NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Api Dan Abu

Kalimat itu menghantam ruang perang dengan kekuatan sebuah ledakan bom. "Aku tahu di mana dapurnya. Bakar habis sampai ke fondasinya."

Dunia Leo runtuh.

Kemenangan yang baru beberapa detik lalu terasa begitu manis, kini berubah menjadi abu pahit di mulutnya. Seluruh skenario, setiap manuver cerdas, setiap risiko yang diperhitungkan, semuanya berujung pada satu hal, penghancuran kuilnya. Tempat perlindungan terakhirnya. The Alchemist's Table. Viktor, dalam kejeniusannya yang sadis, tidak membalas serangan itu kepada Isabella. Ia tidak menyerang bentengnya yang kokoh. Ia menyerang jiwa dari ahli strategi baru Isabella. Ia menyerang jantung Leo.

"Sial!" teriak Isabella, membanting tinjunya ke meja holografik hingga gambar-gambar itu bergetar. Wajahnya yang tadinya berseri karena kemenangan kini menjadi topeng kemarahan murni. Ini adalah serangan pribadi, sebuah tamparan yang lebih telak daripada kontainer anggur yang terbakar. Viktor memberitahunya, 'Aku tahu senjatamu, dan aku akan menghancurkannya'.

Leo membeku hanya untuk sesaat. Lalu, naluri yang lebih dalam, naluri seorang pelindung, naluri yang telah ia kubur selama bertahun-tahun, mengambil alih. "Tio," desisnya, namanya keluar seperti embusan napas yang penuh kepanikan. Manajer restorannya yang setia. Apakah ia masih di sana? Membersihkan? Menyiapkan untuk esok hari?

"Bianca!" perintah Isabella, suaranya seperti letusan senapan. "Beri aku mata di setiap jalan menuju Jalan Mahakam. Setiap sudut, setiap gang. Lacak setiap kendaraan yang bergerak lebih dari dua dalam satu kelompok. Aku mau tahu pergerakan mereka lima menit yang lalu!"

"Sudah kulakukan, Bos!" balas Bianca dari layar, jemarinya sudah menari-nari di atas keyboard, menampilkan peta lalu lintas dengan titik-titik merah yang bergerak cepat. "Ada tiga van hitam tanpa plat nomor, bergerak cepat dari arah utara. Perkiraan tiba di lokasi... kurang dari sepuluh menit."

"Marco!" raung Isabella. "Kerahkan semua orang! Semua yang bisa memegang senjata, semua yang berutang nyawa padaku! Suruh mereka ke restoran sekarang juga! Aku ingin tempat itu dikelilingi benteng manusia!"

"Siap, Bos!" Marco sudah menyambar teleponnya, meneriakkan perintah dengan suara baritonnya yang menggema.

Leo menatap peta itu, titik-titik merah itu seperti sel kanker yang menyebar menuju jantungnya. Sepuluh menit. Waktu terasa melambat dan melesat pada saat yang bersamaan. Ia merasa tercekik oleh ketidakberdayaan. Ia bisa merancang sabotase yang elegan, tapi ia tidak bisa menghentikan api dan peluru dengan otaknya dari puncak menara ini. Ia harus ke sana.

"Aku harus pergi," kata Leo, suaranya tegas.

"Jangan bodoh," sahut Isabella, mencengkeram lengannya. "Kau adalah targetnya! Mereka mungkin menunggumu di sana!"

"Tio ada di sana!" balas Leo, menepis tangan Isabella. Untuk pertama kalinya, ada api di matanya yang ditujukan pada Isabella. "Ini terjadi karena aku. Ini terjadi karena kau menyeretku ke dalam duniamu! Aku tidak akan duduk di sini dan menonton kuilku terbakar dari menara gadingmu!"

Tatapan mereka bertemu, amarah Leo yang benar dan kemarahan Isabella yang protektif. Sebelum Isabella sempat membalas, Leo sudah berlari menuju lift. Isabella mengumpat, lalu menyambar pistol dari laci dan mengejarnya. "Marco, kau tetap di sini, koordinasikan pasukan! Aku dan Alkemis pergi ke sana!"

Perjalanan turun dari penthouse dan melintasi kota adalah sebuah siksaan dalam kecepatan tinggi. Leo duduk di kursi penumpang mobil lapis baja Isabella, tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Setiap lampu merah terasa seperti satu abad. Setiap klakson adalah genderang perang. Ia melihat keluar jendela, ke arah wajah-wajah orang biasa yang tertawa, berjalan-jalan, tidak menyadari bahwa di mobil di sebelah mereka, ada seorang pria yang dunianya sedang di ambang kehancuran. Ironisnya, ia baru saja meninggalkan dunia ini demi kedamaian, dan kini ia kembali ke dalamnya dengan kecepatan penuh untuk menyelamatkan sisa-sisa kedamaian itu.

