kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata makan tuan....
Tomy membaca pesan terakhir dari anak buahnya, seringai tipis terukir di bibirnya.
Rencananya telah disusun matang, dan kini saatnya eksekusi. Tak lama kemudian,ia beranjak dari duduk nya. Langkahnya mantap, penuh percaya diri, seolah tak ada beban sama sekali.
Ia melihat Letta sudah duduk di mejanya, dengan tatapan sabar yang dibuat-buat.
"Hai, Letta. Maaf lama nunggu," sapa Tomy, suaranya terdengar ramah namun ada nada basa-basi yang tersembunyi. Ia mendekati meja, menarik kursi, dan duduk di hadapan Letta.
Letta tersenyum manis, senyum yang bagi Tomy terasa palsu.
"Tidak apa-apa, Tom. Gue juga baru nyampai kok," balasnya, nada suaranya dibuat seolah-olah tulus. Matanya melirik ke arah minuman yang sudah berisi bubuk perangsang itu.
Saat itu, dengan gerakan nyaris tak terlihat, Tomy memberikan isyarat kecil pada salah satu anak buahnya yang menyamar sebagai pelayan. Isyarat itu begitu samar, hanya sekejap mata, namun cukup bagi anak buahnya untuk memahami maksudnya.
Seakan tahu betul apa yang harus dilakukan, anak buah Tomy tiba-tiba berjalan melewati meja Letta. Dengan "sengaja" yang sangat meyakinkan, ia menyenggol lengan Letta.
Braak!
Gelas minuman yang dibawa pelayan itu menumpahi baju letta.
"Maaf, Mbak, saya tidak sengaja!" ucap lelaki itu, dengan nada yang terdengar sangat menyesal dan panik, aktingnya sempurna.
Wajah Letta langsung berubah masam, senyum manisnya lenyap digantikan ekspresi terkejut dan kesal.
Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Tomy sudah lebih dulu membuka suara. Ia berdiri dari kursinya, ekspresinya berubah tegas, rahangnya mengeras, seolah-olah dipenuhi kemarahan.
"Kalau jalan pakai mata, dong!" bentak Tomy, suaranya naik satu oktaf, ia berpura-pura emosi. Matanya menatap tajam ke arah anak buahnya, namun ada kilatan geli yang tersembunyi di dalamnya.
Letta, yang sudah mempersiapkan diri untuk skenario lain, sedikit terkejut dengan reaksi Tomy yang meledak-ledak.
"Sudah, Tom, dia kan tidak sengaja," ucap Letta, mencoba menenangkan.
"gue ke toilet dulu deh, mau bersihin ini biar tidak lengket." Ia bangkit dari kursi, tatapannya menyiratkan kekesalan dan sedikit frustrasi, namun ia berusaha menyembunyikannya.
Begitu Letta melesat ke toilet, Tomy memanfaatkan kesempatan emas itu. Dengan gerakan secepat kilat yang nyaris tak terlihat, ia menukar gelas minumannya dengan gelas minuman Letta yang masih tersisa di meja.
Ia memastikan tidak ada yang melihat aksinya, terutama dari CCTV yang sudah diretas Steven.
Tak lama kemudian, Letta kembali dari toilet.
Wajahnya terlihat sedikit kesal, namun ia berusaha menutupinya dengan senyum misterius.
Ia kembali duduk, dan tanpa curiga, langsung meraih gelas minuman yang kini sudah bertukar itu. Ia meneguknya perlahan.
Beberapa menit berlalu. Tomy, yang sejak tadi mengamati Letta dengan tajam, kini mulai melancarkan aktingnya. Ia memejamkan mata, wajahnya memerah, napasnya mulai memberat.
"Panas... panas sekali..." erangnya, suaranya dibuat seolah-olah menahan gairah yang meluap. Tangannya bergerak gelisah, seolah berusaha melepas kemejanya.
Melihat reaksi Tomy yang semakin intens, senyum kemenangan terukir lebar di bibir Letta.
Matanya berbinar licik, puas karena rencananya berjalan sempurna. Ia mendekat, meraih tangan Tomy yang gemetar, dan dengan lembut membimbingnya.
