Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 — Teriakan di Kelas
“Gue serius suka sama lo, Alana!”
Teriakan dengan nada frustasi itu menggema di dalam kelas XI-1. Murid-murid yang baru kembali dari kantin atau tempat lain yang mereka datangi saat istirahat terkejut. Mereka tahu betul bahwa Jendral menyukai Alana, tapi tidak menyangka dia akan mengungkapkan perasaannya secepat ini, di depan banyak orang.
Alana mengepalkan tangannya di atas meja. Ia merasa dipermalukan oleh teriakan Jendral. Sudah jelas ia meminta Jendral untuk tidak terburu-buru menyimpulkan perasaannya, tetapi sekarang Jendral malah mengungkapkan semuanya di depan teman-teman sekelas mereka.
"Kenapa diam?" tanya Jendral, seolah menuntut Alana untuk segera merespons pernyataannya.
"Gue nggak keberatan kalau lo memang nggak suka sama gue. Lo suka sama Naresh, kan? Tapi gue nggak terima kalau lo meragukan perasaan gue!" ungkapnya.
Suara bisik-bisik mulai terdengar. Pernyataan Jendral barusan membuat seisi kelas yakin bahwa hubungan Alana dan Naresh bukan sekadar sahabat biasa. Ada perasaan di antara mereka yang tidak pernah ditunjukkan kepada publik.
Untungnya, guru di kelas mereka datang tepat waktu. Bisik-bisik pun terhenti, dan para murid langsung duduk di bangku mereka masing-masing, termasuk Jendral. Namun, ada satu bangku kosong yang belum terisi, yaitu bangku Nisya.
"Kalau yang lo maksud suka itu cinta, gue nggak cinta sama Naresh," ucap Alana saat Jendral baru duduk di bangkunya. Ia tidak peduli dengan pandangan Jendral terhadapnya, tetapi tidak bisa membiarkannya terus berpikir bahwa dirinya menyukai Naresh—karena anggapan itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Jendral tidak melirik sedikit pun ke arah Alana, tetapi tidak bisa dimungkiri ada perasaan lega di dalam hatinya saat mengetahui bahwa Alana tidak mencintai Naresh. Setidaknya, hal itu sedikit mengobati luka karena perasaannya yang tidak dipercaya.
"Bu." Alana mengangkat tangannya, membuat guru yang baru hendak memulai pelajaran menatap ke arahnya.
"Iya, Alana. Ada apa? Kamu sakit? Wajahmu pucat," ucap Bu Ika, guru matematika mereka.
Jendral spontan menoleh, mencoba melihat wajah Alana yang disebut pucat oleh guru. Namun, sebelum ia sempat melihatnya, Alana sudah berdiri dan meminta izin.
"Saya izin ke toilet sebentar," ucap Alana sambil beranjak dan berjalan ke arah depan kelas.
Bu Ika mengangguk dan mengizinkannya tanpa banyak bertanya.
"Jendral, kamu mau ke mana? Mau ikut ke toilet?" tegur Bu Ika saat melihat Jendral ikut beranjak dari tempat duduknya.
Jendral sempat gelagapan, tapi tidak lama kemudian ia sadar—tubuhnya bergerak sendiri karena khawatir pada Alana.
"Saya... Ibu bilang Alana pucat?" tanya Jendral, mengabaikan pertanyaan Bu Ika padanya.
"Iya, Alana memang pucat. Tapi apa hubungannya dengan kamu yang mau ikut ke toilet?" Bu Ika balik bertanya.
Sorak-sorai terdengar di dalam kelas. Bukan untuk mengejek, melainkan meledek Jendral yang terlihat terlalu perhatian pada Alana.
"Tenang, anak-anak. Sekarang kita mulai pelajaran. Dan kamu, Jendral." Bu Ika menatap tajam ke arahnya. "Kembali ke tempat dudukmu."
Jendral terpaksa duduk kembali, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Alana. Ia tanpa sengaja mendengar bisik-bisik dari dua murid yang duduk di depannya.
“Gara-gara dibentak Jendral, nggak sih?” bisik salah satu dari mereka.
“Iya, lo tahu sendiri gimana Alana kalau udah dengar suara berisik. Apalagi tadi... dibentak,” balas temannya.
Seketika, Jendral merasa bersalah karena tadi telah membentak Alana. Padahal, ia tidak bermaksud membentaknya—ia hanya ingin Alana mempercayai perasaannya.
***
Di toilet, Alana berdiri di depan wastafel dan berkali-kali mencuci wajahnya. Ada perasaan dalam dirinya yang sulit untuk dijelaskan. Ia kesal, marah, namun juga merasa bersalah karena tidak bisa mempercayai orang yang mengaku memiliki perasaan terhadapnya.
"Gue bukan nggak mau percaya, gue nggak bisa," ucapnya entah pada siapa, karena ia hanya sendirian di dalam toilet. Murid-murid lain sedang belajar di kelas masing-masing.
"Sebenarnya siapa cowok itu?" Alana menatap kaca di depannya, melihat pantulan dirinya. Tatapannya pada bayangan dirinya terlihat tajam dan menusuk.
Alana tidak sedang mempertanyakan nama Jendral; ia bertanya karena Jendral sudah membuatnya merasa seperti ini. Perasaannya campur aduk karena Jendral.
"Lo nggak perlu merasa bersalah, Alana. Wajar lo nggak percaya, kalian bahkan baru bertemu tadi pagi," ucap Alana, seolah sedang menasihati dirinya sendiri.
Ada satu hal yang tidak banyak diketahui orang: Alana sebenarnya memiliki kepribadian ganda. Kepribadiannya seolah sedang bertarung saat ini.
"Jendral Aryasatya Dirgantara, jangan pikir karena gue ngerasa bersalah, lo menang," ucap Alana lagi. Matanya masih terpaku pada bayangan dirinya di cermin.
Aluna berusaha mengatur napas agar bisa merasa tenang, supaya emosi—atau kepribadiannya yang lain—tidak mengambil alih. Setelah napasnya berhasil diatur, ia mengeringkan wajah dengan tisu, lalu berniat kembali ke kelas. Namun, sebuah suara menahannya untuk pergi.
Alana mendengar suara tangisan dari salah satu bilik toilet.
"Suara itu..." Alana yang merasa familiar dengan suara dari dalam toilet perlahan mendekati bilik tempat suara itu berasal. Tangisan itu kini terdengar semakin jelas di telinganya.
"Nisya?" panggil Alana kepada sosok di balik bilik toilet. Ia tidak yakin, tapi suara itu terdengar seperti Nisya, teman sekelasnya. Lagi pula, tadi ia memang tidak melihat Nisya di kelas.
"Nisya, lo di dalem?" tanya Alana sedikit lebih keras karena tidak mendapat balasan dari orang di balik bilik toilet. Ia mengetuk pintu toilet agar orang di dalam merespons.
"Alana?" Bukannya mendapat jawaban, Alana malah mendengar namanya dipanggil oleh orang di bilik toilet dengan suara serak.
"Iya, gue Alana. Lo siapa? Ngapain lo nangis di dalem?" Alana masih terus mengetuk pintu toilet dengan keras, berharap orang di dalam mau keluar.
Tak lama, sesuai harapannya, pintu toilet terbuka dari dalam—dan benar, Nisya yang ada di dalam bilik itu. Penampilan Nisya berantakan, seperti orang yang habis dibuli.
"Siapa yang lakuin ini sama lo?" tanya Alana marah, melihat kondisi Nisya seperti itu.
"Anu—ini aku," Nisya tampak terbata-bata. Yang membuatnya seperti itu adalah Kaluna, musuh bebuyutan Alana. Tapi dia tidak bisa mengatakannya.
"Gue bilang siapa?! Siapa yang udah berani ngelakuin ini sama lo?!" tanya Alana lagi, kali ini lebih menuntut agar Nisya memberitahu siapa yang sudah membulinya.
"Jangan marah, Alana," ucap Nisya mencoba menenangkan Alana. Namun, hal itu tidak berhasil membuat Alana tenang, justru Alana semakin emosi karena Nisya tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Kalau lo nggak mau gue marah, bilang siapa yang udah bikin lo kayak gini!" ucap Alana penuh penekanan.
Nisya menelan ludah gugup. Kalau sudah seperti ini, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain jujur. "Kaluna," jawabnya pelan.
"Apa lo bilang? Kaluna?" Suara Alana menggelegar di dalam toilet itu.