Yan Ruyin, nama yang membuat semua orang di Kediaman Shen jijik. Wanita genit, pengkhianat, peracun… bahkan tidur dengan kakak ipar suaminya sendiri.
Sekarang, tubuh itu ditempati Yue Lan, analis data abad 21 yang tiba-tiba terbangun di dunia kuno ini, dan langsung dituduh melakukan kejahatan yang tak ia lakukan. Tidak ada yang percaya, bahkan suaminya sendiri, Shen Liang, lebih memilih menatap tembok daripada menatap wajahnya.
Tapi Yue Lan bukanlah Yan Ruyin, dan dia tidak akan diam.
Dengan akal modern dan keberanian yang dimilikinya, Yue Lan bertekad membersihkan nama Yan Ruyin, memperbaiki reputasinya, dan mengungkap siapa pelaku peracun sebenarnya.
Di tengah intrik keluarga, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Bisakah Yue Lan membalikkan nasibnya sebelum Kediaman Shen menghancurkannya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
“Hmmm, aku haus sekali!"
Suara itu keluar sangat pelan. Bahkan telinganya sendiri hampir tidak mendengarnya.
Yue Lan membuka mata dengan susah payah. Kelopak matanya terasa berat, seolah direkatkan terlalu lama. Begitu cahaya redup masuk, rasa perih langsung menyerang kepalanya.
Semua terasa sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan, sunyi yang dingin dan terlalu hening. Bau kayu tua dan lantai yang lembab memenuhi hidungnya. Udara terasa pengap, membuat dadanya sesak setiap kali menarik napas.
“Ini… bukan rumah sakit.”
Ia mencoba menggerakkan jari. Bisa. Tapi rasanya aneh. Seperti bukan miliknya sendiri.
Tenggorokannya terasa sangat kering. Bukan sekadar haus, tapi seperti ada api kecil yang membakar dari dalam. Ia menelan ludah, lalu meringis karena sakit.
“Air…” bisiknya. “Ada air?” Tidak ada jawaban.
Keheningan menekan telinganya. Terlalu sunyi untuk sebuah ruang rawat inap.
Perlahan, ingatan terakhirnya muncul. Layar komputer penuh angka. Kepala yang terasa berat. Kopi yang sudah dingin sejak dua jam lalu. Jalanan malam yang basah oleh hujan. Lampu mobil yang tiba-tiba menyilaukan mata.
Lalu semuanya terlihat gelap.
“Aku kecelakaan…” gumamnya. “Atau aku pingsan?”
Ia ingin duduk, tapi tubuhnya menolak. Kekuatan di lengannya seperti diambil habis. Nafasnya terengah hanya karena mencoba mengangkat kepala.
Saat itulah ia menyadari sesuatu. Ia tidak berbaring di ranjang. Ia berada di lantai.
Dingin dari batu merambat ke punggungnya. Yue Lan memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan diri. Sebagai analis data, ia terbiasa berpikir logis. Tenang. Terstruktur.
Tapi situasi ini tidak masuk logika mana pun.
“Tenang,” katanya pada diri sendiri. “Jangan panik dulu.”
Langkah kaki tiba-tiba terdengar. Tergesa, dan seperti orang yang panik.
“Nyonya…?”
Suara seorang gadis terdengar ragu, lalu semakin dekat.
“Nyonya?!”
Wajah seorang gadis muda muncul di hadapannya. Rambutnya sederhana, pakaiannya polos. Matanya merah dan bengkak, jelas habis menangis.
Begitu melihat Yue Lan membuka mata, gadis itu langsung berlutut.
“Syukurlah… akhirnya nyonya sadar…”
Yue Lan menatapnya lama. Kepalanya masih pusing, tapi satu hal terasa jelas.
Gadis ini tidak memanggil orang yang benar.
“Kamu salah orang,” kata Yue Lan pelan. Suaranya serak dan lemah. “Aku bukan nyonyamu.”
Gadis itu terdiam. Wajahnya memucat.
“Jangan bercanda, nyonya…” suaranya gemetar. “Ini hamba, Xiaohe.”
Yue Lan mengernyit.
“Siapa?”
“Pelayan nyonya…”
Kata itu membuat dada Yue Lan terasa berat. Pelayan?
Ia ingin tertawa, tapi tenggorokannya terlalu sakit.
“Aku haus,” katanya akhirnya. “Tolong… beri aku air.”
Xiaohe menunduk. Tangannya mengepal di pangkuannya.
“Tidak ada, nyonya…”
“Kenapa?”
"Hamba dilarang memberi Nyonya air.”
“Dilarang oleh siapa?”
Xiaohe ragu, lalu menjawab sangat pelan, seolah takut tembok ikut mendengar.
“Nyonya Shen.”
Begitu nama itu keluar, kepala Yue Lan terasa seperti dipukul dari dalam. Potongan-potongan bayangan asing bermunculan.
Seorang wanita cantik di cermin. Penampilan yang menggoda. Tawa genit. Bisikan pelayan. Tatapan jijik dari orang-orang sekitar.
Yan Ruyin. Nama itu muncul begitu saja di pikirannya. Yue Lan terengah, tangannya mencengkeram lantai batu.
“Apa yang terjadi padaku?” bisiknya.
Xiaohe menangis tanpa suara.
“Nyonya sedang menjalani hukuman…”
“Hukuman apa?”
“Dikurung.”
“Kenapa?”
Xiaohe menggigit bibir, jelas ragu.
“Karena… nyonya dituduh melakukan kejahatan.”
“Kejahatan apa?”
“Meracuni Nona Meirong.”
Yue Lan menatap langit-langit gelap itu lama sekali.
“Siapa Meirong?” tanyanya pelan.
Xiaohe terkejut.
“Nyonya…?”
“Aku sungguh tidak tahu,” Yue Lan berkata jujur. “Aku bahkan tidak ingat siapa diriku sekarang.”
Air mata Xiaohe jatuh satu per satu.
“Nyonya sudah di sini selama tiga hari,” katanya akhirnya. “Tanpa di beri makan. Dan tanpa di beri minum juga.”
“Tiga hari…”
Yue Lan mengulang kata itu pelan.
Pantas saja tubuh ini terasa seperti tak ada tenaganya.
“Aneh,” gumamnya. “Aku seharusnya sudah mati.”
“Tolong jangan berkata begitu, nyonya…” Xiaohe merangkak mendekat. “Hamba mohon…”
Yue Lan menoleh ke tangannya sendiri. Kulitnya putih, jarinya ramping. Bukan tangan yang biasa ia gunakan untuk mengetik berjam-jam.
Ini benar-benar bukan tubuhnya.
“Xiaohe,” katanya perlahan, “kalau aku mati di sini…”
Xiaohe mengangkat kepala, menahan napas.
“Apakah ada yang akan peduli?”
Xiaohe tidak menjawab. Diamnya sudah cukup sebagai jawaban.
Yue Lan memejamkan mata. Dadanya terasa sesak, bukan karena takut mati, tapi karena kesadaran yang menyakitkan.
Ia terbangun untuk melanjutkan penderitaan seseorang yang sudah lebih dulu dibenci.
“Aku tidak ingin mati tanpa tahu alasannya.”
Di balik jeruji kayu, kegelapan tetap menyelimuti. Dan untuk pertama kalinya sejak membuka mata, Yue Lan merasa, kesunyiannya lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
semangat thor jangan lupa ngopi☕️