"Sudah, Tom, biar aku bantu. Kita ke hotel sekarang," bisiknya penuh godaan, suaranya serak dan menggoda.
Mereka pun bergegas menuju sebuah hotel mewah tak jauh dari sana. Sesampainya di kamar suite yang sudah dipesan Letta, suasana terasa semakin panas.
Tomy terus melanjutkan aktingnya, membiarkan Letta mengira ia sedang "bereaksi" sepenuhnya. Ia bahkan membiarkan dirinya dituntun ke ranjang, seolah tak berdaya menahan efek obat yang ia yakini sudah masuk ke tubuh Tomy.
Tiba tiba Letta merasakan hal yang sama,ia seakan akan kepanasan,ia meliuk liuk.
Namun, di tengah-tengah "panas" yang memuncak itu, tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari pintu kamar hotel. Tok... tok... tok.
Tomy, dengan suara yang dibuat serak dan terengah-engah, berbisik di telinga Letta, "Bentar ya, gue buka pintu dulu,Kamu... kamu siap-siap." Bisikannya itu justru menambah gairah Letta, yang mengira Tomy sudah sangat tidak sabar dan ingin cepat-cepat melanjutkan.
Dengan gerakan yang terasa lambat bagi Letta namun sebenarnya sangat cepat dan terencana,
Tomy membuka pintu kamar. Di balik pintu, seorang anak buahnya sudah menunggu dengan pakaian yang mirip dengan yang dikenakan Tomy.
Dalam hitungan detik yang hampir tidak disadari Letta, Tomy dan anak buahnya bertukar posisi.
Anak buah Tomy, yang memiliki perawakan mirip, dengan cepat masuk ke dalam kamar, sementara Tomy keluar, menutup pintu perlahan.
Sebelum pergi, Tomy sempat membisikkan instruksi terakhir kepada anak buahnya yang kini berada di dalam kamar: "Nikmatin sepuasmu. Ingat, pergi sebelum dia sadar dan tahu kau bukan aku." Ada seringai dingin di bibir Tomy.
Tomy pun pergi meninggalkan hotel. Langkahnya ringan, meninggalkan Letta yang kini akan menghadapi konsekuensi dari perbuatannya sendiri.
Di ruang kerja yang biasanya dipenuhi diskusi bisnis dan strategi, suasana kali ini sedikit berbeda, diselimuti aura keprihatinan.
Axel, yang duduk di kepala meja, menghela napas panjang sebelum membuka suara. Matanya menatap Rico, Mark, dan Steven satu per satu, kemudian beralih pada Bara.
"Kita harus merubah rencana untuk nanti malam," Axel memulai obrolan, suaranya terdengar berat dan tegas.
Ia menatap teman-temannya dengan sorot mata serius.
"Rasanya Rara tidak mungkin bisa ikut hadir." Kekhawatiran terpancar jelas di wajahnya, bayangan Rara yang pingsan dan mual masih melekat kuat di benaknya.
"Aku sangat khawatir terjadi sesuatu dengan kandungannya jika dia memaksakan diri." Ada nada protektif yang kuat dalam ucapannya, sebuah prioritas baru telah muncul dalam hidupnya.
Mendengar kekhawatiran Axel, Bara mengangguk paham. Ia tahu betul betapa pentingnya kesehatan Rara saat ini.
"Kalau begitu, mending gue tidak ikut deh," ucap Bara, nadanya mantap.
"Aku akan jaga-jaga di sini. Lagipula, ada banyak hal yang perlu diurus di rumah, dan Rara butuh seseorang yang bisa diandalkan." Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya, menunjukkan kesediaannya untuk membantu.
Axel menatap Bara, sedikit terkejut namun juga merasa lega.
"Kamu yakin tidak apa-apa kalau tidak ikut, Bar?" tanya Axel, memastikan.
Ia tahu betapa pentingnya acara malam itu bagi mereka semua.
Bara terkekeh pelan, mengibaskan tangannya. "Benar, xel. Lagipula, jujur saja... gue agak malas kalau harus bertemu dengan kakakku di acara seperti itu," jawab Bara, nada suaranya sedikit berubah, menyimpan sedikit ketegangan yang hanya mereka berdua pahami.
Ada sejarah rumit yang belum terungkap di balik kata-katanya.
