"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. Tidak Sengaja Berciuman
Kapal-kapal nelayan berlabuh satu per satu di Pelabuhan Mareluna, membawa hasil tangkapan pagi yang berlimpah. Suara mesin kapal yang menggeram, teriakan para nelayan yang saling menyapa, dan dentuman kotak ikan yang diturunkan ke dermaga menciptakan simfoni kekacauan yang akrab. Aroma amis yang tajam bercampur dengan bau garam dan solar memenuhi udara.
Rafael baru saja turun dari kapalnya pukul tujuh pagi. Tangkapannya hari ini bahkan lebih baik dari hari sebelumnya, sebuah berkah yang biasanya akan membuatnya bersemangat memimpin pelelangan, menjual hasil laut segar kepada pembeli dari kota dengan teriakan dan tawar-menawar yang lantang.
Tapi hari ini berbeda.
Dia hanya duduk di sebuah bollard kayu, memandang laut lepas yang mulai tenang setelah semalam diguncang ombak. Teman-temannya yang lewat dengan riang menepuk bahunya, tetapi Rafael hanya membalas dengan anggukan hampa. Bahkan ketika seorang kawannya tak sengaja menabraknya, dia tetap diam bagai patung.
*Bollard : tiang pendek dan kuat yang biasanya terbuat dari baja/besi/kayu, dipasang di pelabuhan atau di tepi dermaga untuk mengikat tali kapal
Marco yang mengamatinya dari kejauhan menggeleng heran. Rafael biasanya adalah jiwa di tengah keramaian ini. Kegalauan yang menyelimuti pria pelaut itu terasa asing.
Di benak Rafael, hanya ada satu hal yang berputar-putar selama seminggu terakhir. Kecelakaan di dapur malam itu. Bayangan bibir Serafina yang lembut dan hangat menyentuh miliknya, bahkan hanya sesaat, membuat dadanya sesak.
Daripada bahagia, pikirannya justru terjebak pada kekhawatiran yang menggelikan. Apa aku bau ikan saat itu? Apakah dia jijik?
Perasaan campur aduk itu akhirnya meledak. Tanpa sadar, Rafael berdiri dan berteriak kencang ke arah laut.
“AAARGH!”
Suaranya yang dalam dan keras memecah kesibukan pagi, membuat kawanan burung camar beterbangan dan semua orang di sekitarnya terkejut, menatapnya dengan pandangan campur aduk antara kaget dan kesal.
Rafael tersadar. Wajahnya memerah. Dia mengacak-acak rambut pirangnya yang sudah berantakan.
“Scusa! Aku ... aku...!”
*Maaf
“GILA KAU, RAF! KAMI KIRA KAPAL TENGGELAM!”
“DASAR BOCAH ANEH!” sambung yang lain, sambil melemparkan gulungan tali ke arahnya. Tali itu meluncur seperti ular laut dan nyaris mengenai kepala Rafael.
“KAU MAU BUNUH AKU SEKALIAN?!” Rafael berseru panik, berlari mundur sambil menutupi kepala.
“BUNUH? KAU SUDAH BUNUH PENDENGARAN KAMI BARUSAN!” celetuk Marco, membuat semuanya tertawa makin keras.
“SUARA KAU, RAF, BISA BIKIN IKAN-IKAN KABUR KE TENGAH LAUT!”
“BURUNG CAMAR AJA TRAUMA!”
Teman-temannya yang sudah kesal tidak melewatkan kesempatan. Mereka mengejarnya, dan tak lama kemudian, Rafael terkepung dan ‘dihajar’ dengan pukulan-pukulan playfull yang tak terlalu sakit sebagai hukuman karena membuat mereka kaget.
...🌊🌊🌊...
Di pasar dekat pelabuhan, Marco berjalan bersama Giada. Gadis itu memakai gaun linen panjang berwarna krem yang jatuh elegan hingga ke lutut, dengan lengan panjang. Rambut pirangnya yang tebal dikepang rapi ke satu sisi, poninya tertata sempurna.
Marco, yang tadi hanya memakai tanktop hitam ketat dan celana cargo, kini telah mengenakan kemeja kotak-kotak merah yang tidak dikancingkan, menutupi sebagian tubuhnya yang kekar.
Giada merangkul lengannya dengan manja. Marco lalu merogoh saku celananya, mengambil dompet kulit usang, dan mengulurkan beberapa lembar uang kepada Giada.
“Tidak perlu, Marco,” tolak Giada, melepaskan pelukannya. “Lakukan hal-hal seperti ini nanti setelah kita menikah.”
Marco tidak menyerah. Dengan gerakan cepat, dia sedikit menaikkan gaun Giada dan menyelipkan uang itu ke dalam saku hot pants jeans yang dikenakan Giada di dalamnya.
Giada terkekeh geli, pipinya memerah. “Mesum!”
“Dengan calon istri, ini namanya latihan romantis,” balas Marco, matanya berbinar.
Giada hanya bisa menggeleng, tergelitik oleh cara romantis Marco yang khas. Marco tiba-tiba memandangi bibirnya.
“Bibirmu sangat berkilau hari ini.”
“Ini lip tint yang kita beli bersama di pasar malam minggu lalu. Membuatnya terasa lembab,” jawab Giada.
Marco mendekat, berbisik dengan suara serak, “boleh aku mencicipinya?”
