Hidup sebatang kara, dikhianati oleh keluarganya, bahkan diusir dari rumah peninggalan orang tua oleh sang tante, membuat Ayuna Ramadhani terpaksa harus bekerja keras untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin di tengah kesibukkannya kuliah. Ditambah pengkhianatan sang pacar, membuat Ayuna semakin terpuruk.
Namun titik rendahnya inilah yang membuat ia bertemu dengan seorang pengusaha muda, Mr. Ibram, yang baik hati namun memiliki trauma terhadap kisah cinta. Bagaimana kelanjutan kisah Ayuna dan Mr. Ibram, mungkinkah kebahagiaan singgah dalam kehidupan Ayuna?
Selamat membaca
like like yang banyak ya teman-teman
terimakasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAKIT
Tangan Ayuna lemas seketika, untung ponsel tak terlepas. Baru saja mau masuk ke ruangan Ibram, tiba-tiba Arfan menelepon. Ayuna pun segera menjawab panggilan itu. Ternyata rumah sudah dijual sebulan lalu, Tante dan Om hari ini mendapat uang pelunasannya. Arfan minta maaf dengan sangat karena baru mengetahui kabar ini.
Sejak penjualan kedai dulu, Tante dan Om Ayuna mulai menjual satu per satu aset Ayah Ayuna, aset terakhir adalah rumah dan sekarang sudah terjual.
"Mbak, halo Mbak?" Arfan memastikan Ayuna masih dalam panggilan, padahal Ayuna sudah tak kuat berdiri. Ia menyenderkan badannya, kepalanya berat seketika. Bisa apa dia sekarang, meminta bantuan Ibram pun percuma.
"Ay?" panggil Ibram. Bos ganteng itu keluar ruangan berniat mencari Uci untuk mengumpulkan para manajer terkait evaluasi 3 bulanan. Uci sedang ke kamar mandi malah bertemu Ayuna yang sedang bersandar di dinding.
"Maaf, Pak!" ucap Ayuna sembari menganggukkan kepala, menyapa hormat.
"Sebentar ya, Ay. Saya masih repot kalau habis makan siang gimana?" tawar Ibram yang memang terlihat repot. Ayuna tersenyum lalu menggeleng.
"Hem sepertinya tidak jadi, Pak. Sudah clear." Ayuna pamit kembali ke ruangan kerja, Ibram masih bingung. Lah kok cepat banget urusannya sudah beres.
"Tunggu, Ay! Maksudnya?" Ibram sampai mendekati Ayuna.
"Rumahnya sudah terjual, Pak. Barusan dikabari Arfan!" ucap gadis itu dengan memaksakan senyum. Ibram pun menepuk pundak Ayuna.
"Sabar ya, habis ini dapat rumah yang lebih besar!" hibur Ibram. Mendengar doa dari Ibram, Ayuna menggeleng, bahkan ia akhirnya menangis. Wajahnya ditutup dengan telapak tangannya, kecewa sekali lagi.
Ibram langsung menarik lengan Ayuna, membawa gadis itu ke ruangannya. Ibram sudah tak tega melihat Ayuna menangis lagi. Ia pikir saat di cafe itu, Ayuna sudah tidak akan menangis lagi. Eh, ternyata masih ada episode air mata lagi. Ibram tak sungkan memeluk Ayuna untuk kedua kalinya. Ayuna juga tak menolak, gadis itu memang butuh sandaran, tak peduli siapa yang memeluknya sekarang, bahkan ia tak berpikir dianggap cewek gampangan mau saja dipeluk bosnya.
"Nikah aja deh, sama gue, Ay!" ucap Ibram tiba-tiba. Mendengar ajakan itu, Ayuna tersadar dan langsung menjauhkan diri. Namun, Ibram tak melepas tangan Ayuna begitu saja. Ia tulus mengajak nikah gadis itu.
"Saya serius!" ucapnya tegas.
"Pak?" Ayuna mencoba melepas tangannya, namun tak dilepas Ibram.
"Kamu butuh sandaran, dan itu adalah aku. Berapa kali aku lihat kamu menangis gini, aku gak tega."
"Pak, kayaknya bapak baper aja deh. Maaf beneran saya gak bakal nangis di depan Bapak lagi. Su su sueer!"
Ibram tertawa, nih anak moodnya gampang banget berubah, sekarang malah melawak, pakai suwer segala.
"Sekali lagi aku lihat kamu menangis, aku ajak ke KUA!" ancam Ibram, dan hal itu membuat Ayuna mengangguk takut. Ia pun pamit keluar ruangan, agak berlari karena khawatir Ibram akan mengejarnya.
"Kenapa kamu, Ay?" tanya Mimi saat Ayuna datang dengan ngos-ngosan. Gak mungkin Ayuna cerita tentang kejadian barusan, terlalu horor. Ia juga tak mau dianggap halu, mana ada bos mau sama gadis yang di bawah level Ibram jauh.
"Mbak, ingatkan aku buat gak nangis lagi. Apapun kondisinya!" pinta Ayuna mencoba menenangkan degup jantungnya juga.
"Kamu ini kenapa sih, kayak habis lihat hantu aja."
Ayuna menatap Mimi serius. "Bahkan lebih seram daripada hantu."Lebih seram dari hantu, Mbak!"
