cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Suara dari langit
Malam mulai merambat naik ketika semua anggota keluarga berkumpul di ruang tamu. Televisi menyala namun tidak benar-benar ditonton. Papa duduk dengan tenang, membaca berita dari tabletnya. Mama berbincang ringan dengan Hilda, dan Tissa duduk di karpet memainkan puzzle kecil yang ia temukan di rak mainan masa kecil Vio.
Vio duduk di sudut ruangan, pandangannya sesekali berpindah ke arah jam dinding.
Sudah hampir seminggu.
Hampir seminggu sejak terakhir kali ia siaran.
Hampir seminggu sejak suara “Violetta” mengudara.
Namun yang ia rindukan bukan hanya mikrofon atau layar laptop melainkan perasaan itu. Perasaan bebas. Saat ia bisa bicara tanpa harus berhadapan dengan mata siapa pun. Saat semua orang hanya mendengar... dan tidak menilai.
Malam itu, sekitar pukul sepuluh, saat rumah mulai tenang, Vio membuka pintu kamarnya perlahan.
Dengan hati-hati, ia mengeluarkan peralatan siaran dari laci kecil lalu laptop, mikrofon, headset. Semua dipasang dalam senyap.
“Sudah banyak pesan masuk,” bisiknya sambil membuka laman komunitas.
Komentar berdatangan menanyakan kabar, menyatakan rindu pada suara Violetta, bahkan sekadar menuliskan: “Kamu baik-baik saja, kan?”
Vio menarik napas panjang. Senyuman kecil di wajahnya.
“Aku kembali,” ucapnya lirih.
Ia menyalakan monitor, memasang mikrofon, dan membiarkan suara hatinya mengalir.
“Selamat malam... untuk kalian yang menunggu suara dari langit.”
Dan malam itu, Violetta kembali mengudara—dengan suara yang lebih lembut, penuh kerinduan.
Di kamar tamu, Tissa duduk di dekat jendela, memandangi langit berbintang. Ia menoleh tiba-tiba.
Ada suara, tidak jelas. Hanya getaran... lembut. Seperti bisikan yang mengalir di udara.
“Langit... bicara?” gumamnya, lalu tersenyum pelan.
Ia tidak tahu dari mana suara itu berasal, tapi... rasanya begitu hangat dan tidak asing.
Keesokan paginya, Vio bangun sedikit lebih siang dari biasanya, tapi dengan langkah yang lebih ringan. Di dapur, Tissa sudah duduk menyantap roti bakar dan susu.
“Pagi,” sapa Tissa.
“Pagi,” jawab Vio sambil duduk di seberang.
Tissa menatap Vio cukup lama, lalu bertanya perlahan bahasa Indonesianya sedikit lebih lancar dari kemarin.
“Kemarin malam... kamu bicara ke langit?”
Vio nyaris tersedak teh yang baru diteguk.
“Eh... maksudmu?”
Tissa hanya tersenyum dan menatap ke luar jendela. “Suara... tenang. Aku dengar. Mungkin... bintang... suka bicara padaku.”
Vio terdiam sejenak, lalu ikut tersenyum.
“Bintang memang punya cara bicara yang unik,” balasnya.
Tapi dalam hati, ia tahu—Tissa mulai menyadari sesuatu.
Sudah waktunya menjalankan rencana A: peredam suara.
Sore harinya, sepulang sekolah, Vio sibuk melihat-lihat toko online yang menjual peredam suara. Ia begitu fokus hingga tak menyadari kehadiran papanya di belakang.
“Hmm... peredam suara? Untuk apa?” tanya Papa tiba-tiba.
Vio terkejut, ponselnya nyaris jatuh.
“Papa? Sejak kapan ada di sini?”
“Beberapa menit lalu. Papa lihat kamarmu terbuka, coba ketuk, tapi kamu nggak jawab.”
Vio tertawa gugup dan buru-buru menjelaskan bahwa ia hanya ingin membuat ruang belajar lebih tenang.
Papa hanya mengangguk dan tersenyum.
Saat makan malam, Papa bertanya pada Hilda dan Tissa apakah mereka ingin mendekorasi kamar masing-masing juga.
“Kenapa tiba-tiba, Pa?” tanya Hilda curiga.
“Karena Vio butuh suasana baru di kamar,” jawab Papa santai.
“Tidak... aku tidak perlu,” ucap Tissa pelan.
“Tidak apa-apa, Tissa. Kalau kamu butuh sesuatu, tinggal bilang saja ya,” tambah Mama dengan lembut.
“Um... baik.”
Keesokan harinya, barang-barang untuk dekorasi sudah siap.
“Tenang, nanti sore semuanya sudah selesai” kata Papa dengan yakin saat mereka berangkat sekolah.
Saat mereka pulang, Papa menyambut dan memperlihatkan kamar yang sudah selesai direnovasi.
Tissa terkejut kamarnya tampak cantik, penuh warna lembut sesuai seleranya. Sementara kamar Vio kini kedap suara, tenang, sesuai kebutuhan.
Hilda hanya meminta perubahan sederhana karena hanya untuk membuat senang papa yang sangat ingin memanjakan anak-anaknya.
Malamnya, Vio kembali ke kamar dan menyiapkan perlengkapan siaran.
Namun tanpa sengaja, kakinya menginjak topeng yang biasa ia gunakan.
Krak!
Topeng itu terbelah.
Ia hanya bisa menatap puing-puingnya dalam diam.
Dengan berat hati, ia membuka komunitasnya dan membuat pengumuman:
> Maaf, siaran malam ini dibatalkan. Topengku rusak <
Ia mencari toko online tempat ia dulu memesan topeng, namun situs itu sudah tutup. Ia pun meminta saran dari komunitasnya.
Seseorang dengan nama “Myon” membalas:
> Coba cek toko ini. Mereka bisa buat topeng sesuai pesanan. Aku sudah coba sebelumnya. <
Vio mengucapkan terima kasih tanpa menyadari siapa Myon sebenarnya.
‘Myon’ adalah Tissa.
Dan malam itu, Tissa tersenyum kecil di balik layar ponselnya.
Vio akhirnya memesan topeng baru dari toko luar negeri yang direkomendasikan. Estimasi pengerjaannya: dua belas hari.
Ia kembali memberi pengumuman di komunitas:
> Aku akan hiatus siaran selama kurang lebih dua minggu. Terima kasih karena selalu menunggu. <
Dan balasan dari komunitasnya membuat hatinya hangat
> Semua orang pernah ceroboh. Untuk Violetta, kami tetap di sini. <
Vio menatap komentar itu lama... lalu tersenyum.
Meski mereka tak tahu siapa dirinya, mereka tetap setia.
Dan itu cukup.
