Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Bayangan di Ujung Awan
Matahari senja merangkak turun di cakrawala Alam Atas, menyorot rona keperakan di lantai batu Menara Ember Langit. Gedung megah kini sunyi, hanya suara angin berbisik dan gema langkah tim kecil Nian, Lan’er, Master Cang, Xu’an, dan Zhuo yang baru saja disahkan sebagai Penjaga Ember Langit.
Namun di tepian awan, dua sosok berdiri diam: satu berjubah ungu, menggenggam gulungan peta gelap masih basah sisa duel; satu lagi berjubah keemasan, wajahnya tersembunyi di balik tudung. Bayangan mereka memanjang, merayapi keheningan senja.
Tanpa sepatah kata pun, mereka menghilang di balik kabut tipis. Dan di udara, tersisa satu bisikan samar yang mengguncang jiwa:
“Perayaan baru dimulai…
karena rahasia langit belum sepenuhnya terbuka.”
Nian menatap langit senja, hatinya bergetar. Tim tahu: misteri masih mengintai di balik bayangan.
Malamnya, dalam ruang pendalaman arcana rasa, Kepala Sekte dan Dewan Ember mengundang tim Penjaga untuk briefing lanjutan. Di tengah meja bundar, terhampar Kitab Ember Rasa dan sisa pecahan Cawan Neraka yang telah dimurnikan.
Kepala Sekte memulai, “Arbiter Cahaya mengungkap bahwa sosok berjubah keemasan bukan sekadar dewi gemilang, melainkan pewaris Wangsa Ember garis keturunan tertinggi di Alam Atas. Tradisi mereka menguasai ‘Esensi Cahaya’: kekuatan yang memurnikan rasa, namun juga mampu mengunci jiwa.”
Master Cang menimpali, “Dari manuskrip kuno, Wangsa Ember pernah berseteru pahit dengan klan dunia bawah terkait persaingan rempah gelap. Mereka mengorbankan Cawan Neraka untuk mengikat kekuatan Qi pahit, lalu menyembunyikannya.”
Lan’er menatap pecahan cawan, suaranya pelan: “Jadi cawan ini dibagi dua takdir: satu untuk melindungi, satu untuk menaklukkan?”
Xu’an membuka Kitab Ember Rasa: “Betul. Di Bab XIII tertulis: ‘Cawan Neraka dan Pedang Dewa adalah kunci keseimbangan; tanpa satu, yang lain akan membelot.’ Sosok keemasan itu mungkin ingin merebut esensi cahaya untuk menyegel kekuatan kami dan mungkin melepaskan gelap jika keseimbangan terganggu.”
Kepala Sekte menegaskan, “Penjaga Ember harus menuntut asal usul keputusan Wangsa Ember. Kita harus mencari Istana Ember Kejora, tempat tinggal garis keturunan itu, sebelum mereka mencopot Pedang Dewa dari puncak Menara.”
Zhuo menambahkan, “Lokasi istana tersembunyi di ‘Kabut Ember Terlarang’, zona awan pekat yang dilindungi formasi langit kuat. Hanya yang mendapatkan restu Cahaya Murni dapat memasuki.”
Nian mengangguk mantap, tangannya mengepal. “Maka besok, ekspedisi berikutnya: menuju Kabut Ember Terlarang, menyingkap niat Wangsa Ember, dan mencegah mereka mengguncang keseimbangan rasa.”
Fajar berikutnya, tim memulai perjalanan turun dari Menara Ember ke lembah awan. Xu’an mengaktifkan Formasi Cahaya Murni, menyalurkan aura biru-putih yang memancar dari pedang kayu mini, menciptakan jalur bercahaya di awan kelabu.
Mereka melintasi jembatan awan rapuh, menembus kabut pekat hingga tiba di Gerbang Ember Terlarang : dua pilar batu keemasan, terukir ukiran sinar dan bayangan bersanding, mengambang di antara gumpalan awan. Di pilar kiri terpahat kalimat kuno:
“Orang murni dapat menembus terang; yang tercemar takkan melangkah.”
Nian melangkah maju, tangan kanan menggenggam Pedang Dewa, menempelkan gagangnya di pilar. Sekilas, permukaan pedang berkedip jingga, lalu pilar kiri memudar, membuka celah kabut.
Begitu melewati, pilar kanan menyala merah, dan kabut bergeser, menampakkan panorama Lembah Cahaya Terlarang : ladang bunga rempah berpendar, sungai kristal Qi mengalir tenang, dan di kejauhan, menara keemasan berteras khas Wangsa Ember.
Namun situasi segera tegang. Aroma manis-asam pekat menyergap, menguji indra rasa. Di sela ladang, muncul patung-patung penjaga terbentuk dari cahaya putih manifestasi roh leluhur Wangsa. Mereka berdiri kaku, tanpa pedang, melainkan melayang dengan aura menenggelamkan.
Master Cang mematikan langkah. “Roh penjaga akan memindai niat. Kita harus memperagakan esensi rasa secara terbuka.”
Lan’er maju, menuangkan setetes Cairan Air suci ke tangan, membentuk lingkaran cahaya. Zhuo menaburkan rempah asam di udara, membangkitkan aroma menenangkan. Nian mengangkat Sup Kayu-Asam dan memfokuskan Qi kayu pada permukaan, lalu menetralkan getaran gelap.
Satu per satu roh penjaga mengubah posisi: mereka menunduk sebagai penghormatan. Jalan pun terbuka menuju Istana Ember Kejora yang menjulang di atas aliran sungai kristal.
Tim memasuki aula marmer emas, dindingnya menampilkan mural kisah kekaisaran rasa. Di ujung aula berdiri kursi tinggi berlembar sutra keemasan tempat sang Putri Ember menanti. Jubah keemasan mengerut di pundaknya, wajahnya kini terungkap: sosok perempuan tegas, sorot matanya berapi.
“Penjaga Ember,” sapanya dingin tapi anggun. “Kau berani memasuki wilayah Wangsa tanpa restu? Siapkah kau menjawab satu pertanyaan: apa arti keseimbangan rasa bagimu?”
Nian melangkah maju, menunduk hormat. “Keseimbangan rasa adalah hidup dan kematian, manis dan pahit, ringan dan berat itulah seni mengolah Qi. Tanpa keseimbangan, dunia jatuh ke jurang kegelapan.”
Putri Ember mengangguk pelan. “Jawaban yang benar. Namun kata-kata tak cukup. Buktikan dengan ritual ‘Harmoni Jiwa Ember’.” Ia menepuk meja tiga mangkuk berisi sup dengan warna merah menyala, hijau lembut, dan perak berdesis muncul di depan mereka.
“Setiap mangkuk adalah esensi: Api, Kayu, dan Logam. Kalian harus menyatu dalam satu tegukan, tanpa jeda, menenangkan perutmu agar infeksi gelap tak merayap.”
Master Cang dan Xu’an saling bertukar pandang. “Ini mirip Ritual Penjernihan,” gumam Master Cang. “Namun tak ada air suci; ini murni ujian keberanian rasa.”
Nian menghirup napas, lalu menyeruput sup Api lidahnya terbakar hangat, Qi api memancar. Tanpa menahan, ia lanjut menyeruput sup Kayu merembet tenang, meredam panas. Terakhir, sup Logam membuat lidahnya bergetar, namun ia fokus, menyalurkan Qi kayu dan api untuk menetralkan.
Suasana hening. Lampu kristal di dinding berpendar semakin cerah, lalu meredup; nyala api di jubah Putri berpendar lembut. “Kalian telah menunjukkan keberanian dan keselarasan,” ujarnya pelan. “Tapi masih ada satu ujian terakhir: hati kalian harus mampu menanggung rahasia gelap Wangsa Ember.”
Putri Ember membentangkan selembar gulungan antik: rekaman “Kontrak Darah Rempah” dokumen perjanjian kuno antara Wangsa Ember dan makhluk neraka perut. Tertulis bahwa pada masa lampau, Wangsa menjual sebagian esensi Cahaya Murni kepada kegelapan, menandatangani kontrak dengan darah rempah manis-asam, berjanji mengorbankan satu generasi untuk mempertahankan supremasi.
Lan’er menahan napas. “Mereka… menjual cahaya mereka sendiri?”
Putri Ember menunduk menyesal. “Kontrak itu terjalin, dan itulah sebab elemennya retak Cawan Neraka pernah menjadi kunci menutup pintu neraka, namun juga kunci menjebak jiwa kami. Itulah rahasia yang dijaga agar tidak bocor.”
Master Cang menegakkan badan. “Jika kontrak ini nyata, maka Wangsa Ember tidak hanya menghadirkan keseimbangan, tetapi juga beban menanggung gelap untuk jutaan juru masak surgawi.”
Zhuo menatap pedang Nian. “Mereka terjebak antara cahaya dan gelap.”
Putri Ember meneteskan air mata. “Aku menjaga rahasia ini sepanjang hidup. Namun Xionglai berusaha membebaskan kami dari kontrak dengan melepaskan kegelapan sepenuhnya. Kami tak bisa mentolerir itu. Itulah mengapa kami melemparkan ilusi dan ujian: untuk memastikan niat sejati Penjaga Ember.”
Nian memegang Kitab Ember Rasa. “Maka kita harus memutuskan: memutus kontrak dan membayar harga, atau mempertahankan beban demi keseimbangan?”
Dalam keheningan, tim memandang satu sama lain. Lan’er menggenggam tangan Nian, Master Cang menepuk bahu, Xu’an dan Zhuo menyatukan tinju.
Nian angkat suara, tegas: “Kami memilih memecahkan Kontrak Darah Rempah. Keseimbangan sejati bukan mempertahankan beban gelap, melainkan menghadapi dan menolak kegelapan agar bisa murni.”
Putri Ember menutup gulungan, air matanya mengalir deras. “Dengan keputusan ini, kalian tak hanya membebaskan Wangsa Ember, tetapi seluruh Alam Atas dan Bawah. Kontrak terputus.”
Tiba-tiba, guntur bergema di langit tinggi seolah alam merespon. Portal rempah ungu di puncak menara menyala kembali, menandai riak gelombang Qi di seluruh dimensi. Sebuah suara bergema di seluruh aula:
“Kontrak tercabut…
namun bayangan baru menanti di balik tirai rasa.”
Dan di balik jendela kristal, siluet sosok berjubah ungu kembali menampakkan diri, kali ini dengan gagah mengangkat Cawan Neraka yang telah terkristal — pertanda gerakan gelap lainnya mulai bergerak dalam senyap.
-