NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selimut Senja

Pagi itu, mentari menyusup lembut di balik tirai jendela kamar, menari pelan di atas wajah Alisya yang baru saja terbangun. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu tersenyum saat menyadari sosok suaminya yang tampan sedang tertidur pulas di sampingnya, memeluknya erat seolah tak ingin berpisah.

Semalam, Alisya sempat menanti kepulangan Rendi, namun kantuk lebih dulu menyeretnya ke alam mimpi. Hari sudah terlalu larut, dan tubuhnya kelelahan.

Ia menoleh pelan, menatap wajah suaminya yang damai dalam tidur. Dengan hati-hati, ia mengelus rambutnya, penuh kasih. Begitu dalam ia tenggelam dalam kehangatan itu, hingga tak sadar matanya terarah pada kalender yang tergantung di dinding kamar. Hari ini—tanggal yang tak pernah ia lupa.

Ulang tahun ibu.

Dan beruntungnya, hari ini juga awal dari libur panjang.

Alisya kembali menatap suaminya. Jari-jarinya menyusuri lembut pipi dan rambut Rendi, membangunkannya dengan belaian yang penuh cinta.

Rendi menggeliat pelan, suara seraknya terdengar begitu hangat di pagi hari.

"Mmhh... sayang," gumamnya pelan, matanya masih setengah terpejam.

Alisya tersenyum, lalu kembali mengelus rambutnya dengan lembut. Tak lama, Rendi membuka matanya sedikit lebih lebar, lalu bergumam lirih dengan suara yang masih berat.

"Sayang... kita ke rumah Ibu, yuk... siang ini. Hari ini ulang tahun Ibu, kan?"

Alisya tertegun. Ada keharuan yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tidak sempat mengucapkan keinginan itu, belum sempat menyampaikannya pun. Tapi Rendi tahu.

Seolah hatinya bisa membaca isi hati Alisya, bahkan tanpa ia perlu mengatakannya.

Senyum Alisya mengembang, matanya berbinar.

"Terima kasih, Sayang," bisiknya dalam hati, sebelum ia mengecup dahi suaminya dengan penuh cinta.

...****************...

Mobil melaju tenang di jalanan yang lengang, membelah siang yang hangat dengan udara khas libur panjang. Di kursi belakang, Rasya tertidur dengan kepala bersandar di pundak Bunda nya boneka kecil kesayangannya tergenggam erat dalam pelukan. Sementara itu, Rendi menggenggam tangan Alisya di atas pangkuan, mengusapnya pelan sesekali, seperti ingin mengatakan: Aku di sini. Selalu.

Rumah ibu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Tak banyak yang berubah halaman kecil yang penuh bunga, suara kicau burung dari sangkar di teras, dan aroma kayu tua yang khas. Namun setiap langkah yang mereka ayunkan ke dalam rumah itu terasa seperti pulang pada pelukan yang hangat, tempat semua rindu bermuara.

"Ibu!" seru Alisya lembut, membuka pintu dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

Seseorang muncul dari ruang tengah—wajah yang selalu membawa ketenangan dalam benaknya. Perempuan paruh baya dengan keriput lembut di ujung matanya, dan sorot hangat yang tak pernah berubah.

"Alisya, Rendi… Rasya juga ikut?" suara ibu mengalun, penuh kebahagiaan. Ia membuka tangan lebar-lebar, dan Rasya yang sudah terbangun langsung berlari kecil memeluk neneknya.

"Selamat ulang tahun, Bu," ujar Alisya, memeluk ibunya erat. Pelukan yang diam-diam menyelipkan rindu bertahun-tahun dan cinta yang tak terucap dalam kata-kata.

Rendi ikut mendekat, menyerahkan kotak kue kecil yang sudah mereka siapkan dari pagi. "Doa kami untuk Ibu hari ini... semoga sehat selalu, bahagia selalu. Dan terus jadi tempat pulang bagi kami."

Ibu tersenyum, matanya berkaca-kaca.

"Kalian datang saja, itu sudah hadiah paling indah buat Ibu."

Mereka duduk di ruang tengah, bercengkerama dalam tawa dan cerita. Rasya duduk di pangkuan sang nenek, mendengarkan kisah lama yang diceritakan ulang dengan suara lirih dan mata yang berkisah lebih dari kata-kata. Alisya menyandarkan kepalanya di bahu Rendi, merasa tenang. Tak ada yang lebih syahdu daripada waktu yang diberi ruang untuk melambat bersama orang-orang yang paling dicinta.

...****************...

Senja sudah turun sempurna. Rasya tertidur di kamar depan setelah puas bermain, dan Rendi sedang berbincang di teras dengan tetangga lama ibu. Tinggallah Alisya dan ibunya berdua di ruang tengah, duduk berdampingan di sofa tua yang dulu jadi saksi banyak cerita.

Suasana hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar jelas, berpacu pelan seolah tak ingin mengganggu percakapan yang sebentar lagi akan dimulai.

Ibu menoleh pelan ke arah putrinya, memperhatikan wajah Alisya yang tampak lebih dewasa, tapi juga lebih lelah.

“Kamu kelihatan bahagia, Nak…” ujar Ibu perlahan. “Tapi di matamu… masih ada sesuatu yang kamu simpan.”

Alisya terdiam. Tatapannya lurus ke depan, lalu turun ke kedua tangannya yang saling menggenggam di pangkuan. Ia menarik napas, seolah menyusun kata dalam hati.

“Kadang aku takut, Bu…” ujarnya lirih. “Takut semua ini hanya sementara. Takut kebahagiaan yang aku punya... bisa hilang sewaktu-waktu.”

Ibu tersenyum samar, matanya menatap lembut.

“Kebahagiaan itu bukan tentang seberapa lama ia tinggal, Nak. Tapi seberapa tulus kamu menikmatinya saat ia datang.”

Alisya menoleh, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku cuma ingin rumah yang utuh, Bu… buat Rasya. Buat aku. Buat kami.”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, suaranya nyaris berbisik.

“Aku sudah terlalu sering kehilangan.”

Ibu mengulurkan tangan, menggenggam tangan putrinya erat-erat.

“Kamu tidak sendiri, Alisya. Kamu punya Rendi, kamu punya Rasya, dan kamu punya Ibu. Kehilangan memang mengajarkan banyak luka… tapi juga mengajarkan kita cara untuk lebih menghargai yang tersisa.”

Alisya tak kuasa menahan air mata. Ia bersandar di bahu ibunya, seperti anak kecil yang kembali mencari dekapan yang paling ia percaya.

“Ibu selalu kuat,” bisiknya pelan.

Ibu mengangguk kecil, suaranya bergetar tapi tetap lembut.

“Ibu kuat… karena Ibu pernah hancur. Dan sekarang, kamu juga sedang belajar menjadi kuat, dengan caramu sendiri.”

Hening kembali menyelimuti mereka. Tapi bukan hening yang asing, melainkan hening yang hangat—seperti selimut tipis yang menenangkan luka-luka kecil dalam dada.

Di luar, cahaya temaram senja mulai digantikan kelap-kelip lampu malam.

Dan di dalam rumah itu, dua hati perempuan sedang saling menguatkan… dalam diam yang berkata lebih dari seribu kalimat.

Suara pintu teras berderit pelan. Langkah kaki Rendi terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang ruang tengah. Ia memperhatikan dua perempuan yang sangat ia cintai: Alisya bersandar di bahu ibunya, dengan mata yang sedikit sembab tapi penuh damai.

Rendi mendekat perlahan, duduk di sisi Alisya dan menyentuh lembut punggungnya.

“Kalian ngobrolin apa?” tanyanya pelan, suaranya sehangat senja yang baru saja berlalu.

Alisya hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Tapi ibu menatap Rendi dengan mata yang tenang, lalu berkata,

“Kami sedang bicara tentang rasa takut… dan kekuatan yang tumbuh dari luka.”

Rendi mengangguk pelan. Ia menatap Alisya dengan penuh pengertian, lalu memindahkan tangannya, menggenggam tangan istrinya yang masih berada di pangkuan.

“Aku tahu Alisya banyak menahan sendiri. Tapi aku ada, Sayang. Aku di sini... dan aku mau kamu bersandar juga padaku, bukan hanya pada dirimu sendiri.”

Alisya menoleh padanya. Ada haru yang begitu jujur di matanya.

Lalu ibu berbicara lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas namun tetap lembut.

“Rendi… Alisya pernah kehilangan banyak, dan dia bukan perempuan yang akan dengan mudah meminta. Tapi dia perempuan yang akan mencintai sepenuh hati jika diberi ruang.”

Rendi menunduk sejenak, lalu menatap ibu dengan tatapan dalam.

“Terima kasih sudah percaya saya untuk menjaga Alisya, Bu. Saya tahu, kebahagiaan itu bukan soal datang dan pergi... tapi soal dijaga setiap hari. Saya ingin jadi tempat pulangnya Alisya. Tempat dia merasa cukup.”

Ibu tersenyum, kali ini senyumnya berbeda—lebih dalam, lebih penuh restu.

“Kalau kamu tahu itu… maka kamu sudah lebih dari cukup, Rendi.”

Suasana hening sesaat. Tapi hening itu bukan jeda kosong. Itu adalah hening yang mengandung pengertian. Seperti ketika tiga hati bertemu di satu titik yang sama: cinta, luka, dan harapan.

Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar dari arah kamar.

“Bunda?”

Rasya muncul, mengucek matanya, masih dengan boneka kecilnya di tangan.

Alisya segera merentangkan tangan, dan Rasya naik ke pangkuannya. Rendi mengusap kepala anak mereka, dan ibu menatap ketiganya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Keluarga kecil ini… semoga panjang umur dalam kasih,” ucapnya lirih.

Dan malam itu, di tengah ruang sederhana dan cahaya lampu yang hangat, mereka duduk bersama. Tak butuh apa-apa lagi selain kehadiran satu sama lain. Karena ternyata, rumah tak selalu soal tempat—tapi tentang siapa yang ada di dalamnya.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!