Giada pura-pura memalingkan wajah, malu. Tapi Marco menariknya dengan lembut ke sebuah gang sempit di antara dua toko. Di sana, tersembunyi dari keramaian, Marco ‘menghajar’ Giada dengan ciuman yang dalam dan penuh hasrat. Tangannya merangkul erat pinggang Giada, mendekatkannya padanya, sementara Giada membalasnya dengan intensitas yang sama, jari-jarinya terangkai di rambut Marco. Suara desahan dan erangan kecil mereka tenggelam dalam kesunyian gang.
Setelah beberapa saat, mereka berpisah, napas terengah-engah.
“Aku ingin membelikanmu sesuatu yang berwarna merah,” ucap Marco, masih berusaha menenangkan napas.
“Lipstik? Aku sudah punya banyak,” bantah Giada.
“Bukan. Mungkin ... underwear?” goda Marco.
Giada memukul lengan Marco yang berotot, yang sama sekali tidak bergeming. “Sciocco!” kesalnya.
...🌊🌊🌊...
Di rumah Nonna Livia, suasana lebih tenang. Serafina duduk di kursi kecil balkon, melukis pemandangan laut dari ketinggian. Dia mengenakan gaun musim panas yang indah, angin laut menerbangkan ujung roknya. Elio dengan setia mendampingi, bertugas menuangkan cat ke palet sesuai permintaan Sera.
Saat Serafina menoleh ke arah laut, Elio mencuri pandang. Tatapannya penuh kekaguman dan sesuatu yang lebih dalam, yang cepat-cepat dia sembunyikan ketika Serafina kembali fokus.
“Aku haus,” ucap Serafina.
Elio mengambilkan air.
“Aku ingin camilan.”
Elio menyuapinya potongan bolu gulung berisi selai stroberi, sementara Serafina asyik mencampur warna biru dan hijau untuk lautnya.
Setelah lelah, Serafina membaringkan diri di atas karpet anyaman, menatap langit biru tak berawan di siang bolong.
“Berbaringlah di sofa atau kasur, Signorina,” pinta Elio.
“Tidak. Aku bukan lagi putri keluarga besar. Aku harus membiasakan diri seperti warga desa lainnya,” bantah Serafina.
Elio tampak kesal. “Kau harus tetap berperilaku seperti sebelumnya. Siapa tahu Signore Romano akan membawamu kembali. Kau adalah satu-satunya anaknya.”
“Dia bisa menikah lagi dengan wanita muda untuk mendapatkan pewaris yang ‘suci’,” sanggah Serafina, suaranya pahit. “Dia butuh keturunan dari darah yang murni, bukan darah haram dari hubungan terlarang dengan seorang cameriera murahan.”
Elio menarik napas dalam, berusaha tenang. “Sebutlah Mamma-mu dengan hormat.”
“Untuk apa? Memuja seorang wanita yang melahirkanku hanya untuk kemudian menyerahkanku pada majikannya? Dia memberiku harapan palsu dan kemudian menjatuhkanku saat kebenaran terungkap.” Mata Serafina berkaca-kaca. “Aku masih ingat wajah kecewa ... Papà.”
Elio mencoba menenangkannya. “Ayo kita ke padang rumput. Duduk di gazebo sana sambil mendengarkan musik, pasti akan menenangkan.”
Serafina menggeleng keras. “Tidak. Aku tidak ingin bertemu Rafael.”
Elio mendelik. “Jadi itu sebabnya kau mengurung diri di rumah selama seminggu? Kau tidak jenuh? Atau kau ingin jadi gadis berkerangka rapuh seperti nenek-nenek?”
Serafina akhirnya jujur. “Pernahkah kau ingat terakhir kali kita keluar rumah? Setelah festival, dan kita menginap di rumah Keluarga De Luca.”
“Tentu. Lalu?”
“Di rumah itu ... terjadi sebuah insiden. Itulah mengapa aku tidak mau keluar.”
Elio langsung siaga. “Apa penyebabnya adalah Rafael?”
Serafina mengangguk pelan.
Elio berdiri mendadak. “Apa yang dia lakukan padamu?!” bentaknya, suaranya menggelegar.
Serafina bangkit dan duduk di sofa. “Kami ... tidak sengaja berciuman. Aku terjatuh ke arahnya.”
Elio tertawa, tapi itu adalah tawa yang pahit dan tak percaya. “Tidak sengaja? Pasti dia yang menggoda dan memanfaatkanmu!”
“Bukan! Aku yang salah. Dia hanya sedang duduk dengan mata terpejam. Aku tersandung!” Serafina membela.
“Lalu kenapa dia duduk di situ sembarangan?!” Elio masih bersikeras menyalahkan Rafael.
Serafina menghela napas panjang, frustasi dengan sikap posesif pengawalnya. “Elio, ingatlah. Kau hanyalah pengawalku. Jangan berlebihan mengatur kehidupanku.”
Dia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan. Elio otomatis mengikutinya.
“Jika kau terus mengikutiku seperti ini,” kata Serafina tanpa menoleh, “aku tidak akan bicara lagi denganmu. Aku perlu memikirkan sesuatu yang penting. Tentang aku ... dan Rafael.”
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Elio, suaranya tegang.
“Jantungku berdebar kencang setiap mengingatnya, sudah seminggu ini,” aku Serafina.
Elio berhenti mendadak. Wajahnya pucat. “Jangan-jangan kau mau—”
Nada suaranya yang panik dan penuh ketakutan menggantung di udara, menyisakan pertanyaan yang membuat hati Elio seperti diremas. Apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh nona mudanya?
...🌊🌊🌊...
Rafael bertanya lagi, “kapan kau berencana pulang ke kota?”