Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 4
Akhirnya, pernikahan itu tetap terjadi.
Tanpa tawa. Tanpa harap.
Di bawah tenda yang sejak pagi berdiri megah, Sadewa dan Bianca duduk bersanding. Prosesi berjalan rapi, doa-doa dilantunkan, saksi mengangguk, dan akad diucapkan dengan suara yang terdengar mantap meski maknanya kosong.
Sadewa mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan napas. Lancar. Sah.
Tepuk tangan terdengar teratur, sopan, seperti kewajiban.
Bianca menunduk sepanjang prosesi. Senyumnya terpasang sempurna, seperti lukisan yang indah tapi tak bernyawa. Tangannya dingin ketika menerima cincin itu, jari-jarinya bergetar sesaat sebelum akhirnya diam. Matanya tak mencari Sadewa. Ia hanya menatap lantai, menahan segala yang bergejolak di dadanya.
Sadewa pun sama.
Wajahnya tenang, terlalu tenang. Tatapannya lurus ke depan, kosong. Tidak ada binar pengantin. Tidak ada kebahagiaan lelaki yang baru saja menikah. Yang ada hanyalah seorang pria yang menepati keadaan, bukan memilih kebahagiaan.
Saat doa penutup dilantunkan, Hanum menitikkan air mata bukan karena bahagia, melainkan karena lega yang pahit. Lestari memejamkan mata lama, menahan sesak yang tak bisa ia jelaskan pada siapa pun. Hendrawan menatap putrinya dengan dada remuk, sadar betul harga dari janji yang ditepati hari itu.
Dan di antara semua orang yang berdiri menyaksikan, Sadewa dan Bianca adalah dua orang paling asing di hari pernikahan mereka sendiri.
Mereka duduk bersebelahan sah sebagai suami istri namun berjauhan sejauh jarak yang tak bisa diukur.
Tidak ada cinta yang dirayakan.
Tidak ada bahagia yang dibagi.
Yang ada hanyalah dua sahabat lama yang terikat oleh keadaan, memulai pernikahan dengan diam dan luka yang sama-sama belum sembuh.
Di tempat lain jauh dari doa, dari tangis, dari pernikahan yang dipaksakan atas namanya Sarah tertawa.
Sebuah club di pinggir kota menjadi saksi. Lampu-lampu temaram, musik pelan, dan aroma wine yang memenuhi udara. Sarah duduk santai di salah satu sudut, tangannya saling bertaut dengan tangan seorang laki-laki di sebelahnya.
Laki-laki itu mencondongkan tubuh, berbisik sesuatu yang membuat Sarah tersenyum malu senyum yang tak pernah ia tunjukkan di hari-hari terakhir bersama Sadewa.
“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya laki-laki itu pelan.
Sarah mengangguk ringan. Wajahnya tenang. Tidak ada jejak wanita yang baru saja kabur dari pernikahan. Tidak ada rasa bersalah yang kentara.
“Aku capek hidup berpura-pura mencintai Sadewa yang bodoh itu,” jawabnya sambil memainkan sendok kecil di cangkirnya. “Aku ingin bebas.”
Laki-laki itu menggenggam tangannya lebih erat. “Sekarang kamu nggak perlu pura-pura.”
Sarah memajukan kepalanya untuk mencium laki-laki tersebut,bagaimana gayung bersambut laki-laki itu tidak mau kalah, bahkan tangan lelaki itu sudah ada di dalam pakaian Sarah, dengan nafas tersengal lelaki itu berbisik,"bagaimana jika kita lanjutkan di hotel." dengan senang hati Sarah menerima tawaran itu.
Di ponselnya, sebuah notifikasi masuk.
Nama Sadewa muncul di layar.
Sarah melirik sekilas… lalu membalikkan ponsel itu dia m masukkan ponselnya kedalam tas. Ia tak membacanya. Tak berniat.
“Biarkan,” gumamnya pelan. “Semua sudah selesai.”
Ia kembali tertawa, kembali bermesraan, sementara di tempat lain di bawah nama dan wajahnya dua orang sahabat mengucap janji suci tanpa cinta, menanggung kekacauan yang ia tinggalkan tanpa menoleh ke belakang.
Dan hari itu, takdir memperlihatkan wajahnya yang paling kejam yang ditinggalkan hancur, yang meninggalkan justru bahagia bersama lelaki lain.
Bisik-bisik itu akhirnya tak bisa dibendung.