"Ini belum tentu terjadi," kata Isabella, mencoba menenangkan, sesuatu yang jelas bukan keahliannya. "Anak buahku mungkin sudah sampai di sana."

Leo tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, matanya terpaku pada cakrawala, mencari tanda pertama dari mimpi terburuknya.

Dan kemudian ia melihatnya.

Bukan api besar yang menjulang ke langit, tetapi kilau oranye yang tidak wajar, berkedip-kedip di antara gedung-gedung beberapa blok di depan. Kilau itu dipantulkan oleh awan rendah, sebuah suar bencana. Di saat yang sama, mereka mendengar suara pertama dari pertempuran itu, letusan senjata api yang teredam, diikuti oleh serangkaian letusan yang lebih cepat.

Mobil mereka berdecit saat berbelok ke Jalan Mahakam. Pemandangan itu lebih buruk dari yang dibayangkan Leo. Jalan di depan The Alchemist's Table telah berubah menjadi zona perang skala kecil. Dua van hitam diparkir sembarangan, pintu-pintunya terbuka. Sekitar selusin pria berpakaian gelap, bersenjatakan pemukul bisbol, linggis, dan beberapa pucuk pistol, sedang mencoba menerobos barikade manusia yang dibentuk oleh anak buah Isabella. Beberapa dari mereka membawa jeriken berisi bensin.

Anak buah Isabella, meskipun kalah jumlah pada awalnya, kini mulai berdatangan lebih banyak, menciptakan garis pertahanan yang putus asa di depan fasad restoran. Terjadi perkelahian brutal, pukulan, tendangan, dan sesekali, letusan senjata yang membuat semua orang merunduk.

Tapi yang membuat darah Leo membeku adalah pemandangan di pintu depan restorannya. Tiga orang anak buah Viktor telah berhasil menerobos. Salah satunya sedang menghancurkan jendela kaca besar dengan linggis. Dua lainnya sedang mencoba mendobrak pintu utama, di mana Leo bisa melihat Tio dan beberapa staf dapur lainnya berusaha menahannya dari dalam dengan menumpuk meja dan kursi.

Di momen itulah, sesuatu di dalam diri Leo patah. Atau mungkin, sesuatu yang lama tertidur akhirnya terbangun sepenuhnya. Wajah tenang sang chef lenyap, digantikan oleh topeng dingin dan fokus dari seorang prajurit.

"Hentikan mobilnya!" perintahnya pada sopir.

"Terlalu berbahaya, Chef!"

"HENTIKAN MOBILNYA SEKARANG!" raung Leo, suara yang belum pernah didengar siapa pun darinya.

Mobil berhenti mendadak. Sebelum Isabella sempat bereaksi, Leo sudah melompat keluar. "Tetap di sini!" perintahnya pada Isabella, sebuah perintah yang begitu penuh otoritas sehingga Isabella, untuk pertama kalinya, menurut tanpa berpikir.

Dunia di luar mobil adalah neraka kekacauan. Tapi di mata Leo, kekacauan itu melambat. Ia tidak melihat perkelahian acak. Ia melihat sebuah papan catur yang hidup. Ia melihat sudut, celah, dan kelemahan.

"MARCO!" teriaknya ke komunikator yang ia rebut dari dasbor mobil. "APA KAU MENDENGARKU?!"

"Chef?! Apa yang kau lakukan di sana?!" balas suara Marco yang panik dari seberang.

"Tidak ada waktu! Dengar! Aku butuh tiga orangmu untuk memutar lewat gang belakang, di sebelah toko roti! Ada pagar kawat yang bisa dipanjat. Serang mereka dari sisi sayap! Mereka tidak akan menduganya!"

"Tapi..."

"LAKUKAN SAJA!"

Leo tidak menunggu jawaban. Ia melihat dua orang anak buah Viktor yang paling besar sedang fokus menghajar salah satu penjaga Isabella. Mereka membelakanginya. Leo bergerak. Ia tidak berlari, ia mengalir. Ia mengambil sebuah nampan perak yang jatuh dari salah satu meja luar restorannya. Dengan satu gerakan cepat dan kuat, ia menghantamkan tepi nampan itu ke bagian belakang lutut pria pertama. Pria itu berteriak dan jatuh, kakinya lumpuh sementara. Pria kedua berbalik, matanya terbelalak kaget, tetapi Leo sudah berputar, menggunakan momentumnya untuk menghantamkan nampan itu ke pelipisnya. Pria itu jatuh pingsan seketika.

