NovelToon NovelToon
Diam-Diam Mencintaimu

Diam-Diam Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Fantasi Wanita
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Nildy Santos

Jenia adalah seorang gadis dari keluarga sederhana yang pintar, ceria, sangat cantik dan menggemaskan. namun tiada satupun pria yang dekat dengannya karena status sosialnya di yang di anggap tidak setara dengan mereka. namun selama 6 tahun lamanya dia sangat menyimpan rasa suka yang dalam terhadap seorang pria yang tampan, kaya raya dan mapan sejak mereka duduk di bangku kuliah.. akankah ia akan mendapatkan pria pujaannya itu?? kita akan mengetahuinya setelah membaca novel ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nildy Santos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 6

Akhir pekan tiba. Rehan menepati janjinya menjemput Jenia dengan mobil pribadinya. Begitu melihat Jenia keluar dari kos dengan dress sederhana warna biru muda, Rehan sampai tertegun.

“Wah…” Rehan tersenyum lebar. “Kamu… cantik sekali hari ini.”

Jenia terkekeh kecil, sedikit canggung. “Ah, jangan berlebihan. Aku pakai biasa aja kok.”

“Tapi tetap kelihatan istimewa,” jawab Rehan mantap.

Sepanjang hari itu, mereka berkeliling kota. Rehan dengan sabar menjadi pemandu wisata, membawanya mencicipi kuliner khas, mengunjungi museum, hingga berjalan santai di tepi pantai menjelang senja. Tawa Jenia begitu lepas, dan Rehan merasa inilah kebahagiaan yang sudah lama ia cari.

Saat langit mulai memerah, Rehan menatap Jenia dengan serius. “Jenia… boleh aku jujur?”

Jenia berhenti berjalan. “Tentang apa?”

Rehan menarik napas panjang. “Sejak dulu… sejak kita masih sama-sama di kampus, aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu kamu nggak pernah sadar, karena matamu hanya tertuju pada satu orang. Tapi aku tetap diam, karena aku nggak mau mengganggu perasaanmu. Sekarang, aku nggak mau lagi menyembunyikannya. Aku suka kamu, Jenia. Dan aku ingin kamu tahu… perasaan ini bukan main-main.”

Jenia tertegun. Kata-kata Rehan membuat dadanya sesak. Ia menunduk, mencoba mencerna perasaan yang campur aduk. “Rehan… aku…”

Sebelum sempat melanjutkan, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Bastian.

Jenia panik, buru-buru menolak panggilan itu. Namun tak lama kemudian, sebuah pesan masuk.

Bastian:

"Besok aku ada rapat di cabang Surabaya. Pastikan kamu hadir, ada beberapa hal yang ingin kubicarakan langsung."

Jenia menggenggam ponselnya erat-erat. Rehan yang melihat perubahan ekspresinya langsung paham. Senyum yang tadi merekah perlahan memudar, tapi ia mencoba tetap tenang.

“Dia, kan?” tanya Rehan pelan. Jenia hanya diam.

Rehan menatapnya penuh tekad. “Aku nggak peduli siapa pun dia. Yang aku tahu, aku akan terus ada di sini, Jen. Bahkan kalau hatimu masih ragu, aku akan sabar menunggu.”

Keesokan harinya, di kantor cabang Surabaya, suasana berubah tegang. Bastian benar-benar datang dengan tim pusat. Begitu melihat Jenia yang berdiri menyambut, matanya seolah berbinar namun ekspresinya tetap dingin seperti biasa.

“Jenia, ikut aku ke ruang rapat. Ada data yang harus kau presentasikan,” ucapnya datar.

Selama rapat, Bastian beberapa kali diam-diam memperhatikan Jenia. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri ada perasaan berbeda yang makin kuat. Namun, setiap kali mengingat Vita, ia kembali menahan diri.

Di sisi lain, Rehan yang ikut dalam rombongan, sengaja duduk tak jauh dari Jenia. Tatapannya penuh perhatian, berbeda dengan dinginnya Bastian. Jenia bisa merasakan itu dan hatinya makin bimbang.

Malam itu setelah pulang dari Surabaya, Jenia menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Kata-kata Bastian yang pernah ia dengar di kantor masih berulang di kepalanya, seolah menampar harga dirinya berkali-kali.

"Jenia tidak level denganku…"

Ia menarik selimut, menutup wajahnya yang panas karena emosi bercampur kecewa. Meski Rehan sudah banyak menghiburnya, luka itu tetap menancap. Baginya, ucapan Bastian lebih menyakitkan daripada sikap dinginnya.

“Apa aku memang… nggak pantas buat dia?” bisik Jenia lirih, matanya berkaca-kaca.

Esok paginya, Jenia berusaha bersikap biasa saja di kantor cabang. Ia lebih banyak menunduk, fokus pada pekerjaannya, tidak ingin terlalu terlihat. Namun setiap kali Bastian ada di dekatnya, jantungnya tetap berdebar meski kini bukan lagi karena rasa kagum, melainkan karena luka yang masih belum sembuh.

