Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Yang Tak Berani Mengalir
Ketika tembakan terakhir dari Sasmita menggema dan membakar habis siluman babi itu di pinggir hutan, di tempat lain, jauh dari suara letusan dan bau daging gosong, ketenangan palsu sedang merambat ke rumah paling besar di Desa Nyalindung. Rumah milik keluarga Permana.
Bangunannya dua lantai, berdinding bata merah dengan ukiran kayu jati di pintu depan. Di desa yang dikepung rawa dan hutan itu, rumah ini seperti benteng sombong—tegap, bersih, tak tersentuh lumpur. Listriknya menyala stabil ketika rumah lain hanya mengandalkan lampu minyak. Di dalamnya, keheningan seperti selimut tebal, menggantung di setiap sudut ruang, nyaris mencekik.
Tapi malam itu, keheningan itu bukan sekadar ketenangan. Ia membawa sesuatu. Sesuatu yang sudah bangkit dari rawa. Sesuatu yang lapar.
---
Jaka Permana berbalik di atas ranjang empuknya, tubuhnya berkeringat dingin meski pendingin ruangan menyala. Di sisi lain, istrinya, Ratih, terbangun duluan. Bulu kuduknya berdiri, meski dia tak tahu kenapa.
"Mas," bisiknya, menyentuh bahu Jaka, "dengar enggak?"
Jaka membuka matanya, malas. "Apaan sih, Ratih? Udah tengah malam..."
"Ada suara... dari bawah."
Jaka menghela napas panjang. Sudah beberapa malam Ratih seperti ini. Sejak wabah aneh itu menyebar di desa, istrinya semakin sering gelisah, mendengar suara-suara, mencium bau busuk yang tidak dia rasakan. Tapi malam ini... bau itu benar-benar ada.
Jaka duduk. Matanya menyipit.
"Apa ini...?"
Ada bau amis. Bukan seperti darah segar, tapi lebih seperti bangkai. Dan itu bukan dari dapur. Bau itu masuk seperti embusan napas, menelusup dari celah jendela, menekan paru-paru.
Jaka berdiri dan melangkah ke pintu kamar. Tangannya sudah menyentuh kenop ketika lampu kamar mati.
"Mas!"
Jaka menoleh. "Tenang! Paling cuma korsleting—"
TRAK.
Suara pintu depan terbuka sendiri. Jaka kaku. Ratih menutup mulutnya. Langkah kaki berat dan lembek terdengar dari lantai bawah, seperti kaki telanjang yang basah menginjak ubin.
Lambat. Berat. Menjijikkan.
Jaka cepat-cepat mengunci pintu kamar, lalu menutup semua lampu senter dan layar ponsel. Ia mengajak Ratih bersembunyi di balik lemari kayu besar di pojok kamar.
"Apa itu, Mas? Orang?" bisik Ratih, gemetar.
Jaka menggeleng, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Kalau orang... enggak mungkin baunya gitu..."
Langkah itu makin dekat. Suara napas berat terdengar... seperti sesuatu yang tengah mengendus-endus udara, mencari bau manusia.
Kemudian...
KRREEEEEK.
Pintu kamar terbuka pelan-pelan.
Padahal... sudah dikunci.
Jaka memeluk istrinya erat. Tubuhnya tegang, telinganya fokus penuh. Ia berharap... apapun itu, tidak bisa mencium mereka.
Tapi harapan sering kali hanya hiburan bagi mereka yang akan mati.
Dari balik lemari, Jaka mengintip lewat celah kecil.
Dan saat itulah ia melihatnya.
Seekor makhluk... bukan manusia, bukan hewan, melangkah masuk dengan tubuh menjijikkan. Kulitnya seperti koreng hidup, berlendir, menggembung di beberapa bagian seperti bisul siap pecah. Hidungnya kecil, moncongnya seperti babi, tapi dari sisi lain wajahnya menyembul rahang bawah anjing lengkap dengan taring panjang.
Matanya kosong, tapi matanya banyak. Tiga di kanan, dua di kiri. Satu lagi di tengah dahi, besar seperti mata sapi. Lehernya gemuk dan menggantung, sementara tubuhnya menggembung seperti sapi jantan—tapi membusuk.
Makhluk itu mengendus, lalu bergerak ke arah ranjang. Hidung moncongnya menyentuh seprai.
"Daging... yang bersembunyi..."
Suara itu bukan dari mulutnya, tapi terdengar langsung di kepala Jaka dan Ratih. Suara yang membuat darah berhenti mengalir.
Ratih menggigil. Air matanya jatuh tanpa suara.
Jaka meletakkan tangan di mulut istrinya. Tapi tangannya sendiri gemetar.
Makhluk itu memiringkan kepala... lalu mendekati lemari.
"Warisan darah... tercium dari sini."
Langkahnya berat. Lantai kayu berderit.
DUK. DUK. DUK.
Setiap langkah seperti palu yang mengetuk nisan mereka.
Kemudian... makhluk itu berhenti di depan lemari.
Senyap.
Terllaaak.
Cakar makhluk itu menyentuh gagang lemari. Dingin. Basah. Lendirnya menetes ke lantai.
Tiba-tiba...
TOOORR!!
Jaka menghantam pintu lemari dari dalam. Membuka paksa. Lalu menarik Ratih, kabur keluar kamar.
Makhluk itu meraung. Suara campuran babi yang dianiaya dan jeritan kerbau disembelih. Lantai bergetar.
Ratih menjerit, kakinya nyaris tersandung di tangga. Tapi Jaka menariknya keras.
"KELUAR!!"
Di ruang tengah, mereka nyaris menabrak pot besar. Jaka mengangkat kursi rotan dan melemparkannya ke arah makhluk itu yang mulai mengejar. Makhluk itu hanya tersentak sedikit, lalu kembali berlari. Langkahnya berat, tapi cepat.
Jaka membuka pintu depan. Tapi... terkunci dari luar.
"Siapa pun di luar sana... dia sudah mengunci kita..."
"Mas... dia ngikutin kita! Dewa Gusti... Tolongin!"
Jaka melirik kiri kanan. Hanya ada satu jalan. Tangga ke ruang bawah tanah—ruang penyimpanan tua.
Ia membuka pintunya dan menyeret Ratih turun.
Gelap. Lembap. Pengap.
Langkah siluman itu menggetarkan seluruh rumah saat ia menuruni tangga juga.
Satu suara yang paling mengerikan... terdengar dari atas.
"Aku ingat darahmu. Kau keturunan dia. Dukun tua bangka itu... Natawirya."
Jaka mematung.
Ratih menarik bajunya. "Apa maksudnya itu?"
Tapi Jaka tidak menjawab.
Siluman itu... tahu.
Tahu garis keturunannya.
Tahu siapa dirinya.
Jaka menarik napas dalam-dalam. Di dalam ruang bawah tanah itu... ia membuka lemari besi yang hampir tak pernah ia sentuh sejak ayahnya wafat. Di dalamnya, terbungkus kain mori, tersimpan sebuah tombak pendek berhiaskan untaian rambut manusia.
Ratih melangkah mundur. "Mas... itu... warisan yang—"
"Ayah bilang... jangan dipakai kecuali siluman dari rawa itu bangkit lagi..."
Jaka berdiri, menggenggam tombak itu. Napasnya berat. Matanya menatap ke atas tangga. Bayangan besar siluman itu muncul... dengan mata-mata menjijikkannya menyala dalam kegelapan.
"Tapi kalau aku diam... kita bakal dimakan hidup-hidup."
Makhluk itu tersenyum. Rahangnya turun seperti digerakkan oleh engsel berkarat.
"Bagus... mari lihat... apakah darahmu masih layak."
Jaka mengangkat tombaknya.
Ratih menjerit.
Siluman itu melompat.
Craaakkk!!
Tabrakan keduanya mengguncang seluruh rumah.
Tombak itu berhasil menusuk salah satu mata di rahang bawah siluman, memercikkan darah hitam yang meleleh seperti aspal panas. Tapi siluman itu tak mundur. Justru tertawa.
"Luka ini... mempercepat pestaku..."
Tiba-tiba, dari luka itu, tumbuh daging baru. Seperti ulat gemuk, melilit ujung tombak. Jaka menariknya, tapi telat.
Siluman itu memukul Jaka dengan tangan babinya yang kekar, menghantam tubuhnya ke dinding.
Ratih menjerit. "MAS!!"
Jaka jatuh, darah menetes dari dahinya. Tubuhnya gemetar. Tapi matanya belum menyerah.
Tapi sebelum ia bisa berdiri lagi, siluman itu membentangkan lidah panjangnya—bercabang seperti ular dan bergerak cepat.
Lidah itu melesat ke arah Ratih.
Dan...
Gelap.
Sementara itu, jauh dari rumah itu...
Sasmita dan Yuyun mulai berlari menyusuri jalan setapak gelap. Akar dan semak menyambut langkah mereka seperti tangan-tangan mayat yang mencoba menghalangi.
Dan di kejauhan sana...
Rumah Jaka Permana diguncang dari dalam.
Apakah mereka akan sempat tiba menolong atau Siluman itu yang sudah berhasil membunuh Jaka dan Ratih?
Bersambung.....