jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Pertemuan Nisa dan Jhos yang Emosional
"Itu tidak benar, Nisa. Jonson memang begitu, dia tidak pernah mau akur denganku," bantah Jhos dengan nada tegas.
Jhos kembali meraih tangan Nisa, menatapnya dalam-dalam, seolah ingin menyampaikan perasaannya yang tulus. "Nisa, percayalah padaku dan menikahlah denganku. Semua masalah akan selesai. Aku dan kamu bisa membangun rumah tangga yang bahagia. Mau ya?" katanya penuh keyakinan.
Nisa terdiam, balas menatap mata Jhos. Dalam hatinya, ia sangat ingin menjawab "iya." Namun, ia merasa perlu memberi Jhos pelajaran atas semua yang telah terjadi. Ia ingin Jhos merasakan apa yang ia rasakan.
Dengan sengaja, Nisa menarik tangannya kembali, lalu membelakangi Jhos. Dengan nada dingin ia berkata, "Pergilah, Jhos. Aku akan memikirkannya." Padahal, dalam hatinya ia ingin sekali menerima permintaan Jhos, tapi ia tetap mencoba menolak.
"Tapi, Nisa—"
"Keluar! Kalau tidak, aku akan memanggil petugas untuk mengusirmu," tegas Nisa dengan suara lantang seperti seorang pemimpin.
Jhos terdiam. Akhirnya ia menyerah, menunduk dengan wajah penuh rasa kalah. "Baiklah... pikirkanlah," jawabnya, lalu berjalan keluar dari ruangan Nisa.
Setelah Jhos pergi, Nisa tersenyum kecil. Ia teringat bagaimana dirinya bersikap begitu tegas kepada Jhos, yang selama ini terkenal dingin terhadapnya. "Rasain, Jhos. Siapa suruh dulu menghukumku tanpa mengetahui kebenarannya. Hehe, rasanya aku terlalu tegas tadi. Lucu sekali," gumamnya sambil tersenyum kecil.
Namun, lama-kelamaan Nisa terdiam, termenung memikirkan perasaannya sendiri. Ia bingung dengan hatinya. Bukannya membenci Jhos, ia justru merasa hatinya selalu luluh setiap kali pria itu ada di dekatnya. Tadi saja, ia berusaha keras terlihat tegas agar Jhos percaya bahwa ia benar-benar marah.
"Jhos... kamu benar-benar sudah mendapatkan hatiku. Rasanya seperti kamu membawanya pergi bersamamu. Baru saja kamu pergi, sekarang aku sudah merindukanmu. Sialan," ungkap Nisa dalam hati, termenung.
Lamunannya terhenti ketika pintu ruangannya terbuka lagi. Jhos kembali masuk.
"Maaf," ucap Jhos singkat. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Sesekali datanglah ke rumah. Temui Sisi, dia sangat membutuhkanmu. Sejak kematian ayah, dia selalu menangis di rumah," pinta Jhos, lalu berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Nisa tertegun. Ia mengira Jhos kembali untuk membujuknya agar memaafkannya, tapi ternyata Jhos hanya ingin menyampaikan permintaan sederhana—meminta Nisa menemui Sisi.
Membayangkan Sisi, gadis kecil yang selalu ceria dan menyambutnya dengan senyum bahagia, kini berubah menjadi seseorang yang penuh kesedihan membuat hati Nisa pilu.
"Aku tidak bisa membayangkan seperti apa Sisi sekarang. Gadis ceria itu pasti sangat terpukul," pikir Nisa dengan perasaan prihatin.
Pertemuan Nisa dengan Sisi
Setelah jam kerja selesai, Nisa tidak berpikir panjang. Ia langsung pergi ke rumah keluarga Jhos, sesuai permintaan Jhos untuk menemui Sisi.
Sesampainya di sana, Nisa melihat rumah besar itu, megah bak istana. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Biasanya, Sisi akan menyambut kedatangannya dengan penuh semangat dan pelukan hangat. Namun, untuk pertama kalinya, sambutan itu tidak ada.
"Di mana dia?" gumam Nisa sambil melangkah masuk ke dalam rumah yang terasa begitu sunyi.
Rumah besar itu kini terasa kosong, sepi, dan dingin. Sejak meninggalnya Tuan Huan Chen, rumah ini kehilangan cahayanya. Tidak ada lagi tawa atau kebahagiaan yang biasa terdengar. Nisa hanya bisa mendengar kesunyian, yang semakin membuat hatinya terasa hampa.
Pertemuan Nisa dengan Sisi
Nisa melangkah masuk ke kamar Sisi, yang pintunya dibiarkan terbuka. Di dalam, ia melihat Jasmin dan Ferdinan, ayahnya, sedang mencoba menghibur Sisi. Namun, gadis kecil itu tampak seperti boneka rusak—wajahnya kusut, matanya bengkak, dan ia tidak bersemangat. Sisi bahkan tidak mau menyentuh makanannya.
