Xander tubuh dengan dendam setelah kematian ibunya yang di sebabkan kelalain sang penguasa. Diam-diam ia bertekat untuk menuntut balas, sekaligus melindungi kaum bawah untuk di tindas. Di balik sikap tenangnya, Xander menjalani kehidupan ganda: menjadi penolong bagi mereka yang lemah, sekaligus menyusun langkah untuk menjatuhkan sang penguasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam yang Berbicara
Bel berbunyi nyaring, menggema di setiap sudut Adelwyn Academy, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Hiruk-hiruk kantin perlahan reda, murid-murid bergegas meninggalkan meja mereka, sebagian masih sibuk menatap layar ponsel sambil berjalan, membicarakan topik yang sama: Avangers.
Di kelas XII-B, suasana belum sepenuhnya tenang. Beberapa murid sudah duduk rapi, tapi lebih banyak yang masih asyik dengan dunia masing-masing. Ada yang bersandar di kursi sambil memainkan ponsel, ada yang tertawa kecil melihat vidio yang baru saja viral, ada pula yang mengobrol santai sambil menunggu guru datang.
Xander duduk di bangkunya yang dekat jendela, tubuhnya sedikit condong ke belakang. Dari luar, cahaya matahari menyusup masuk, memantul di meja kayunya. Ia tampak tenang, matanya setangah tertutup seolah tak peduli dengan keramain kelas. Tapi, telinganya tetap menangkap potongan obrolan tentang Avengers yang bertebaran dari berbagai arah.
Pintu kelas XII-B terbuka pelan. Sosok wanita paruh baya dengan rambut sebahu rapi masuk sambil membawa map tebal di tangannya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Ibu Citra, guru sosiologi yang terkenal ramah.
"Selamat pagi, Bu!" sahut murid-murid serempak, meski sebagian masih setengah malas karena baru saja beranjak dari obrolan hangat tentang Avangers.
Ibu Citra tersenyum, meletakkan mapnya di atas meja. "Hari ini kita akan bahas tentang dinamika sosial dan pengaruh media terhadap masyarakat. Topik yang... cukup dekat dengan kehidupan kita sekarang, bukan?" ucapnya sambil menatap murid-murid yang langsung saling berbisik kecil.
Beberapa anak terkekeh, jelas saja otak mereka langsung mengarah ke berita Avengers yang sedang ramai.
Setelah menjelaskan materi dengan rinci, Ibu Citra kemudian menulis beberapa pertanyaan di papam tulis. "Oke, sekarang kalian kerjakan soal-soal ini. Tugasnya dikumpulkan sebelum jam pelajaran selesai, ya."
Kelas pun mulai tenggelam dalam suasana kerja. Ada yang serius menulis, ada juga yang saling berbisik mencoba menyontek. Suara gesekan pena memenuhi ruangan.
Xander duduk tenang di bangkunya, menunduk menatap kertas kosong. Tangannya sudah memegang pulpen, tapi pikirannya melayang. Sesekali ia melirik ke arah depan.
Saat itu, ia tanpa sengaja menangkap ekspresi Ibu Citra. Guru itu berdiri di depan kelas, mencoba terlihat biasa saja, namun matanya tampak gelisah. Jari-jarinya mengetuk meja berulang kali, wajahnya pucat, dan sesekali ia menoleh ke arah jendela seakan mengantisipasi sesuatu.
Alis Xander berkerut. Kenapa raut wajahnya seperti ketakutan? pikirnya. Ia menunduk kembali, pura-pura menulis, namun matanya masih sesekali mengintip ke arah gurunya.
Ada sesuatu yang jelas disembunyikan oleh Ibu Citra–dan Xander bisa merasakannya.
Bela tanda pelajaran berakhir berbunyi nyaring. Suara kursi yang bergeser memenuhi kelas XII-B. Ibu Citra menutup bukunya, lalu menepuk tangan kecil-kecil.
"Baik, anak-anak. Waktunya dikumpulkan. Vano, tolong bantu ibu, ya kumpulkan semua buku tugas teman-temanmu."
"Siap, Bu." Vano berdiri, berjalan dari meja ke meja, mengambil buku-buku tugas yang menumpuk. Beberapa murid menggerutu kecil, tapi tetap menyerahkan pekerjaan mereka. Tak lama, sebuah tumpukan tinggi sudah berada di pelukan Vano. Ia membawanya ke meja guru.
Ibu Citra menghela napas kecil, lalu mencoba mengangkat buku-buku itu. Namun, jelas terlihat ia kesulitan. Tubuhnya sedikit goyah, wajahnya menegang.
Xander, yang sedari tadi memperhatikan, berdiri tanpa banyak bicara. Ia melangkah maju dengan tenang. "Biar saya bantu, Bu."
Awalnya Ibu Citra ingin menolak, namun melihat tumpukan setebal itu, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah... terima kasih ya, Nak Xander."
Xander mengangkat buku-buku itu dengan mudah, seolah beben tak seberapa. Mereka berdua keluar dari kelas, menyusuri lorong Adelwyn Academy yang mulai sepi karena jam istirahat sudah tiba.
Di sepanjang perjalanan, Xander sesekali melirik ke arah gurunya. Ada sesuatu yang aneh. Ibu Citra berjalan dengan langkah gelisah, matanya terus menoleh ke kiri dan kanan, seperti takut di awasi.
Xander memperhatikan dengan seksama. Rahangnya mengeras, namun ia tetap menjaga dengan nada suaranya tenang. "Ibu kenapa? Wajah ibu kelihatan... nggak tenang?"
Ibu Citra tersentak kecil, lalu buru-buru tersenyum tipis. "Ibu nggak apa-apa, Nak Xander. Jangan khawatir."
Jawaban itu terdengar tenang, tapi Xander bisa melihat jelas getar di sudut matanya. Dia menyembunyikan sesuatu, pikirnya.
Namun, Xander tidak memikirkan lebih jauh. Ia memilih diam, melangkah lagi sambil menenteng tumpukan buku. Meski bibirnya tertutup, dalam pikirannya satu hal sudah jelas:Ibu Citra sedang menyimpan rahasia.