NovelToon NovelToon
Kemelut Lara

Kemelut Lara

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Hamil di luar nikah / Anak Kembar / Cerai / Keluarga / Angst
Popularitas:920
Nilai: 5
Nama Author: _NM_

Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.

Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

VI

Gia termenung diantara tangisan sang buah hati yang tiada henti. Air matanya sudah tak dapat ditahan. Kini dia benar-benar sebatang kara. Hingga perih tak jua berhenti menghampit jiwa.

Gia tetap tinggal dirumahnya dan sang suami. Rumah mewah ini nyatanya hanyalah terisi manusia sebatang kara sepertinya. Lalu bagaimana dia menikmati rumah semewah ini? Apa yang akan ia lakukan?

Pedihnya ditinggal sosok kekasih yang sempat menjadi tempat bersandar, membuat Gia gamang terhadap perasaannya. Tak tau Gia harus bertindak seperti apa. Dia tak tahu baik dan salah. Dia masih menjadi seorang anak berusia 18 tahun yang sebentar lagi berumur 19 tahun. Masih cukup beliau untuk bertindak. Kala dunia bertindak jahat, Gia tentu tak tahu harus bersikap.

" Arghhh.. " frustasi akan hidup yang tak tahu mau kemana.

Suara teriakan Gia membuat tangisan anak-anaknya semakin menjadi. Gia tahu, seharusnya dia menenangkan mereka. Tapi Gia tak tahu harus bersikap seperti apa, benar-benar tak tahu.

Gia menatap kedua anaknya dengan tatapan kosong.

Ambara Putra Utomo

Arshila Putri Utomo

Nama kedua buah hatinya itu. Sosok yang diharap menjadi penguat sang Ibunda, nyatanya tetap membuat sang ibunda tak berdaya.

" Diam-diam-diam! " Gia meraih tubuh kecil Ambara, mengguncang-guncang tubuh mungil itu dengan kencang dan tak berperikemanusiaan.

Hal itu tentu semakin membuat kedua buah hatinya menangis kencang, hingga wajah Ambara hampir membiru karena tak bisa bernafas.

" Tuhan!! " Masih mengguncang tubuh mungil Ambara, Gia mendongak berteriak frustasi. Matanya kosong.

Gia tak mampu. Gia mempunyai trauma. Tumbuh dari keluarga yang tak utuh, membuatnya tak tahu bersikap. Gia membutuhkan arahan. Takut. Itu yang Gia rasakan selama 9 bulan lebih mengandung sang buah hati. Takut tak mampu menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Takut dalam melangkah, takut dalam mengambil keputusan. Semua ketakutan melebur menjadi satu. Mental yang tak kuat, raga yang tak sekokoh itu, bagaimana bisa diminta untuk bersikap dewasa dan menjadi garda terdepan bagi anak-anaknya. Bahkan seorang diri tanpa ada seorang suami atau pun dukungan.

Tak mendengar suara tangis Ambara dan hanya menyisakan suara nafas yang tersenggal-senggal membuat Gia tersadar dari perlakuannya. Seketika saja Gia menatap khawatir sang anak. Gia seketika saja memeluk tubuh sang anak dengan tangan gemetar.

Tidak-tidak, apa yang dilakukan Gia barusan. Bagaimana ini?

" Sayang-sayang.. Apa yang terjadi. Sayang, maafin bunda. Maafin bunda. " Ucap Gia masih bergetar ditempat, menatap Ambara bingung.

Gia mengusap pipi Ambara takut. " Ibu, ini gimana.. Gia harus bagaimana? " Terisak kecil, ketakutan.

Gia tak tahu harus bagaimana. Nyatanya Gia masih membutuhkan ibunya. Meski perseteruan didalam rumahnya dulu, Gia tetaplah seorang anak yang membutuhkan ibu dan ayahnya.

" Ibu ini gimana? Ini gimana? " Racau Gia sangat takut.

Nyatanya, meski Gia telah melangkah sejauh ini bahkan telah menjadi seorang ibu, Gia tetap membutuhkan ibunya. Gia tak bisa, Gia takut.

" Ibu.. " Gia menangis dalam kesendiriannya, suara isakannya tersenggal.

Gia membawa Ambara kedalam pelukannya. Menimang-nimang sang buah hati, berharap Ambara akan baik-baik saja. Sesekali Gia melirik Arshila dan menepuk-nepuk kakinya, menenangkan.

Gia sadar, sangat sadar. Pilihannya kabur dari rumah bukanlah pilihan yang tepat. Seandainya dapat memutar waktu, Gia akan tetap memilih berada dinaungan kedua orang tuanya.

Gia lupa, meski perdebatan dan perseteruan kerap kali merembet ke arahnya, nyatanya orang tuanya mau tetap bersama juga karena dirinya. Gia sadar sekarang, orang tuanya telah banyak berkorban, tetap menekan ego untuk berpisah deminya seorang. Demi Gia, yang tak tahu dirinya tetap menyalahkan mereka dari segala hal yang ia dapat. Nyatanya kedua orangtuanya telah berjuang sedemikian rupa hanya untuknya, untuk Gia. Nyatanya perjuangan orang tua Gia tak main-main hebatnya.

