga.
“Apalagi setelah kau lancang menyentuh tempat tidurku tanpa izin. Bagaimana kalau aku mencicipimu dulu, sebelum kakakku?” tambahnya, nada suaranya berubah menjadi lebih rendah dan mengancam, seolah-olah dia adalah seekor predator yang tengah mengintai mangsanya. "Bukankah begitu, hmm?"
Vergil memiringkan kepalanya sedikit, pandangannya yang dingin menusuk langsung ke dalam mata Fiona, seolah-olah dia sedang mencoba membaca setiap rahasia yang tersembunyi di baliknya.
Cengkeraman Vergil pada pergelangan tangan Fiona menguat, menariknya paksa hingga tubuhnya terhuyung ke belakang dan menabrak dada bidang sang pangeran. Vergil merangkulnya dengan tangan lainnya, menjebak tubuhnya dalam kungkungan yang kokoh.
"Aku tidak menerima jawaban, calon kakak ipar," gumamnya, suaranya lebih rendah dan lebih mengancam dari sebelumnya.
Fiona berjuang, tetapi setiap upayanya sia-sia di hadapan kekuatan Vergil yang menantang. Dengan satu gerakan cepat, Vergil mulai melucuti pakaiannya, dan kain sutra itu meluncur jatuh ke lantai.
"Ini hanya awal dari perkenalan kita," bisik Vergil.
Fiona memejamkan matanya, rasa sakit di hatinya beradu dengan dendam yang membara, dan ia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.
Ia bersumpah akan membalas semua ini, dan ia akan memastikan Felix menyaksikan kehancuran yang telah ia picu dengan tangannya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments