Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penolakan Dan Dendam
Sore itu, sesuai rencana yang telah disusun oleh Riani, Anton datang ke rumahnya. Kedatangan Anton seolah-olah terjadi secara kebetulan, namun sebenarnya semua itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Riani agar Anton bisa berkenalan dengan Dinda. Riani, dengan segala kelicikannya, telah merancang pertemuan ini dengan harapan bisa memanfaatkan Anton untuk mencapai tujuannya. Ia tahu bahwa Anton adalah pemuda yang mudah dipengaruhi, dan ia yakin bisa mengendalikannya untuk menghancurkan keluarga Pak Rahman.
Sejak saat itu, Dinda dan Anton semakin akrab dan dekat. Padahal, Anton adalah pemuda yang hidupnya tidak jelas, suka mabuk-mabukan, rambutnya gondrong, dan penampilannya urakan. Ia bukanlah tipe pria idaman yang biasanya diimpikan oleh para wanita. Namun, anehnya, Dinda justru terpikat pada Anton. Wajah Anton pun sebenarnya tidak bisa dibilang tampan, malah cenderung berantakan. Namun, mungkin karena sikapnya yang luwes dan kepandaiannya dalam mengambil hati, Dinda jadi suka dan terpesona pada Anton. Anton tahu bagaimana cara membuat Dinda merasa istimewa, dan ia tidak ragu untuk memberikan pujian dan perhatian yang membuat Dinda merasa nyaman di dekatnya.
Suatu sore, Anton menemui Dinda untuk mengajaknya jalan-jalan. "Din, kita jalan-jalan yuk!" ajak Anton pada Dinda dengan senyum menawan. Ia berharap Dinda akan menerima ajakannya tanpa ragu.
"Ayuk! Kebetulan Mas Anton mengajak jalan-jalan, karena aku juga bosan di rumah," balas Dinda dengan semangat. Ia sudah lama ingin menghabiskan waktu berdua dengan Anton, dan ajakan ini adalah kesempatan yang tidak ingin ia lewatkan.
"Sip, kalau begitu!" jawab Anton dengan mata berbinar-binar. Ia merasa senang karena Dinda menerima ajakannya dengan antusias.
"Kalau gitu, aku pamit dulu ya pada Bapak dan Ibu, biar mereka nanti nggak bingung mencariku!" kata Dinda sambil berjalan masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu jawaban Anton. Ia ingin meminta izin kepada orang tuanya agar mereka tidak khawatir jika ia pergi dengan Anton.
Sesampainya di ruang tengah, Dinda melihat ayahnya, Pak Rahman, sedang duduk merokok sambil menonton televisi. Asap rokok mengepul di sekelilingnya, menciptakan suasana yang tidak sehat. "Pak, Dinda minta izin jalan-jalan ya!" kata Dinda meminta izin dengan sopan.
"Dengan siapa kamu jalan-jalan?" tanya Rahman dengan nada menyelidik. Ia ingin tahu dengan siapa putrinya akan pergi.
"Dengan Mas Anton, Pak!" jawab Dinda jujur. Ia tidak ingin menyembunyikan apa pun dari ayahnya.
"Anton yang rambutnya gondrong dan urakan itu?" tanya Pak Rahman lagi, dengan nada tidak setuju. Ia sudah mendengar tentang Anton dari orang-orang di desa, dan ia tidak menyukai pemuda itu.
"Iya, Pak!" jawab Dinda, jujur. Ia berharap ayahnya akan memberikan izin kepadanya.
"Tidak... Bapak tidak mengizinkan kamu pergi dengan Anton!" kata Pak Rahman tegas. Ia tidak ingin putrinya bergaul dengan pemuda yang tidak jelas seperti Anton.
"Tapi kenapa, Pak?" tanya Dinda kecewa. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak mengizinkannya pergi dengan Anton.
"Boleh ya, Pak!" pinta Dinda penuh harap. Ia memohon kepada ayahnya agar ia bisa pergi dengan Anton.
"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!" kata Pak Rahman dengan nada yang tidak bisa dibantah. Ia sudah mengambil keputusan, dan ia tidak akan mengubahnya.
"Tapi apa alasannya Bapak tidak mengizinkan saya pergi dengan Mas Anton?" tanya Dinda, suaranya mulai bergetar menahan tangis. Ia merasa sedih dan frustrasi karena ayahnya tidak memberikan alasan yang jelas mengapa ia tidak boleh pergi dengan Anton.
"Karena Anton itu pemuda luntang-lantung, tidak jelas pekerjaannya, dan suka mabuk-mabukan!" jawab Pak Rahman dengan nada meninggi. Ia mengungkapkan semua alasan mengapa ia tidak menyukai Anton.
"Tapi alasan apa yang bisa saya berikan pada Mas Anton nanti, Pak?" ucap Dinda, air matanya mulai menetes. Ia merasa bersalah karena harus menolak ajakan Anton.
"Sudah, biar Bapak yang kasih alasan padanya!" kata Pak Rahman. Ia akan menghadapi Anton sendiri dan menjelaskan mengapa ia tidak mengizinkan Dinda pergi bersamanya.
