Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Helena berjalan di tengah gelap malam dan ia tidak melihat keberadaan Karan.
"Halo sayang, bagaimanapun kabarmu?" sapa Firdaus.
Helena terkejut ketika melihat Firdaus sambil membawa pisau berlumuran darah.
"Apakah kamu mencari kakakku Karan? Dia ada disana?"
Helena melihat Karan yang bersimbah darah dan sudah tidak bernyawa.
"TIDAK!!!"
Helena langsung membuka matanya dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
Karan menghidupkan lampu kamar dan melihat istrinya yang ketakutan.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Karan.
"M-mas..."
Helena langsung memeluk tubuh suaminya dan menangis sesenggukan.
Ia masih gemetar dalam pelukan Karan, dengan tubuhnya dingin, napasnya tidak beraturan seperti habis berlari jauh.
“Sayang, tenang, kamu aman di sini. Aku di sini.” ucap Karan sambil menenangkan istrinya.
Helena butuh beberapa detik untuk bisa berbicara.
Ia menghapus air matanya dan mulai menceritakan mimpinya.
“Mas, aku mimpi buruk.”
Karan menarik tubuhnya sedikit agar mereka bisa saling menatap.
“Mimpi apa?” tanya Karan dengan lembut.
Helena menggigit bibir, air mata kembali mengalir saat mengingatnya.
“Aku jalan sendirian. Gelap. Kamu nggak ada disana, lalu ada yang memanggil aku."
Karan mengerutkan dahi, namun tetap diam mendengarkan.
“Dia, Firdaus.”
Nama itu membuat ruangan terasa dingin dalam sekejap.
Helena menutup mulutnya, berusaha menahan isakan.
“Dia bawa pisau,. berdarah dan dia tanya ke aku apakah aku mencari Karan. Lalu aku melihat kamu."
Helena akhirnya menatap suaminya, kedua matanya penuh ketakutan.
“Aku lihat kamu meninggal dunia, Mas.”
Suara itu seperti belati menembus dada Karan, tapi ia tidak menunjukkan keterkejutannya.
Ia justru meraih wajah Helena dengan kedua tangannya.
“Lihat aku, sayang."
Helena menatapnya dengan mata berair.
“Aku hidup. Aku di sini. Aku nggak ke mana-mana.”
“Tapi aku takut kehilangan kamu…”
Karan mendekat, menempelkan kening mereka.
“Kamu nggak akan kehilanganku. Selama aku masih bisa bernapas, nggak akan ada yang nyentuh kamu. Dan nggak akan ada yang memisahkan kita. Termasuk Firdaus.”
Helena menarik napas berat. Perlahan, tangisnya mulai mereda meski tubuhnya masih gemetar.
“Mimpi itu cuma bayangan dari ketakutanmu. Tapi kenyataannya…”
Ia menarik Helena lebih dekat hingga benar-benar berada dalam pelukannya.
“Kenyataannya aku masih di sini, memelukmu.”
Helena menempel erat, seakan tak ingin melepaskannya lagi.
“Kalau kamu masih takut, aku bisa temani kamu tidur. Genggam tanganku sampai kamu tenang.”
“Jangan lepasin.”
“Tidak akan.”
Karan mematikan lampu kembali, hanya menyisakan lampu tidur kuning redup.
Ia berbaring sambil menarik Helena ke dadanya, membiarkan istrinya mendengarkan detak jantungnya.
“Dengar itu?” bisik Karan.
Helena mengangguk pelan saat mendengar suara detak jantung suaminya.
“Itu bukti aku masih hidup.”
Helena menutup mata perlahan, air mata terakhir jatuh di dada Karan.
“Mas…”
“Hmm?”
“Kalau suatu hari aku takut lagi, boleh kan aku peluk kamu seperti ini?”
Karan tersenyum kecil sambil mengecup kepala istrinya.
“Bukan cuma boleh. Itu adalah hakmu. selamanya.”
Karan menatap wajah Helena yang akhirnya mulai tenang dalam dekapannya.
Namun jauh di dalam dadanya, kegelisahan ikut bersemayam.
Mimpi Helena mungkin hanya mimpi, tapi insting Karan berkata sebaliknya.
Perlahan, agar tidak membangunkan istrinya, Karan meraih ponsel di nakas samping tempat tidur sambil menatap Helena sebentar.
Tubuh istrinya masih sedikit bergetar meski sudah memejamkan matanya.
Dengan satu tangan, ia mengetik pesan pada Dion, namun kemudian berpikir ulang.
Pesan terlalu lama. Ia memilih langsung menelpon.
Beep… beep…
Panggilan tersambung cukup lama sebelum suara mengantuk Dion terdengar di seberang.
“Mas Karan? Malam-malam gini kenapa? Ada apa?”
Karan melirik Helena yang masih tidur di dadanya, lalu menjauhkan ponsel sedikit agar suaranya tak terdengar olehnya.