Meski mendapat perlakuan yang tak mengenakan ketika kedua orang tuanya bertengkar, nyatanya Gia tetap merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Memang manusia tidak ada yang 100% baik dan tak ada yang 100% jahat. Bukankah sudah Gia singgung sebelumnya, tentang Gia yang tetap merasakan cinta dari kedua orangtuanya, meski tangis sering kali harus dia sembunyikan.

Meski banyaknya tangis dimasa lalu yang telah disembunyikan, masih terdapat tawa dan senyum menyapa. Gia merindukan itu.

Sedikit kisah tentang masa lalu Gia. Gia sedari kecil ditinggalkan oleh sang ayah, meninggalkan ibunya seorang diri hingga usianya 4 tahun. Ibunya berjuang seorang diri dengan ditemani kakek neneknya. Namun beberapa tahun kemudian ayahnya kembali, bertemu dengannya. Singkat cerita mereka kembali menjadi satu keluarga yang utuh, meski terdapat sesekali kekerasan dari kedua orangtuanya.

Namun ketika dia beranjak memasuki masa-masa SD, dia mengetahui kehidupan keluarganya tak sesimple itu. Ibunya selama ini menahan sakit menghadapi perbuatan ayahnya yang suka sekali KDRT. Tentu benci menguasai hatinya pada sang ayah. Sering kali ketika dia mendapati tindakan kekerasan yang dilakukan sang ayah pada sang ibu, membuatnya membela ibunya mati-matian.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, Gia sadar. Bukan hanya ayahnya yang salah. Terkadang perlakuan ibunya pada sang ayah tidak dapat dikatakan benar. Ayahnya juga menahan sakitnya selama ini. Ibunya sering kali menyakiti ego ayahnya, bahkan meski telah mengalah ibunya tetap menyakiti ego sang ayah. Ayahnya telah mengalah, namun dia hanyalah manusia yang memiliki emosi didalam lubuk hati, apalagi ayahnya hanyalah seorang lelaki yang hanya bisa menyelesaikan masalah menggunakan otot bukan logika.

Kedua orang tuanya salah, ego mereka terlalu tinggi. Hingga beberapa kali mengenainya.

Tapi Gia tahu pasti, ayah dan ibunya tak pernah gagal menjadi orang tua, mereka hanya gagal menjadi seorang kekasih untuk satu sama lain. Gia sangat menyayangi mereka, sangat..

Namun terkadang rasa lelah mental yang bingung harus mencari benar dan salah diantara kesalahan yang berbeda, membuat Gia merasa lelah dan mencoba mencari kedamaian diluar.

Meski hingga kini damai tak pernah kunjung datang, bahkan semuanya terkesan lebih rumit dari sebelumnya. Gia berharap dengan kepergiannya, kedua orangtuanya dapat bebas dari beban hidup yang selama ini mereka emban. Biarlah kedua orangtuanya hidup semua mereka, Gia berharap kedua orangtuanya tak lagi menekan ego masing-masing agar tetap utuh hanya untuk dirinya.

Kejarlah kebahagiaan ayah dan ibu, jangan lihat Gia lagi. Gia hanyalah seorang anak yang tak tahu diri dan tak tahu balas budi, jangan berkorban untuk Gia. Gia mohon.

Sudah dibilang, Gia bukanlah orang yang dapat memutuskan benar atau salah. Gia hanyalah seorang anak yang masih meraba-raba tentang kehidupan semu ini.

Jikalau sistem parenting yang kedua orang tuanya lakukan masih salah, meski telah berjuang semati-matian itu. Lalu parenting seperti apa yang harus Gia lakukan? Apalagi sayapnya yang lain telah patah, hanya dari sayapnya lah anak-anaknya harus tumbuh. Lalu bagaimana Gia dapat membawa anak-anaknya terbang tinggi dengan satu sayap?

Gia takut, menyakiti anak-anaknya. Apalagi menjadi trauma tersendiri bagi anak-anaknya kelak, Gia tak mau hal itu terjadi. Jangan sampai. Namun jika harus memanja-manjakan anaknya tentu juga tak baik untuk anak-anaknya. Menjadi anak yang tumbuh diantara lengkap yang tidak utuh, membuat Gia sadar tentang sesuatu hal. Meski diluaran sana orang tua tidak boleh ini dan itu, dan mengatakan demi kebaikan sang anak, nyatanya hal itulah yang membuat mental orang tua tak sehat. Banyak aturan harus inilah itulah, membuat mental orang tua rusak.

Sekarang dunia terbentuk dari dua kubu, tentang mengagungkan mental sang anak dan mengagungkan mental orang tua. Untuk Gia sendiri, Gia lebih memilih berada diantara mereka. Nyatanya menjadi orang tua tidak semuda itu. Tetapi menjadi anak yang tak tahu apa-apa, namun harus disalahkan juga bukanlah hal muda.

Mereka sakit dibagiannya masing-masing. Rasanya tak etis memilih mengabaikan sakit satu bagian demi memperjuangkan sakit yang lainnya.

1
via☆⁠▽⁠☆人⁠*⁠´⁠∀⁠`。⁠*゚⁠+
mampir yaa /Hey/
Jeremiah Jade Bertos Baldon
Aku ngerasa masuk ke dalam cerita, coba cepetan lanjutin thor!
Dzakwan Dzakwan
Wuih, nggak sabar lanjutin!
Harry
Ngebayangin jadi karakternya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!