Anton yang mendengar percakapan itu dari luar rumah, hatinya langsung panas. Ia merasa dihina dan direndahkan oleh Pak Rahman. Mukanya memerah menahan amarah. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini.
Tiba-tiba, Pak Rahman keluar dari rumah dan menghampiri Anton. "Maaf, Anton, Dinda tidak bisa pergi karena kami ada acara keluarga. Kami akan pergi ke rumah tantenya Dinda dan akan segera berangkat!" kata Pak Rahman dengan dingin.
"Oh, maaf kalau begitu. Saya permisi!" kata Anton sambil berdiri dan berjalan menuju motornya. Ia lalu pergi meninggalkan rumah Pak Rahman dengan hati yang penuh dendam. Ia tidak akan melupakan perlakuan Pak Rahman kepadanya.
Anton tidak mempedulikan lagi tatapan memelas Dinda padanya. Dalam hatinya, ia bersumpah akan membalas perlakuan Pak Rahman. "Awas kau, Rahman! Tunggu saja pembalasanku!" katanya dalam hati. Ia akan membuat Pak Rahman menyesal telah menghinanya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Anton saat itu. Matanya tampak merah menyala menahan amarah yang luar biasa. "Tunggu pembalasanku, tua bangka Rahman!" umpat Anton dalam hati. Dadanya bergemuruh bagai gelombang tsunami yang sulit untuk dibendung. Ia merasa seperti gunung berapi yang siap meletus.
Dia tidak terima dirinya dihina seperti itu. Ia merasa seperti cacing yang tidak ada harganya sama sekali. Giginya bergemeletuk menahan emosi yang meluap-luap. Ingin rasanya ia membunuh Pak Rahman saat itu juga, agar tidak bisa lagi menghinanya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan itu. Ia harus merencanakan sesuatu yang lebih cerdik.
"Dasar tua bangka! Sudah hampir mati saja masih bertingkah!" umpat Anton dalam hati sepanjang perjalanan pulang. Hati Anton penuh sumpah serapah yang ditujukan kepada Pak Rahman. Saking besarnya amarah yang ditahannya, tubuhnya sampai menggigil seperti orang yang sedang kedinginan luar biasa, dan tangannya terkepal dengan kuat. Ia merasa seperti orang yang dirasuki oleh setan.
Sesampainya di rumah, Anton langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan napas terengah-engah. Amarahnya masih belum reda. Ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Pak Rahman. Ia tidak bisa membiarkan ini begitu saja.
"Sialan! Aku akan membalasmu, Rahman! Aku akan membuatmu menyesal telah menghinaku!" teriak Anton sambil memukul dinding kamarnya dengan keras. Ia melampiaskan amarahnya dengan cara yang kasar.
Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan rencana-rencana jahat untuk membalas dendam pada Pak Rahman. Ia akan melakukan apa saja untuk membuat Pak Rahman menderita.
"Aku harus melakukan sesuatu! Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja!" gumam Anton dengan suara serak. Ia merasa seperti orang yang kehilangan akal sehat.
Tiba-tiba, ia teringat pada Riani. Ia tahu bahwa Riani juga tidak menyukai Pak Rahman. Ia lalu memutuskan untuk menemui Riani dan meminta bantuannya. Ia yakin bahwa Riani akan membantunya untuk membalas dendam pada Pak Rahman.
"Mungkin Riani punya ide untuk membalas Pak Rahman," pikir Anton. Ia merasa bahwa Riani adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini.
Ia lalu keluar dari rumah dan bergegas menuju rumah Riani. Di sepanjang jalan, ia terus memikirkan cara untuk membalas dendam pada Pak Rahman. Amarahnya semakin membara. Ia merasa seperti orang yang berjalan menuju neraka.
Sesampainya di rumah Riani, Anton langsung mengetuk pintu dengan keras. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Riani dan menceritakan semua yang telah terjadi.
Riani membuka pintu dengan wajah terkejut. Ia tidak menyangka Anton akan datang ke rumahnya malam-malam begini. "Anton? Ada apa kamu datang ke sini malam-malam begini?" tanya Riani dengan nada khawatir.
"Aku ingin bicara denganmu, Ri. Ini penting," jawab Anton dengan nada serius. Ia tidak ingin membuang waktu untuk basa-basi.
Riani mempersilakan Anton masuk ke rumahnya. Mereka lalu duduk di ruang tamu. Suasana di ruang tamu terasa tegang dan mencekam.
"Ada apa, Anton? Ceritakan padaku," kata Riani dengan nada lembut. Ia berusaha menenangkan Anton yang tampak sangat marah.
Anton lalu menceritakan semua yang telah terjadi antara dirinya dan Pak Rahman. Ia menceritakan bagaimana Pak Rahman telah menghinanya dan melarang Dinda untuk pergi bersamanya. Ia menceritakan semua perasaan sakit hati dan amarah yang ia rasakan.
Riani mendengarkan cerita Anton dengan seksama. Ia bisa merasakan amarah dan dendam yang membara dalam diri Anton. Ia merasa senang karena Anton telah termakan oleh umpan yang telah ia berikan.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*