Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
THEODORE SMITH
Pagi itu, Theo langsung menuju perusahaan. Suasana kantor WS. Corporation seperti biasa dipenuhi lalu-lalang para karyawan dengan setelan rapi dan wajah serius. Namun, atmosfer mendadak berubah ketika langkah santai seorang pria berusia tiga puluh tahun melintasi koridor utama. Senyum miring terpatri di wajahnya, sementara tatapan nakalnya menjelajah setiap sudut—lebih tepatnya, setiap lekuk tubuh yang melintas di hadapannya.
Theodore Smith. Pewaris tunggal WS. Corporation sekaligus sumber skandal terbanyak yang pernah dimiliki perusahaan itu. Hampir setiap malamnya berakhir di ranjang yang berbeda. Tak jarang—bahkan sering—sekretaris-sekretaris cantik harus kehilangan pekerjaan karena dianggap “terlalu dekat” dengannya. Ayahnya, William Smith, sudah tak terhitung berapa kali mengusir wanita dari kantor akibat ulah putra semata wayangnya itu.
Dengan satu tangan di saku dan kacamata hitam bergaya santai menggantung di kerah kemeja, Theo akhirnya tiba di depan ruangannya. Namun langkahnya terhenti ketika mendapati seorang pria asing berdiri tegap di ambang pintu, seolah telah lama menunggunya.
Theo mengangkat alis, menatap pria itu dari ujung rambut hingga sepatu kulitnya.
“Kau siapa?” tanyanya lugas, tanpa basa-basi.
Pria itu sedikit menundukkan kepala. Wajahnya datar, suaranya tenang namun tegas.
“Perkenalkan, saya Jimy, Tuan. Sekretaris baru Anda.”
“Sekretaris?” Theo mendengus, matanya membulat. “Lalu ke mana Lisa? Jangan bilang Daddy memecatnya juga?”
“Sepertinya begitu, Tuan,” jawab Jimy singkat, tetap tenang.
Theo mengacak rambutnya dengan kesal. “Aish! Daddy benar-benar tak pernah lelah merusak kesenanganku!”
Tanpa menunggu reaksi, Theo mendorong pintu ruangannya dan masuk dengan langkah kesal. Jimy mengikutinya dari belakang, ekspresinya tetap dingin dan profesional.
Sesampainya di dalam, Theo langsung menuju kamar pribadi kecil di sisi ruangan. Ia mengganti pakaian lamanya dengan setelan jas navy yang tampak lebih segar. Saat membuka kemeja, matanya tertumbuk pada bekas cakaran memanjang di lehernya.
“Gadis itu memang berani,” gumamnya sambil tersenyum tipis, mengenang kejadian semalam.
Namun kenangan itu tak hanya meninggalkan sensasi. Tatapan mata gadis itu—sedih, memohon, dan berkaca-kaca—terus muncul tanpa diminta. Theo menghela napas panjang, berusaha menepis rasa tak nyaman yang tiba-tiba mengusik pikirannya.
Selesai berdandan, ia berjalan menuju meja kerja. Namun sebelum sempat duduk, ia mendapati Jimy sudah berdiri di sana, memegang setumpuk dokumen.
“Tuan, seluruh dokumen ini harus segera Anda tanda tangani,” lapor Jimy sambil meletakkannya dengan rapi di atas meja.
Theo mengerjapkan mata. “Taruh saja di situ.”
“Maaf, Tuan. Ini harus diselesaikan sekarang,” jawab Jimy sopan, tapi nadanya tak memberi ruang untuk membantah.
Theo menatapnya tajam. “Kau sedang mencoba mengaturku?”
Jimy mengangguk ringan. “Ini perintah langsung dari Tuan William.”
Mendengar nama ayahnya, Theo mendecak pelan dan akhirnya duduk. Dengan wajah kesal, ia membuka satu per satu dokumen dan menandatanganinya tanpa banyak bicara.
“Pergilah. Aku malas melihat wajahmu,” omelnya.
Jimy mengangguk singkat lalu keluar tanpa sepatah kata pun.
Baru lima belas menit Theo mencoba bekerja, konsentrasinya sudah buyar. Ia bersandar di kursi, pikirannya dipenuhi wajah gadis semalam—mata sayu dan ekspresi sedih yang tak mudah dilupakan.
Dengan frustrasi, Theo meraih rambutnya sendiri.
“Kenapa aku harus merasa kasihan? Aku hanya menolongnya,” gumamnya, meski suaranya terdengar ragu.
Tak lama kemudian, ia bangkit tiba-tiba, melonggarkan dasinya, melepaskan jas, lalu meninggalkan ruangan.
Jimy yang melihatnya hanya bisa terdiam heran sebelum akhirnya menghubungi William.
“Maaf, Tuan. Tuan Theo pergi lagi,” lapornya.
Di tempat lain, William Smith tengah duduk santai bersama istrinya, Megan, sambil menyeruput kopi.
“Biarkan saja,” jawab William singkat.
Megan menoleh dengan dahi berkerut. “Theo pergi lagi?”
William berdiri dan menggeleng pelan. “Apa lagi yang bisa diharapkan dari anak itu? Disuruh mengelola perusahaan saja kerjanya main-main.”
“Jangan terlalu keras, Will. Biarkan dia menikmati masa mudanya,” ucap Megan lembut, membantu suaminya mengenakan jas.
“Itu karena kau terlalu memanjakannya,” balas William dingin. “Sekarang dia jadi pria yang tak bisa diandalkan. Satu sekretaris seminggu—”
Megan terdiam. Ia tak bisa menyangkal, meski hatinya tetap ingin melindungi anaknya.
Sementara itu, di dalam lift, Theo berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya penuh pikiran.
“Kenapa wajah gadis itu terus muncul…” gumamnya pelan.
Entah rasa bersalah, entah karena tak biasa melihat wanita yang pernah bersamanya menangis. Yang jelas, perasaan gelisah itu membuatnya ingin menemui seseorang—sahabat yang mungkin bisa mengalihkan pikirannya.
Lift berhenti di lantai dasar. Theo melangkah keluar tanpa memedulikan sapaan siapa pun.
Jimy kembali menghubungi William.
“Tuan Theo keluar dari kantor.”
William hanya menghela napas.
“Biarkan saja. Kalau dia mau belajar, dia akan kembali. Kalau tidak, biarkan dunia yang mengajarinya.”