Azalea, Mohan, dan Jenara. Tiga sahabat yang sejak kecil selalu bersama, hingga semua orang yakin mereka tak akan pernah terpisahkan. Namun dibalik kebersamaan itu, tersimpan rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang tak pernah terucapkan.
Bagi Azalea, Mohan adalah cinta pertamanya. Tapi kepercayaan itu hancur ketika lelaki itu pergi meninggalkan luka terdalam. Jenara pun ikut menjauh, padahal diam-diam dialah yang selalu menjaga Azalea dari kejauhan.
Bertahun-tahun kemudian, Jenara kembali. Dan bersama kepulangannya, terbongkarlah kebenaran masa lalu tentang Mohan, tentang cinta yang tersimpan, dan tentang kesempatan baru bagi hati Azalea.
Kini, ia harus memilih. Tetap terikat pada luka lama, atau membuka hati pada cinta yang tulus, meski datang dari seseorang yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Faroca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan Jenara
Suasana kantin kampus sore itu ramai, mahasiswa baru masih tampak heboh dengan dunia barunya. Ada yang sibuk mencari meja kosong, ada yang asik berfoto dengan seragam almamater, bahkan ada yang teriak-teriak manggil temannya di seberang. Di tengah keramaian itu, Azalea berjalan dengan langkah cepat, diikuti Mohan yang sejak tadi nggak berhenti ngoceh.
“Aza, sumpah ya, gue baru sadar kalo hidup gue mulai berwarna lagi,” kata Mohan dengan wajah berbinar.
Azalea melirik sebal. “Nggak usah lebay deh, Moh. Emangnya selama ini hidup lo item putih gitu?”
“Ya nggak lah! Tapi sekarang lebih berwarna karena…” Mohan berhenti, tangannya menunjuk ke arah sekelompok mahasiswa yang baru masuk ke kantin. “Karena ada dia.”
Azalea mengikuti arah tunjuk itu. Dan benar saja, Amara baru saja masuk, masih dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai indah. Langkahnya tenang, senyumnya tipis tapi sopan, membuat beberapa mahasiswa langsung memperhatikannya.
Azalea mendengus pelan. “Satu kali pertemuan tanpa sengaja, udah bikin sangat berwarna ya Moh?” sinisnya
“Kenapa? Cemburu?” Mohan langsung nyeletuk dengan senyum nakal.
“Cemburu?maaf level gue bukan lo," ucapnya bohong.
Mohan ngakak keras, bikin beberapa mahasiswa di meja lain nengok. “Lo tuh kalo nyebelin, kreatif banget sumpah!”
Sementara itu, mereka sampai di meja pojok kantin. Kali ini kantin utama yang mereka pilih. Di sana, Jenara sudah duduk dengan tenang, serius menulis sesuatu di bukunya.
“Je!” seru Azalea sambil langsung duduk di sampingnya. “Lo harus tau, Mohan lagi-lagi ngomongin Amara!”
Jenara berhenti menulis. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap Mohan dengan ekspresi datar. “terus kenapa, Za?” tanyanya dengan nada yang begitu dingin, seperti es yang baru keluar dari freezer.
"Ya nggak apa-apa sih, cuma gue bosen aja. Dari tadi nama Amara terus yang disebut, bahkan dia selalu ngulang cerita kemaren." kesal Azalea, wajahnya langsung ditekuk.
"Sampe segitunya, Padahal perkenalan singkat kan?" Jenara menatap Mohan penuh tanya.
Mohan malah nyengir tanpa dosa. “Iya lah! meskipun singkat, tapi udah ada di sini nih," ucap Mohan sambil menunjuk dadanya.
" Hari ini, dia keliatan makin cantik Je! lo udah tau kan orangnya? masa masih nggak kenal si Je, temen sekelas lo padahal."
Tatapan Jenara menajam sepersekian detik sebelum akhirnya ia kembali menunduk. “Gue nggak peduli,” jawabnya singkat.
Suasana meja langsung hening. Azalea melirik Jenara, lalu melirik Mohan. Kedua cowok itu seolah punya dunia sendiri—Mohan yang kelewat heboh, Jenara yang kelewat cuek.
“Eh, serius, lo nggak kenal Amara?” Azalea mencoba membuka topik lagi, penasaran.
Jenara menutup bukunya, lalu bersandar di kursinya. “Gue belom begitu inget wajah semua orang di kelas. Lagian gue nggak punya alasan buat peduli.”
Azalea menggigit bibir bawahnya. Jawaban Jenara terlalu cepat, terlalu… dingin. Hatinya mulai overthinking. Apa bener dia nggak peduli? Atau pura-pura nggak peduli?
Makanannya datang tak lama kemudian. Waiters meletakkan sepiring nasi goreng untuk Mohan, sepiring spaghetti untuk Azalea, dan kopi hitam untuk Jenara.
Mohan langsung ambil sendok dan berkata dengan mulut penuh, “Za, lo tau nggak? Sebenernya! tadi siang gue ketemu Amara," beritahu Mohan. " Gue minta nomer hapenya, dan Lo tau? dengan senyuman manisnya, dia langsung ngasih." lanjutnya senang
Azalea mendadak berhenti memutar garpu yang sedang dipegangnya. “Hah?!” suaranya cukup keras sampai bikin beberapa orang menoleh. “Mohan, kok gue jadi serem ngeliat lo kaya gini. Menurut gue lo terlalu too much," masih dengan suara kerasnya.