Rico, Mark, dan Steven mengangguk, menyetujui keputusan Axel dan Bara. Mereka memahami prioritas Axel dan alasan Bara.
Tidak ada yang membantah. Keselamatan Rara dan rencana yang strategis adalah yang utama.
Setelah dirasa tidak ada lagi hal penting yang perlu dibicarakan dan semua rencana telah disesuaikan, pertemuan mereka pun bubar. Bara bangkit, berpamitan untuk pulang sebentar. "Nanti sore aku kembali lagi," ujarnya, sebelum melangkah keluar dari ruangan.
Sementara itu, Axel langsung masuk kembali ke kamar untuk menjenguk Rara, hatinya dipenuhi campuran kelegaan dan harap.
Begitupun Rico, Mark, dan Steven, mereka berpencar, masing-masing kembali ke aktivitas atau persiapan pribadi mereka, mempersiapkan diri untuk malam yang mungkin akan penuh kejutan.
Di ruang kendali sementara yang telah disiapkan, Steven dengan cekatan memeriksa rekaman CCTV restoran.
Jari-jemarinya menari di atas keyboard, mempercepat dan memutar ulang bagian-bagian penting. Setiap ekspresi Letta, setiap gerakannya yang mencurigakan, semua terekam jelas di layar besar di hadapan mereka.
"Benar kan dugaan gue," desis Rico, matanya menyipit tajam melihat adegan Letta yang memasukkan bubuk ke dalam minuman. "Pasti dia memang mau menjebak Tomy." Rico segera meraih handphone-nya. Ada panggilan tak terjawab dari nomor Tomy, menandakan bahwa situasi sudah berjalan sesuai rencana.
Ia segera menelepon balik Tomy. Deru nada sambung terasa panjang.
"Halo, Tom? Gimana tadi? Lancar semua?" tanya Rico, suaranya dipenuhi nada tegang yang tak bisa ia sembunyikan.
Matanya tak lepas dari layar CCTV, mengikuti setiap pergerakan Tomy yang kini sudah berada di luar restoran.
"Lancar, Tuan," lapor Tomy, suaranya terdengar tenang, bahkan ada sedikit nada geli. "Mungkin sekarang dia baru sadar siapa yang sebenarnya dia hadapi." Tomy terdengar puas, kemenangan jelas ada di pihaknya.
"Oke, bagus," respons Rico, menghela napas lega. "Kamu waspada terus, jangan sampai terpengaruh. Terus awasi dari jauh, jangan sampai ada celah yang dia manfaatkan." Perintah tegas Rico mengalir, mengingatkan Tomy untuk tidak lengah sedikit pun.
Meskipun Tomy telah berhasil, Letta tetaplah wanita yang berbahaya.
"Siap, Tuan!" jawab Tomy dengan mantap.
Rico beralih ke pertanyaan lain, yang tak kalah penting. "Oh, ya, markas aman? Transaksi juga lancar?" tanyanya, memastikan semua aspek operasional juga berjalan mulus.
"Aman, Tuan. Transaksi juga lancar terkendali," jawab Tomy, melaporkan keberhasilan mereka di dua front sekaligus.
"Oke. Kabari kalau ada apa-apa, sekecil apa pun," perintah Rico lagi, menekankan pentingnya komunikasi.
"Baik, Tuan." Sambungan telepon pun terputus. Rico menghela napas panjang, sedikit ketegangan mereda dari bahunya. Mereka telah berhasil.
Axel, yang sejak tadi memdengarkan dibalik pintu,hanya diam menyimak percakapan, kini bangkit dari kursinya. Langkahnya perlahan menaiki tangga menuju kamar.
Ia melangkah dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara yang bisa mengganggu Rara. Perlahan, ia membuka pintu kamar yang sedikit terbuka. Cahaya temaram dari lampu tidur menyinari ruangan. Ia melihat Maya duduk setia di samping Rara, yang terlelap pulas. Sebuah selimut menutupi tubuh Rara hingga dada, wajahnya masih sedikit pucat, namun napasnya teratur.
Axel mendekat, tatapannya penuh perhatian pada Rara. Ia tahu Maya pasti sangat lelah karena menjaga Rara. Dengan sangat lembut, Axel membangunkan Maya.