Suara Karan rendah namun tegas.
“Dion, aku mau tanya. Firdaus masih di penjara, kan?”
Terdengar suara kain bergesekan dari seberang, seolah Dion langsung duduk tegak.
“Kenapa tiba-tiba Tuan bertanya seperti itu?" tanya Dion.
“Jawab dulu.”
Dion terdiam beberapa detik sebelum menjawab pelan, terdengar ragu.
“Terakhir aku cek dua minggu lalu, dia masih di dalam. Kenapa? Ada apa?”
Karan mengepalkan tangannya saat mendengar perkataan dari Dion.
“Helena mimpi buruk. Tentang Firdaus. Dan firasatku nggak enak.”
“Tuan, mimpi kan cuma mimpi. Tapi kalau perasaanmu bilang lain. Aku bisa ke penjara sekarang juga buat pastikan. Tapi ini jam dua pagi, aku nggak janji sipirnya mau kerja sama.”
“Kalau perlu, bangunkan mereka,” ucap Karan dingin.
Dion tidak membantah. Suaranya kini ikut serius.
“Baik. Aku berangkat sekarang. Aku kabari kalau aku sudah sampai.”
Sebelum Karan menutup telepon, Dion bertanya lirih,
“Tuan, kalau saja Firdaus benar-benar kabur. Tuan mau aku lakukan apa?”
Karan menatap Helena yang memeluknya erat, lalu menjawab dengan suara yang sangat tenang namun mengandung bara.
“Kalau dia keluar, jangan biarkan dia melangkah sedekat satu meter pun dari Helena.”
“Baik.”
Telepon ditutup.
Karan menaruh ponsel perlahan di sampingnya, lalu kembali merangkul Helena lebih erat.
Ia menatap langit-langit kamar hotel Paris itu namun pikirannya sudah tidak berada di sana.
Ia memejam mata pelan dan berbisik pada dirinya sendiri.
“Kalau benar kau keluar, Firdaus. Aku akan pastikan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu.”
Namun untuk saat ini, ia mengecup kening Helena, membiarkan ketenangan kembali menyelimuti kamar.
Sementara itu Dion membangunkan Sinta dan ia berpamitan.
"Mas, hati-hati. Lekas kembali kesini." ucap Sinta.
Dion mencium kening istrinya dan berjanji untuk segera kembali ke rumah sakit.
Dion mengemudikan mobilnya dengan kecepatan stabil namun tegang.
Jalanan tengah malam terasa begitu panjang, lampu jalan tampak seperti garis-garis kuning yang terus lewat tanpa henti.
Sesampainya di depan gerbang penjara, Dion langsung melihat sesuatu yang membuat alisnya mengerut tajam.
Asap putih tipis masih mengepul dari salah satu sisi gedung penjara.
Beberapa mobil pemadam dan ambulans terparkir di area halaman.
Lampu strobo merah-biru berputar liar, memantul di dinding beton kusam.
Dion turun dari mobil dengan napas mengeras.
Ia menghampiri salah satu sipir yang sedang memeriksa pagar luar penjara.
“Permisi, apa yang terjadi di sini?”
Sipir itu menoleh, wajahnya masih kotor oleh jelaga.
“Siapa Anda?” tanyanya curiga.
“Nama saya Dion. Saya datang untuk memastikan kondisi salah satu tahanan. Namanya Firdaus.”
Sipir itu menegang, menatap Dion lebih serius. Ia lalu menarik napas berat sebelum menjawab.
"Kalau anda mencarinya, aku tidak yakin anda akan menemukannya di sini.”
Dion memicingkan matanya saat mendengar perkataan dari sipir itu.
“Maksudmu?”
Sipir itu menatap ke arah gedung penjara yang dindingnya menghitam akibat api.
“Tadi malam terjadi kebakaran hebat di blok timur. Api menyebar cepat. Kami berhasil evakuasi sebagian besar tahanan, tapi ada beberapa yang memanfaatkan situasi.”
Dion merasakan darahnya berdesir dingin.
“Berapa yang kabur?”
Sipir itu menggertakkan giginya sebelum menjawab pelan.
“Empat orang. Dan salah satunya bernama Firdaus.”
Udara seketika terasa membeku. Dion mengepalkan tangannya begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
“Sejak kapan?”
“Sekitar dua jam lalu.”
Dion menatap ke langit malam yang kelam, lalu mengeluarkan ponselnya dengan gerakan cepat.
Ia menekan nomor Karan dan berharap Karan segera mengangkatnya.
Karan yang masih terjaga langsung mengangkat ponselnya.
"Tuan, benar firasat istrimu. Firdaus kabur dan sekarang polisi masih mencari keberadaannya." ucap Dion.
Karan menghela nafas panjang dan meminta Dion untuk merahasiakannya.