"Astaga Aza ..., suara lo bisa dikondisikan kali." Mohan melirik ke Kanan dan kiri mejanya.
"Sumpah, gue ennek banget sama Lo tau."
"Bodo amet, yang penting gue lagi happy."
Jenara yang sejak tadi diam, meletakkan kopinya perlahan. “Berisik,” katanya datar.
"Ini kantin Je! wajar kalo berisik," seru Azalea
"Maksud gue, kalian berdua terlalu berisik ngebahas yang nggak penting."
Mohan dan Azalea saling tatap, teman seperjuangannya ini emang agak laen. Dingin dan sarkas, dua kata itu sudah melekat dengan Jenara sejak di bangku SMP.
"Hai… kalian di sini juga ternyata.” tiba-tiba suara lembut seorang cewek terdengar dari samping mereka. Membuat ketiganya menengok ke arah suara tersebut.
"Hai juga Amara!" balas Mohan cepat.
"Hai Azalea!" Sapa Amara pada Azalea,
Azalea melambai ke arah Amara."Hai Amara, kita ketemu lagi." ucapnya ramah
"Aku boleh gabung nggak?" Izinnya
"Boleh banget kok, ayo sini duduk!" semangat Mohan, langsung mengajak Amara duduk dibangku kosong yang ada antara dia dan Jenara.
Jenara menatap Azalea, dia tau jika hati sahabat perempuannya itu sedang tidak baik-baik saja melihat keakraban Mohan dan Amara. Jenara tau, ada kegelisahan yang berusaha dia tutupi. Namun, kepalan tangan yang kuat diatas meja, senyum kakunya dan sorot mata yang sedikit meredup, menandakan kalo gadis manis itu sedang cemburu.
"Kenapa harus gabung sama kita?" suara Jenara yang dingin langsung membuat keadaan menjadi canggung.
"Jenara, kok ngomongnya gitu." bisik Azalea.
"Lo nggak nyaman ya, gue ikutan gabung disini?" seru Amara merasa tidak enak.
"Gue rasa lo udah tau jawabannya," Ucap Jenara datar.
"Ayolah Bro, dia cuma mau gabung sama kita aja loh. Amara kenal sama gue dan Azalea kok," Mohan berusaha membela Amara. "Dia temen sekelas lo juga kan?" lanjut Mohan.
"Tapi, gue nggak kenal," ujar Jenara dengan suara dinginnya, membuat Mohan kesal dengan reaksi sahabatnya itu terhadap Amara.
Amara memegang pundak Mohan dan dengan suara lembutnya, Amara berkata. "Moh nggak apa-apa kok, gue pindah aja."
"Kalo gitu, gue temenin lo. Kita cari tempat duduk lain," kata Mohan, yang langsung di angguki oleh Amara.
"Za, lo mau ikut kita. Apa masih mau nemenin si bongkahan es batu yang nggak punya perasaan ini," tanya Mohan sambil melirik sinis ke arah Jenara, Azalea terdiam sesaat—lalu
"Gue nemenin Jenara aja disini," putusnya kemudian.
Azalea mendekati Amara "Amara, maafin temen gue ya. Dia masih belom jinak soalnya," bisik Azalea ditelinga Amara, Amara terkekeh pelan.
"Freya Azalea, gue denger apa yang Lo omongin." tegur Jenara
"Upstt !!! denger ya, tapi bodo amet." ledek Azalea. Membuat Mohan yang tadinya kesal, akhirnya tertawa sambil mengacak rambut gadis itu.
"Ya udah, gue pindah tempat dulu. Lo temenin tuh, si bongkahan es satu ini. Atau nggak lo ajak dia dengerin ceramah, biar nggak sarkas kalo ngomong sama orang lain." Sindir Mohan, sambil berlalu menggandeng tangan Amara menuju tempat kosong yang lumayan jauh jaraknya dari situ.
"Mau sampe kapan lo liatin mereka?" tegur Jenara membuat Aza kaget.
"Jangan diliatin mulu, hati lo bisa sakit." Jenara memandang Azalea lekat.
"Ngomong apa sih Je, hati siapa yang sakit?"
"Ya hati lo lah, gue tau lo lagi nahan perasaan cemburu kan?" tebaknya,
"Sok tau lo," sangkalnya
"Gue tau, dan gue yakin kalo tebakan gue bener." Jenara menyesap kopinya sebentar.
"Gue bukan Mohan, yang nggak peka sama keadaan sekitar Za— Sejak kapan lo suka sama dia?" Jenara berkata dengan serius, Azalea menatapnya sebentar lalu menunduk. Otaknya seakan berputar mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Kalo lo belum siap buat cerita, gue bakalan nunggu."
Azalea mendongak pelan. Tapi detik itu juga, matanya membeku—karena tatapan mereka saling bertemu. Jenara menatapnya dengan wajah datar dan dingin yang tak bisa di tebak. Namun dari tatapan dinginnya ada rasa yang disembunyikan rapat.
Sedangkan saat ini, detak jantung Azalea berdegub tak beraturan. cukup lama dia menatap manik mata sahabatnya itu, ada rasa aman dan nyaman di sana. Azalea merasakan tatapan Jenara lain dari biasanya, dan tanpa Azalea sadari—ada getaran halus dihatinya saat ini.