"May, bangun," bisik Axel, suaranya pelan dan penuh pengertian, tak ingin membangunkan Rara. Ia menepuk pelan bahu Maya. "Kamu bisa keluar sekarang, biar Rara istirahat total, dan kamu juga perlu istirahat."
Maya, yang terbangun dari tidurnya, dengan cepat mengucek matanya. Ia berdiri, sedikit canggung karena tertangkap basah tertidur.
"Maaf, Tuan, saya ketiduran," ucap Maya, suaranya serak khas orang baru bangun tidur. Tanpa menunggu jawaban, ia segera melangkah pergi, menuju kamarnya sendiri, memberikan privasi penuh kepada pasangan itu.
Axel menatap kepergian Maya sejenak, kemudian perhatiannya kembali tertuju pada Rara. Ia tersenyum lembut, lalu perlahan membungkuk, menempelkan bibirnya di perut rata Rara yang masih tersembunyi sebuah kehidupan.
"Sehat-sehat ya, junior," monolog Axel dalam hati, bisikannya begitu lembut, penuh harap dan kasih sayang yang mendalam. Sebuah sentuhan yang penuh janji.
Rara yang terlelap pulas, sedikit menggeliat terganggu oleh sentuhan dan bisikan Axel. Kelopak matanya perlahan terbuka, menatap Axel dengan pandangan masih sedikit mengantuk.
Axel tersenyum meminta maaf. "Maaf ya, sayang, terganggu ya?" tanyanya, suaranya melembut, mengelus rambut Rara perlahan.
Rara menggeleng pelan. "Enggak, Maz," jawabnya, suaranya masih sedikit parau. "Rara haus, pengen minum." Tenggorokannya terasa kering, dan rasa tidak nyaman di perutnya masih sedikit terasa.
Axel segera beranjak. Matanya melirik ke meja nakas, melihat ada air putih dan air jahe yang tadi disiapkan.
"Air putih apa air jahe, sayang?" tanyanya, menawarkan pilihan dengan penuh perhatian.
Rara memejamkan mata sejenak, membayangkan rasa air putih yang mungkin akan memicu mualnya lagi.
"Jahe saja, Maz," ucapnya, suaranya lemah. "Takut muntah lagi kalau air putih." Ia masih trauma dengan kejadian pingsan dan muntah-muntah sebelumnya.
Axel mengangguk paham, hatinya terenyuh melihat kondisi Rara. Ia segera meraih gelas berisi air jahe hangat, siap untuk menyuapi istrinya.
Di sebuah kamar hotel yang mewah namun kini terasa hampa, Letta terbangun dengan kepala berdenyut dan seluruh tubuh terasa remuk.
Ia merasakan sakit dan perih yang menjalar di sekujur tubuhnya. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan; tidak ada siapa-siapa di sana, hanya kekosongan yang menyergap.
Bayangan kejadian tadi, yang termasuk dalam skenarionya. kini terasa pahit, tetapi tidak ada penyesalan dihatinya walau harus merelakan kegadisan nya.
Sebuah senyum getir terukir di bibirnya. "Kurelakan keperawanan ku yang selama ini aku jaga," monolog Letta dalam hati, suaranya terdengar hampa di benaknya.
"Demi bisa merebut semua yang menjadi milik Rara. Akan aku rebut segalanya dari dia!" Obsesi dan dendam membakar relung hatinya, melupakan rasa sakit fisik yang mendera.
Dengan susah payah, ia mencoba bangkit, kakinya tertatih-tatih, merasakan perih di setiap langkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, mencoba menghapus jejak yang memalukan itu.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Axel, yang sejak tadi setia menemani Rara yang terlelap, perlahan-lahan mengelus rambut istrinya yang lembut. Ia tahu Rara butuh energi.
"Sayang, bangun. Yuk, makan dulu," ajak Axel, suaranya pelan dan penuh kelembutan, tidak ingin membuat Rara terkejut.
Rara menggeliat kecil, perlahan membuka matanya. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya. "Iya, Maz," jawabnya, suaranya masih sedikit serak.