"Maaf, Tante. Bolehkah aku menemani Sisi? Aku akan mencoba menghiburnya supaya dia kembali ceria seperti dulu," pinta Nisa penuh harap.
Jasmin dan Ferdinan saling pandang, lalu mengangguk setuju.
"Nisa, tolong sembuhkan Sisi, ya. Tante merasa dia seperti mayat hidup. Dia tidak mau makan sedikit pun dan terus menangis, seperti yang kamu lihat," ucap Jasmin dengan nada sedih.
Jasmin sebenarnya hanya berpura-pura tegar. Kematian suaminya, Tuan Huan Chen, membuatnya merasa sangat kesepian. Namun, ia mencoba menahan diri demi putrinya. Beruntung, Ferdinan—sahabat mendiang suaminya—selalu meluangkan waktu untuk menengok mereka. Ia tahu Jasmin membutuhkan dukungan agar tetap kuat merawat Sisi, yang sangat membutuhkan kasih sayang.
"Sisi sayang... kenapa harus bersedih seperti ini? Ayo, sini lihat kakak," ucap Nisa lembut, mencoba membujuk Sisi. Namun, Sisi tetap tak bergeming. Tatapannya kosong, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.
Meski berkali-kali mencoba, Nisa tidak menyerah. Hingga akhirnya, ia punya ide. Nisa menggenggam tangan Sisi dan membawanya keluar rumah, ke taman samping rumah besar itu.
Di taman, Nisa mulai beraksi. Ia berpura-pura berusaha menangkap seekor kupu-kupu, membuat gerakan konyol yang disengaja. Sisi duduk di bangku taman, memperhatikan dengan wajah yang masih murung.
Waktu berlalu hampir satu jam. Perlahan, perubahan terjadi. Sisi, yang semula diam, mulai berdiri dari tempat duduknya. Ia menunjuk ke arah kupu-kupu yang sedang hinggap di bunga mawar dekat Nisa.
"Kakak cantik! Itu kupu-kupunya, di sebelah kakak. Di bunga mawar dia sembunyi!" teriak Sisi dengan suara lebih ceria.
Nisa segera berbalik ke arah yang ditunjuk Sisi. Ia mencoba menangkap kupu-kupu itu dengan jaring kecilnya. Namun, karena terlalu bersemangat, ia tersandung ranting pohon dan terjatuh ke tanah.
Melihat Nisa terjatuh, Sisi terkejut sesaat, lalu tertawa kecil. Ia segera berlari mendekati Nisa yang sedang meringis kesakitan.
"Kakak cantik, nggak apa-apa kan? Tunggu sebentar, aku ambilkan obat," ucap Sisi sambil bergegas mencari bantuan.
Sisi menemui seorang pelayan yang kebetulan ada di dekat taman. "Tolong ambilkan saya obat oles di dalam," pintanya dengan nada serius. Pelayan itu sempat terkejut melihat Sisi mulai ceria kembali. Setelah Nisa memberikan isyarat dengan mengedipkan mata, pelayan itu segera bergegas mengambilkan obat.
Tak lama, Sisi kembali membawa obat oles. Ia langsung mengoleskan obat tersebut dengan hati-hati di lutut Nisa yang terluka.
"Kakak cantik sih nggak hati-hati. Lain kali aku nggak mau lihat kakak cantik menangkap kupu-kupu untukku. Aku nggak mau kakak terluka lagi," ucap Sisi polos, membuat hati Nisa tersentuh.
Nisa tersenyum sambil membalas ucapan Sisi, "Tapi ada syaratnya."
"Apa tuh? Aku pasti penuhi, asal kakak cantik nggak menangkap kupu-kupu lagi dan nggak terluka," balas Sisi penasaran sambil menatap mata Nisa.
"Syaratnya, Sisi harus kembali ceria dan nggak boleh sedih lagi. Kalau Sisi sedih dan murung seperti tadi, kakak nggak mau menemani Sisi lagi. Kakak nggak tega melihat Sisi sedih, jadi lebih baik kakak nggak menemui Sisi," jawab Nisa dengan nada pura-pura serius.
Sisi terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Nisa. Lalu ia bertanya polos, "Jadi, itu sebabnya kakak cantik nggak pernah menemui aku belakangan ini?"
"Menurut Sisi gimana?" Nisa membalas sambil menaikkan alisnya, mencoba menggoda.
Akhirnya, Sisi mengangguk dan tersenyum kecil. "Baiklah, aku janji, Kakak," ucapnya sambil memeluk Nisa erat. Meski masih ada sedikit sisa kesedihan di wajahnya, Sisi tampak lebih ceria dibanding sebelumnya.
Nisa merasa lega. Setidaknya, ia berhasil mengembalikan sedikit kebahagiaan pada gadis kecil itu