Di antara para tamu yang masih bertahan, spekulasi mulai beredar lirih namun tajam. Tatapan-tatapan saling bertukar makna, suara diturunkan setengah berbisik tentang pengantin perempuan yang tak pernah muncul, tentang Bianca yang tiba-tiba duduk di pelaminan.
Beberapa menduga.
Beberapa mengira.
Beberapa sudah menyimpulkan sendiri.
Namun pesta tetap berjalan.
Di pelaminan, Bianca berdiri dengan kebaya pengantin yang kini sah melekat padanya status yang bahkan belum sepenuhnya ia cerna. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seorang pengantin baru. Senyum tipisnya terpasang rapi, seperti perisai.
Hanum mendekat.
Tanpa peduli pada pandangan orang-orang, Hanum memeluk Bianca erat. Pelukan seorang ibu hangat, kuat, penuh rasa memiliki. Tangannya mengusap punggung Bianca berulang kali, seolah menenangkan, seolah berterima kasih, seolah meminta maaf atas segalanya.
“Maafkan Mama ya sayang,” bisiknya lirih di telinga Bianca. “Dan… terima kasih sudah mengabulkan permintaan mama.”
Bianca terdiam. Tubuhnya kaku sejenak sebelum akhirnya membalas pelukan itu, perlahan. Dadanya terasa sesak oleh emosi yang bertabrakan keikhlasan, keterpaksaan, dan rasa sayang yang terlalu lama ia simpan.
Hanum melepas pelukan itu sambil menatap wajah Bianca penuh haru. Di mata wanita itu, tidak ada penyesalan. Yang ada hanya keyakinan yang akhirnya terwujud.
“Inilah yang Mama impikan sejak lama,” ucap Hanum dengan suara bergetar namun mantap. “Menjadikan kamu bagian dari keluarga ini.”
Bianca menunduk sopan, menelan getir yang mengendap di tenggorokan. Ia kini adalah menantu bukan karena cinta yang dirayakan, melainkan karena takdir yang memaksa.
Di sampingnya, Sadewa berdiri diam. Tatapannya lurus ke depan, rahangnya mengeras. Ia menyadari satu hal pahit hari itu ibunya mendapatkan mimpi yang terwujud,
sementara ia dan Bianca harus belajar hidup dengan mimpi yang tak pernah mereka pilih.
Dan di tengah pesta yang terus berjalan, dua sahabat lama itu resmi menjadi keluarga dengan perasaan yang masih tertinggal jauh di belakang.
Sesaat setelah prosesi selesai, Sadewa berbalik.
Tanpa kata. Tanpa pamit.
Ia melangkah turun dari pelaminan, melewati barisan kursi tamu yang masih dipenuhi bisik-bisik dan tatapan penasaran. Langkahnya cepat, kaku, seolah setiap detik di tempat itu terasa menyesakkan.
Bianca berdiri terpaku.
Matanya mengikuti punggung Sadewa yang menjauh, hingga sosok itu menghilang di balik keramaian. Ada sesuatu yang runtuh di dadanya pelan, tapi menyakitkan. Ia tidak memanggil. Tidak menahan. Ia hanya menatap, menerima kenyataan dengan diam.
Pelukan lembut tiba-tiba mengurung bahunya.
Lestari.
Ibu itu memeluk Bianca dari samping, menahan putrinya yang kini berdiri sebagai istri orang namun sendirian di hari pernikahannya.
“Maafkan Mama…” bisik Lestari, suaranya pecah. “Karena janji Mama di masa lalu… kamu harus mengorbankan hidupmu hari ini.”
Bianca menutup mata. Napasnya bergetar. Namun bibirnya tetap tersenyum kecil senyum yang tak lagi untuk tamu, melainkan untuk ibunya.
“Tidak apa-apa, Ma,” ucapnya pelan. “Bianca baik-baik saja.”
Kalimat itu terdengar seperti penghiburan, bukan kejujuran.
Lestari menangis dalam diam. Ia tahu betul putrinya selalu kuat, selalu mengalah, selalu memilih diam demi orang lain. Dan hari itu, kekuatan itu menjadi harga yang terlalu mahal.
Di depan mereka, pesta terus berjalan.
Di belakang mereka, seorang pengantin laki-laki memilih pergi.
Dan di tengah semua itu, Bianca berdiri sendirian memulai peran barunya dengan hati yang masih belajar menerima luka.