Dari dalam mobil, Isabella menyaksikan dengan napas tertahan. Itu bukan perkelahian preman. Itu adalah efisiensi yang mematikan. Cepat, tepat, dan tanpa gerakan yang sia-sia. Pria yang tadi pagi membuat frittata dengan kelembutan seorang seniman, kini melumpuhkan dua preman terlatih dengan nampan saji. Rasa kagetnya dengan cepat tergantikan oleh gelombang panas kekaguman yang membakar. Ini. Inilah pria yang ia lihat di dalam foto itu. Inilah Alkemis yang sebenarnya.

Leo kini fokus pada pintu utama. Tiga pria masih mencoba mendobraknya. Salah satu dari mereka berhasil memecahkan panel kaca kecil di pintu dan sedang mencoba meraih kunci dari dalam.

Leo tidak ragu. Ia masuk kembali ke dalam restorannya yang sudah sedikit rusak. Para stafnya menjerit ketakutan saat melihatnya. "Tio, bawa semua orang ke ruang penyimpanan anggur di bawah tanah! Kunci pintunya dari dalam dan jangan keluar sampai aku yang menjemput!" perintahnya.

Tio, dengan wajah berlinang air mata, mengangguk dan segera menggiring staf yang lain.

Leo kini sendirian di ruang depan. Ia melihat ke sekeliling. Dunianya. Meja-meja yang terbalik, serpihan kaca di mana-mana. Kemarahan yang dingin dan terkendali menjalari dirinya. Ia berjalan ke bar, mengabaikan botol-botol alkohol mahal, dan mengambil sebuah pembuka botol anggur profesional, sebuah waiter's friend yang terbuat dari baja padat.

Pintu utama akhirnya jebol. Tiga pria itu menyerbu masuk, seringai kemenangan di wajah mereka. Seringai itu lenyap saat mereka melihat Leo berdiri sendirian di tengah ruangan, memegang pembuka botol dengan genggaman yang aneh.

"Hanya kau, Koki?" ejek yang paling besar, melangkah maju sambil memutar-mutar linggisnya. "Kau akan menghentikan kami dengan itu?"

Leo tidak menjawab. Saat pria itu mengayunkan linggisnya, Leo bergerak ke dalam, bukan menjauh. Ia menangkis ayunan itu dengan lengan kirinya, sebuah gerakan yang menyakitkan tapi terukur, dan pada saat yang sama, ia menusukkan ujung spiral pembuka botol itu ke titik saraf di ketiak pria itu. Pria itu menjerit kesakitan, lengannya lemas seketika, dan linggisnya jatuh berdentang. Sebelum pria itu sempat pulih, Leo menghantamkan pangkal pembuka botol yang berat itu ke rahangnya. Krak. Pria itu jatuh.

Dua yang tersisa menyerang bersamaan. Leo menendang meja ke arah mereka, menciptakan penghalang sesaat. Ia melompat ke atas bar, bergerak dengan kelincahan yang tidak manusiawi. Salah satu pria mencoba naik, tapi Leo menendangnya kembali dengan keras. Pria lainnya melemparkan sebuah kursi, yang berhasil dihindari Leo.

Di luar, strategi Leo berhasil. Serangan dari sisi sayap yang dipimpin oleh anak buah Marco membuat pasukan Viktor kacau balau. Mereka terjepit di antara dua front. Melihat pemimpin mereka di dalam tidak kunjung keluar, semangat mereka runtuh. Mereka mulai mundur, mencoba lari kembali ke van mereka.

Di dalam, Leo kini berhadapan satu lawan satu dengan pria terakhir. Pria ini lebih berhati-hati. Ia memegang sebilah pisau. Mereka saling mengitari di ruang makan yang hancur.

"Kau akan mati karena ikut campur, Koki," desis pria itu.

"Ini dapurku," balas Leo dingin. "Dan kau tidak diundang."

Saat pria itu menerjang, Leo melemparkan sebuah botol wiski ke wajahnya. Pria itu mengelak, tapi itu memberikan Leo sepersekian detik yang ia butuhkan. Ia meluncur turun dari bar, menyapu kaki pria itu hingga terjatuh. Pria itu jatuh telentang, pisaunya terlepas. Leo mendarat di atasnya, lututnya menekan dada pria itu, dan ujung tajam dari pisau kecil di pembuka botol anggur itu kini menekan lehernya.