Bastian sendiri memperhatikan perubahan itu. Ia mulai merasa ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Jenia. Tak ada lagi senyum kecil, tak ada lagi tatapan berbinar. Jenia benar-benar bersikap profesional, dingin, bahkan cenderung acuh.

“Kenapa dia berubah seperti ini?” pikir Bastian, mulai gelisah.

Di sisi lain, Rehan yang duduk tak jauh dari meja Jenia bisa melihat dengan jelas ekspresi sahabatnya itu. Ia tahu betul bahwa Jenia masih menyimpan luka. Maka, Rehan semakin berusaha hadir membawakan kopi, menanyakan kabar, atau sekadar mengajak Jenia makan siang bersama.

Sementara itu, Vita diam-diam tersenyum puas melihat perubahan Jenia. Ia merasa ucapannya berhasil meski sebenarnya ia tidak tahu bahwa justru perkataan Bastian lah yang paling melukai hati Jenia.

Suatu siang, setelah rapat usai, Bastian memanggil Jenia.

“Jenia, sebentar. Aku perlu bicara.”

Jenia berhenti, menoleh tanpa ekspresi. “Ada apa, Pak?” suaranya terdengar dingin.

Bastian menatapnya dalam. “Kamu… akhir-akhir ini berubah. Apa ada yang salah dengan pekerjaanku padamu?”

Jenia tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Tidak ada, Pak. Saya hanya fokus bekerja, sesuai instruksi.”

Jawaban itu menusuk Bastian lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Ia ingin bertanya lebih jauh, ingin menjelaskan bahwa sebenarnya… hatinya tidak pernah benar-benar membenci Jenia. Namun egonya menahan.

Dan Jenia tetap mengingat jelas kata-kata itu: “Kamu nggak level denganku.”

Kalimat yang membuatnya berjanji dalam hati untuk tidak lagi berharap pada pria bernama Bastian.

Hari Senin pagi suasana kantor sedikit berbeda. Semua karyawan baru saja menerima pengumuman dari manajemen: ada rotasi dan penyesuaian posisi di beberapa divisi.

Jenia yang baru tiba, sempat terdiam ketika membaca memo yang ditempel di papan pengumuman.

“Posisi sekretaris divisi utama kini dipegang oleh Vita Ramadhani.”

Sementara namanya sendiri tercantum di bagian bawah:

“Jenia Pradipta Prameswari, dipindahkan ke Divisi Kreatif & Pengembangan.”

Tangannya sedikit bergetar saat membaca. Ia tahu betul artinya ia tidak akan lagi mendampingi Bastian di ruang rapat atau mendengar arahan darinya setiap hari.

Leony yang kebetulan sedang berkunjung sebelum benar-benar pindah kota, langsung merangkul sahabatnya itu.

“Jen… kamu nggak apa-apa? Aku tahu banget kamu pasti kaget.”

Jenia menarik napas panjang. “Aku baik-baik aja, mungkin ini yang terbaik. Dengan begini… aku nggak perlu lagi ketemu dia tiap hari.”

Leony menatapnya prihatin, tapi juga tahu sahabatnya butuh ruang.

Hari-hari pertama di Divisi Kreatif terasa berat bagi Jenia. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena harus menyesuaikan diri dengan tim baru yang lebih banyak ide liar dan tekanan deadline. Namun anehnya, ia merasa sedikit lega setidaknya kini ia bisa bekerja tanpa harus tertekan dengan kehadiran Bastian.

Di sisi lain, Bastian terlihat tak puas dengan keputusan rotasi itu. Dalam rapat pimpinan, ia sempat menyampaikan,

“Kenapa Jenia harus dipindahkan? Dia sudah menguasai ritme kerja di divisi saya.”

Namun manajemen berdalih bahwa itu demi penyegaran.

Vita yang kini duduk di kursi yang dulu ditempati Jenia tersenyum puas, merasa langkahnya semakin dekat dengan Bastian.

Sore hari setelah jam kantor, Jenia duduk di pantry sambil meneguk teh hangat. Rehan datang menghampirinya, membawa sekotak roti.

“Kamu pasti capek ya di divisi baru. Aku bawain roti favoritmu biar nggak stress.”

Jenia menatapnya dan tersenyum untuk pertama kalinya hari itu.

“Rehan, makasih. Kamu selalu tahu caranya bikin aku tenang.”

Rehan menahan dirinya agar tidak mengucapkan lebih. Ia hanya ingin ada di sisi Jenia, menambal luka yang pernah dibuat oleh sahabatnya sendiri.

Di ruang kerjanya, Bastian menatap kursi kosong yang dulu ditempati Jenia. Ada rasa hampa yang tak bisa ia jelaskan. Ia sering mendapati dirinya secara refleks mencari keberadaan Jenia di antara tumpukan berkas, atau menunggu senyumnya setiap pagi.

Kini yang ada hanya Vita dengan segala sikap manisnya yang terasa… berbeda.

Untuk pertama kalinya, Bastian merasakan kehilangan yang tak ia duga.

1
[donel williams ]
Aku bisa tunggu thor, tapi tolong update secepatnya.
Fathi Raihan
Kece banget!
Celty Sturluson
Ga sabar buat kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!