Mimi tak paham, dan tak memperpanjang ocehan Ayuna yang tak masuk akal itu. Sedangkan, Ayuna berusaha fokus pada pekerjaan, meski omongan Ibram terus melintas dalam otaknya.
"Kamu habis marahin Ayuna?" tanya Akmal, karena beberapa hari ini ia melihat Ayuna agak kurang nyaman dekat dengan Ibram, sedangkan Ibram sok sok an mendekati Ayuna di setiap situasi. Bahkan Uci semakin curiga kalau Ibram mulai PDKT dengan Ayuna.
"Enggak, emang kenapa?"
"Kayaknya Ayuna akhir-akhir ini menghindar berinteraksi sama gue, dan saat lo duduk di sampingnya, ia langsung kincep tak berani mengeluarkan pendapat."
"Detail banget kamu perhatiin Ayuna, belum move on?"
"Ck, apaan sih. Gue lagi bahas kalian kenapa jadi ke gue?"
"Ya emang kita gak ada masalah!"
"Gak usah bohong ya, kasihan dia loh. Kantor ini sudah dianggap Ayuna sebagai rumah kedua, jangan sampai dia tak nyaman. Lagian kurang 1,5 bulan selesai kontrak."
"Ck, iya gue tahu." Ibram pun menerima saran dari Akmal. Ia tahu penyebab perubahan sikap Ayuna, dan ternyata berdampak padanya. Baiklah, tak perlu diperpanjang, sepertinya Ayuna belun mau menikah.
Ibram jadi merenung, kalau Ayuna saja menolaknya, siapa perempuan yang akan ia percaya lagi. Memang Ibram belum mencintai Ayuna yang menggebu, hatinya masih sangsi menyebut itu cinta, bahkan tawaran nikah tempo hari hanya sebatas ucapan spontan saja. Kalau diterima syukur kalau enggak ya gak pa-pa, dicoba lain kali saat Ayuna sudah siap. Namun apa daya, ternyata Ayuna menganggap lain. Gadis itu menjadi tak nyaman. Ibram pun memilih kembali ke setelan pabrik, cuek dan judes ala bos.
Ibram mengecek progres proyek melalui Akmal dan Uci, cek kondisi tim hanya sesekali saja dan itu tak lama. Bahkan saat bertemu Ayuna pun ia memasang wajah datar saja, seperti lupa kalau pernah menawarkan pernikahan pada gadis itu.
"Untung gak gue terima, ternyata gak serius juga!" pikir Ayuna lega. Beberapa kali berpapasan dengan Ibram ternyata bos ganteng itu tidak menunjukkan keseriusan mengajaknya menikah. Biasanya kalau memang mau mengajak nikah tentu ada progres hubungan, PDKT lah, chat tiap hari, mengajak bertemu nah ini zonk. Sempat mendekati Ayuna tapi tetap hanya urusan kantor.
"Kenapa gue jadi lega, toh gue sendiri yang nolak waktu itu!" Ayuna menggeleng, heran dengan dirinya. Ada sedikit rasa kecewa mungkin karena Pak Ibram tak serius ingin menikahinya. Prasangka itu pun berlangsung hingga Ayuna berakhir masa kontrak.
Hari ini adalah hari terkahir Ayuna dan Tim bekerja di kantor ini. Mimi dan Jo mau melanjutkan S2 ke luar negeri, keduanya diterima di kampus yang sama di Ausie, namun jurusannya berbeda. Sedangkan yang lain lebih memilih kerja freelance daripada kerja kantor yang full time, capek dan bosan berada di satu tempat dalam waktu 6 - 8 jam per hari.
"Grup jangan sampai bubar," pesan Jo sebelum mereka semua berpisah. Pamit pada Tim senior cukup mengharukan, banyak pesan dan pelajaran yang bisa diambil dari mereka.
"Kamu masih lama, Ay?" tanya Mimi yang mau balik juga, ini sudah jam 4, mau hujan pula.
"Bentar lagi kayaknya, Mbak. Tinggal print dan minta tanda tangan Pak Ibram," ucap Ayuna yang masih melengkapi laporan PKL.
"Gue tinggal ya?" Ayuna mengangguk dan memberi jempol saja. Di ruangan itu tinggal dirinya sendiri, ditemani suara ketikan keyboard dan printer.
Tepat pukul 5, ia baru selesai. Buru-buru naik ke ruangan Ibram, khawatir Bu Uci sudah pulang juga. "Eh, Ay. Langsung masuk saja, gue buru-buru suami gue sakit!"
Ayuna kaget, namun mengangguk juga. "Pak Akmal?"
"Udah pulang, kakaknya lamaran!" teriak Bu Uci sambil berlari menuju lift. Ayuna hanya cemberut, tak siap kalau bertemu Ibram sendiri, di ruangannya lagi. Namun ia kembali melihat draft laporan. Terpaksa.
Setelah dipersilahkan masuk, Ayuna pun mengutarakan maksudnya. "Bisa ditinggal gak, Ay?" tanya Ibram tanpa melihat Ayuna, sepertinya ia merasakan sesuatu, semacam kesakitan gitu. Apalagi Ayuna sempat melihat beliau memegang perutnya.
"Bapak sakit?"