"Siapa yang mengirimmu?" tanya Leo, matanya dingin tanpa emosi.

"Persetan denganmu!"

Leo menekan sedikit lebih keras, membuat goresan kecil yang mengeluarkan setetes darah. "Aku tidak akan bertanya lagi."

"Rostova! Viktor Rostova!" teriak pria itu ketakutan.

Pada saat itu, Isabella masuk, pistolnya teracung, diikuti oleh Marco dan beberapa anak buahnya. Mereka berhenti saat melihat pemandangan itu, Leo, chef mereka yang tenang, berlutut di atas seorang preman, siap untuk membunuhnya dengan alat pembuka botol.

"Leo," panggil Isabella pelan, suaranya mengandung campuran kekaguman dan kewaspadaan.

Leo menoleh, dan untuk sesaat, topeng dinginnya retak. Ia melihat apa yang sedang ia lakukan, dan rasa mual menjalari dirinya. Ia bukan pembunuh. Ia melepaskan cengkeramannya, bangkit berdiri, dan mundur beberapa langkah, napasnya terengah-engah. Ia menatap tangannya yang gemetar, lalu ke pembuka botol yang ternoda setetes darah.

Pertarungan telah berakhir. Pasukan Viktor telah dipukul mundur, beberapa ditangkap, sisanya melarikan diri. Restorannya, kuilnya, telah diselamatkan dari api.

Tapi ia tahu, dunianya telah terbakar habis.

Satu jam kemudian, polisi telah datang dan pergi, disuap dengan sejumlah uang yang besar oleh orang-orang Isabella untuk mengklasifikasikan insiden itu sebagai "perkelahian geng biasa". Para staf telah dipulangkan, Tio diberi bonus besar dan cuti berbayar. Jalanan di luar telah dibersihkan. Tapi kehancuran di dalam tetap ada.

Leo berjalan sendirian melewati ruang makannya yang porak-poranda. Meja terbalik, kursi patah, pecahan kaca di mana-mana. Tapi saat ia mendorong pintu dapurnya, ia melihat pemandangan yang kontras. Dapurnya, jantungnya, nyaris tak tersentuh. Bersih, teratur, dan sunyi. Sebuah pulau kedamaian di tengah lautan kehancuran.

Ia menyandarkan tubuhnya di meja persiapan stainless steel yang dingin, tempat ia biasanya meracik hidangan-hidangan indahnya. Ia merasa lelah sampai ke tulang. Bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa. Kemenangan terasa seperti kekalahan. Kompromi yang ia buat dengan Isabella terasa seperti sebuah kebohongan. Tidak ada dua dunia. Hanya ada satu dunia, dunia Isabella, yang telah menelan dunianya sepenuhnya.

Pintu dapur berdesir terbuka. Isabella masuk, berjalan mendekatinya dalam keheningan. Ia berhenti di depan Leo, menatap wajahnya yang lelah dan penuh konflik.

"Lihat," bisik Leo, suaranya serak. "Lihat apa yang kau bawa ke dalam hidupku. Ini harga dari 'kemenangan' kita."

"Ini harga dari keberadaanmu, Leo," balas Isabella pelan, suaranya kehilangan nada memerintah, kini lebih lembut. "Viktor tidak akan berhenti. Tapi malam ini... kau tidak hanya membuat rencana dari menara. Kau turun ke medan perang. Kau bertarung."

Ia mengulurkan tangannya dan dengan lembut menyentuh memar di lengan Leo tempat ia menangkis ayunan linggis. "Aku melihat dirimu yang sebenarnya malam ini."

"Dan kau menyukainya, bukan?" balas Leo pahit. "Kau menyukai monster yang kau bangunkan."

"Aku tidak membangunkan apa pun," sanggah Isabella, melangkah lebih dekat. "Aku hanya memberinya alasan untuk keluar. Kau marah padaku, tapi tubuhmu tidak berbohong. Di luar sana tadi... kau hidup. Lebih hidup dari saat kau mengaduk saus."

Ia benar. Dan itu yang paling menakutkan bagi Leo. Ada bagian dari dirinya yang menikmati kekacauan itu, yang menikmati presisi dari pertarungan itu. Bagian yang telah ia coba kubur di bawah celemek putihnya.

Amarah, frustrasi, ketakutan, dan daya tarik yang tak tertahankan pada wanita ini bergejolak di dalam dirinya. Semua emosi yang saling bertentangan itu butuh pelampiasan.

"Jangan," kata Leo saat Isabella mendekatkan wajahnya.

Tapi itu adalah protes yang lemah. Isabella mengabaikannya. "Kau menyelamatkan tempat ini," bisiknya, bibirnya kini menyapu bibir Leo. "Kau menyelamatkan kuilmu."

Ciuman itu bukanlah ciuman yang lembut. Ciuman itu kasar, menuntut, penuh dengan sisa-sisa adrenalin dan keputusasaan dari pertempuran tadi. Leo pada awalnya kaku, menolak. Tapi kemudian, sesuatu di dalam dirinya menyerah. Kemarahannya melebur menjadi gairah. Rasa takutnya berubah menjadi hasrat.

Ia membalas ciuman itu dengan kekuatan yang sama, tangannya mencengkeram pinggang Isabella, menariknya mendekat hingga tidak ada jarak di antara mereka. Ia mengangkat Isabella dan mendudukkannya di atas meja persiapan stainless steel yang dingin, menyibakkan piring-piring dan talenan ke lantai dengan suara berdentang yang keras.

Ini adalah sebuah pelanggaran. Ini adalah sebuah penodaan terhadap tempatnya yang paling suci. Dan entah kenapa, itu terasa benar.

Pakaian mereka dilepaskan dengan kasar, terburu-buru. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada rayuan. Hanya ada napas yang terengah, geraman tertahan, dan suara kulit yang bertemu dengan kulit. Di tengah dapurnya yang sunyi, dikelilingi oleh bayang-bayang pisaunya yang tergantung rapi, mereka bercinta dengan energi yang liar dan putus asa.

Itu adalah sebuah pertempuran sekaligus penyatuan. Dominasi Isabella bertemu dengan kekuatan tersembunyi Leo. Setiap dorongan adalah sebuah pernyataan, setiap cengkeraman adalah klaim kepemilikan. Gairah mereka adalah cerminan dari dunia mereka, berbahaya, intens, dan tanpa kompromi. Di atas meja baja yang dingin itu, di tengah sisa-sisa dunianya yang hancur, mereka menemukan titik lebur di mana rasa sakit, hasrat, dan kekuasaan menjadi satu. Ledakan pelepasan mereka adalah sebuah gema sunyi di dalam kuil yang telah dinodai, meninggalkan mereka terengah-engah, berkeringat, dan terikat dalam cara yang jauh lebih dalam dan lebih menakutkan daripada sebelumnya.

Saat fajar mulai menyingsing, cahayanya yang pucat menyelinap masuk melalui jendela yang pecah, menerangi kekacauan di ruang makan. Leo dan Isabella duduk di antara puing-puing, sudah berpakaian kembali, secangkir kopi instan di tangan masing-masing. Adrenalin telah lama hilang, meninggalkan kekosongan yang aneh dan kejernihan yang menyakitkan.

Leo menatap keluar, ke arah sisa-sisa barikade. Ia melihat celemek putihnya yang ia lempar ke kursi, kini ternoda oleh debu dan jejak kaki. Simbol dari dunianya yang dulu.

Dunia itu sudah tidak ada lagi. Kompromi itu adalah ilusi. Tidak ada siang dan malam. Tidak ada dua dunia. Viktor telah membakar jembatan itu.

Ia menoleh pada Isabella, yang sedang menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca. Kelembutan? Kepemilikan? Ia tidak tahu. Tapi ia tahu satu hal.

"Dunia lamaku sudah mati," kata Leo, suaranya datar, tanpa emosi. "Kau benar. Aku tidak bisa kembali."

Isabella membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, mungkin sebuah penyesalan, mungkin sebuah janji. Tapi Leo mengangkat tangannya, menghentikannya.

Ia bangkit berdiri, berjalan ke tengah ruangan yang hancur, dan menatap Isabella dengan sepasang mata yang kini sama dingin dan sama fokusnya dengan mata Isabella. Koki yang lembut itu telah lenyap, terbakar habis bersama harapannya akan kedamaian. Yang tersisa adalah sang Alkemis dalam wujudnya yang paling murni dan paling berbahaya.

"Mulai sekarang," lanjutnya, suaranya adalah bisikan yang mematikan. "Hanya ada 'Restoran Tengah Malam'."

Ia berhenti sejenak, membiarkan deklarasi itu menggantung di antara mereka. Lalu, ia membalikkan dinamika mereka untuk pertama kalinya, bukan sebagai bawahan, bukan sebagai partner, tapi sebagai seorang arsitek pembalasan.

"Dan untuk hidangan utamanya," tambahnya, matanya berkilat dengan janji yang kejam, "kita akan menyajikan kepala Viktor Rostova di atas piring perak."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!