Dengan dibantu Axel, Rara bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan tertatih menuju wastafel di kamar mandi untuk mencuci muka. Axel dengan setia menunggu di depan pintu kamar mandi, memastikan Rara baik-baik saja, siap membantu kapan pun dibutuhkan.
Setelah Rara merasa sedikit segar dan lebih baik, mereka berdua turun bersama menuju ruang makan. Di sana, Maya, Rico, Mark, dan Steven sudah menunggu, wajah mereka menunjukkan sedikit kekhawatiran yang tersamarkan.
"Maaf ya, nunggu lama," ucap Rara, merasa tidak enak karena telah membuat mereka semua menunggu.
Maya tersenyum hangat, menenangkan. "Tidak apa-apa, Ra. Kita juga belum terlalu lapar kok," balas Maya, meskipun perutnya sudah keroncongan.
Mereka mulai menyantap makan malam dengan lahap. hanya ditemani dentingan sendok,
Rara. Ia hanya membolak-balik makanannya di piring. Matanya lesu, dan nafsu makannya benar-benar hilang.
Rasa mual yang masih sesekali datang dan kelelahan membuatnya tidak selera makan sama sekali. Axel meliriknya dengan cemas, tangannya menggapai tangan Rara, menggenggamnya erat, memberikan kekuatan dan dukungan tanpa kata.
Makan malam terhampar di meja, aneka hidangan menggoda aroma, namun Rara hanya menatap hidangan itu dengan tatapan kosong.
Ia tidak berselera, seolah nafsu makannya menguap entah ke mana.
Axel, dengan cermat memperhatikan gelagatnya, mengerutkan kening.
"Sayang, kenapa kamu tidak makan?" tanyanya, nada suaranya lembut namun tersirat kekhawatiran.
Rara menggeleng pelan, seulas senyum tipis terukir di bibirnya.
"Rara tidak ingin makan, Rara hanya ingin minum susu saja," jawabnya, suaranya sedikit merengek.
Maya, yang duduk di seberang, langsung menyahut dengan antusiasme yang sama besarnya dengan kecintaannya pada anak-anak.
"Rara mau susu apa? Biar Kak Maya bikinkan?" tawarnya, siap beranjak.
"Rara ingin susu yang buat bumil, rasa cokelat ya, Kak," pinta Rara, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan permen.
Seolah semesta mengamini permintaan Rara.
Bara yang tiba tiba muncul membawa susu untuk bumil Tanpa diminta, ia berinisiatif membawakan susu khusus ibu hamil itu.
maya mengambil kantong yang berisi susu itu kemudian menuju dapur.Tak lama kemudian,Maya kembali membawa segelas susu cokelat yang mengepulkan aroma manis.
Mata Rara sontak melebar, berbinar terang melihat begitu banyaknya susu yang ia inginkan. Senyumnya merekah lebar, memenuhi wajah mungilnya.
Tanpa menunda sedetik pun, ia melesat dari kursinya, melompat kecil, dan langsung memeluk Bara dan mengucapkan terima kasih.
Di sisi meja, rahang Axel mengeras, tatapannya membeku. Pemandangan istrinya yang tiba-tiba memeluk pria lain, tepat di hadapannya, bagaikan tusukan dingin yang menembus jantungnya.
Otot-otot di sekitar rahangnya berkedut menahan emosi yang bergolak.
Sebuah kilatan amarah dan kecemburuan melintas di matanya, nyaris tak terkendali.
Mark, yang duduk di sebelahnya, menyadari perubahan drastis pada ekspresi Axel. Ia langsung memberi kode kepada Axel dengan tatapan penuh peringatan, sebuah isyarat agar pria itu menahan diri.
Maya, yang juga menangkap suasana tegang itu, cepat tanggap. Dengan halus, ia langsung membawa Rara kembali ke kursinya, berusaha mengalihkan perhatian Rara dari pelukan yang mungkin terasa begitu polos baginya, namun menyulut api cemburu di hati Axel.
Rara, yang masih terlalu larut dalam kebahagiaannya mendapatkan susu kesukaan, belum sepenuhnya menyadari bahwa suaminya, Axel, kini sedang dalam mode cemburu yang paling intens, dan suasana di sekeliling mereka baru saja berubah menjadi lebih pekat..
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu