cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Suara yang Tak Terucap
Pagi di hari Senin datang dengan tenang. Udara sedikit dingin, namun hangat matahari yang masuk dari sela tirai kamar perlahan membangunkan Vio. Setelah rutinitas singkat pagi, ia turun ke ruang makan, hanya untuk mendapati meja sudah tertata rapi.
“Pagi, Vio!” sapa Tissa dengan aksen yang sedikit asing, sambil menuangkan teh.
“Pagi...” Vio membalas sambil duduk. “Kamu bangun pagi juga?”
“Aku... selalu bangun... jam enam,” jawab Tissa dengan sedikit terbata. “Di... rumah dulu, aku bantu... bersih dulu, sebelum... sekolah.”
Vio hanya mengangguk, membiarkan jeda terbentuk. Ia bisa mendengar usaha Tissa dalam merangkai kalimat, dan memilih untuk tidak membebani percakapan.
Setelah sarapan, Hilda mengantar Tissa ke sekolah dengan mobilnya karena letaknya searah dengan kampusnya. Vio sendiri memilih untuk tetap di rumah. Ia masih punya waktu sebelum masuk sekolah siang nanti.
Ia kembali ke kamar, duduk di depan laptop, lalu menatap layar kosong.
“Siaran malam kemarin... batal. Tapi anehnya, aku tidak merasa bersalah.”
Ia membuka folder musik, memainkan salah satu lagu instrumen favoritnya. Denting piano mengisi ruang, membuat pikirannya mengembara.
“Tissa punya telinga yang peka... mungkin suatu hari dia bisa mendengar siaranku, tapi bukan sekarang.”
Vio menyalakan keyboard digital kecil miliknya, lalu mulai bermain pelan, membiarkan jemarinya menyentuh tuts dengan irama yang mengikuti suasana hatinya. Lagu itu belum punya judul, tapi ia menyebutnya dalam hati sebagai “langkah pertama.”
Sore hari, sepulang sekolah, Tissa mampir ke ruang tamu tempat Vio sedang membaca.
“Kak Hilda... belum... pulang?” tanyanya, pelan.
“Belum. Mungkin dia ada rapat kelompok,” jawab Vio sambil menutup bukunya.
Tissa duduk, lalu menggulung lengan seragamnya. “Hari pertama... lumayan. Tapi... agak sulit... bicara dengan teman. Mereka... sudah kenal duluan.”
“Kamu pasti bisa. Kamu cukup... bisa membawa suasana,” ujar Vio tanpa menatap langsung.
Tissa tertawa pelan. “Itu... puji atau... kritik?”
Vio mengangkat bahu. “Terserah kamu menilainya.”
Tissa melirik sekeliling. “Rumah ini... sangat... tenang. Seperti... tidak banyak suara.”
“Kadang... terlalu tenang,” jawab Vio lirih.
Hening menyelimuti mereka untuk sesaat. Lalu Tissa berdiri.
“Aku... naik dulu. Mau... beres... lemari.”
Vio mengangguk. Tapi sebelum Tissa pergi, ia sempat berkata, “Vio... kalau kamu... main musik lagi... boleh aku dengar?”
Langkah Tissa terhenti. Vio tak langsung menjawab. Ia menoleh perlahan, tatapannya lembut namun ragu.
“…Nanti, kalau waktunya tepat.”
Tissa mengangguk kecil lalu pergi ke lantai atas.
Vio memandangi langit senja dari balik jendela.
“Mungkin suara yang tak terucap, akan menemukan jalannya... sedikit demi sedikit.”
---
Hari pertama Tissa tinggal di rumah Vio terasa canggung, meskipun ia mencoba menyesuaikan diri. Vio yang biasanya lebih nyaman menyendiri, kini harus berbagi ruang dengan seseorang yang belum terlalu ia kenal, meskipun mereka sepupu.
Pagi itu, Vio turun ke ruang makan dan mendapati Tissa sudah duduk di sana, berusaha menuang susu ke dalam gelas—dengan tangan yang sedikit gemetar karena gugup.
"Selamat... pagi," ucap Tissa, dengan logat asing yang kental.
"Selamat pagi," jawab Vio, berusaha terdengar ramah meski masih sedikit canggung.
Tissa mencoba tersenyum. "Saya... masak telur. Tapi... tidak yakin enak."
Vio mendekat, mencium aroma telur goreng yang sedikit terlalu matang. "Enggak apa-apa. Terima kasih sudah mencoba."
Mereka makan dalam diam sesaat, hanya ditemani suara sendok yang beradu dengan piring. Setelah beberapa menit, Tissa menatap Vio dengan mata penuh rasa ingin tahu.
"Kamu... suka musik, ya?"
Vio mengangkat alis. "Kenapa tanya begitu?"
"Semalam... saya dengar. Ada... suara. Dari kamar kamu. Seperti... lagu."
Wajah Vio sedikit memerah. Ia lupa mematikan rekaman vokalnya semalam. "Oh... itu cuma latihan. Biasa saja."
Tissa tampak kagum. "Kamu punya suara... indah. Seperti... hmm, 'lagu langit'?"
"Lagu langit?" Vio menahan tawa. "Maksudmu ‘heavenly voice’?"
"Yes! Itu!" Tissa tersenyum malu.
Percakapan mereka terhenti sejenak, tapi Vio merasa sedikit lebih nyaman sekarang. Ada sesuatu yang polos dari cara Tissa berbicara—dan mungkin karena itu, ia tidak merasa tertekan untuk menjadi versi ‘sempurna’ dari dirinya.
Setelah makan, mereka membantu Hilda membereskan rumah. Tissa kesulitan memahami beberapa instruksi dalam bahasa Indonesia, hingga Vio harus menunjuk atau memperagakan.
"Kamu... sabar ya," ucap Tissa saat mereka mengangkat tumpukan handuk. "Saya... belajar bahasa. Tapi... otak saya... lambat."
Vio menggeleng. "Kamu nggak lambat. Cuma butuh waktu. Aku juga mungkin bingung kalau harus tinggal di luar negeri."
Tissa tertawa pelan, lalu menunduk. Ada kehangatan yang muncul sesaat—bukan karena kata-kata manis, tapi karena penerimaan yang sederhana.
Sore harinya, Vio duduk sendirian di balkon rumah, memegang bukunya yang terbuka tapi tak dibaca. Ia masih memikirkan satu hal: suara Tissa saat mengatakan "lagu langit".
‘Apa aku benar-benar punya suara seindah itu?’
Angin sore berhembus pelan, membawa suara daun-daun yang saling bergesekan. Lalu tanpa sadar, Vio bersenandung kecil. Lagu yang belum selesai ia tulis—lagu tentang bintang, tentang jarak, dan tentang cahaya yang tetap bersinar meski terpisah ruang dan waktu.
Dan tanpa ia sadari, Tissa berdiri di balik tirai, mendengarkan dari kejauhan, matanya terpejam. Seolah suara itu—sekali lagi—menghadirkan ‘lagu langit’ di antara mereka.