Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perisai untuk maya...
Raungan mesin motor butut Dion membelah keheningan malam di jalanan industri Kota Cakra Manggala. Arya mencengkeram erat jaket Dion, menahan rasa sakit luar biasa yang menjalari lengan dan kakinya. Darah panas terus merembes dari luka robek akibat kawat berduri.
Dion: (Berteriak melawan angin, suaranya pecah karena panik) "Arya! Kau masih di sana?! Punggungku basah! Ini... ini darahmu! Kita mau ke mana?!"
Arya: (Menggertakkan gigi, menahan teriakannya) "Terus jalan! Jangan berhenti! Jangan ke rumahku, mereka pasti akan ke sana. Bawa aku ke bengkelmu, Bengkel Sinar Harapan! Cepat!"
Dion: "Bengkelku?! Kau mau membawa masalah ini ke tempat usaha keluargaku?! Kau sudah gila!"
Arya: "Itu satu-satunya tempat yang tidak mereka ketahui! Bargas... dia mengancam Maya!" Suara Arya tercekat, ingatan akan ancaman Bargas si Algojo membakar jiwanya. "Kau dan gadismu tidak akan hidup sampai besok!"
Arya: "Kita tidak punya waktu, Dion! Tancap gas!"
Dion tidak membantah lagi. Ia membelok tajam ke gang-gang kecil, menghindari jalan utama, dan akhirnya berhenti mendadak di depan pintu rolling door besar yang kusam bertuliskan "Bengkel Sinar Harapan".
Arya mencoba turun, tapi pergelangan kakinya yang terkilir tidak mampu menahan beban. Ia jatuh berlutut di aspal yang dingin.
Dion: "Sial, Arya!"
Dion melompat turun, dengan tangan gemetar ia membuka gembok dan menarik rolling door itu. Suara logam berdecit nyaring, memekakkan telinga di keheningan malam.
Arya: "Bantu aku masuk. Cepat!"
Dion memapah Arya, menyeretnya melewati ambang pintu. Begitu mereka masuk, Dion segera menutup kembali rolling door itu.
BAM!
Suara pintu baja yang menghantam lantai beton terasa seperti penutup peti mati. Mereka aman. Untuk saat ini.
Keheningan total menyelimuti mereka, hanya terganggu oleh napas Arya yang terengah-engah kesakitan. Dion menyalakan satu lampu neon di tengah bengkel. Ruangan itu langsung diterangi cahaya putih yang dingin, memperlihatkan tumpukan ban bekas, mesin-mesin yang dibongkar, dan bau oli yang menyengat.
Dion: (Menatap Arya dengan ngeri) "Astaga, Ary... Lihat dirimu. Jaketmu robek, dan darah itu... Kau benar-benar melawan mereka?"
Arya mengabaikannya. Ia bersandar di tumpukan ban bekas, wajahnya pucat pasi karena kehilangan darah.
Arya: "P3K. Di mana kotak P3K-mu?"
Dion: "Di laci meja kasir. Tapi lukamu itu butuh rumah sakit, bukan plester!"
Arya: "Tidak ada waktu untuk rumah sakit. Ambilkan!"
Dion berlari mengambil kotak P3K. Arya, dengan tangan gemetar, membuka jaket Parade Malam-nya yang hancur. Ia menarik keluar 'Daftar Hitam'. Buku tebal bersampul kulit itu kini kaku dan basah, ternoda oleh darahnya sendiri.
Mata Dion membelalak melihat buku itu.
Dion: "Itu... itu yang mereka cari? 'Daftar Hitam'?"
Arya: (Menatap buku itu dengan benci) "Senjata untuk menghancurkan mereka. Tapi sekarang, ini adalah target di punggung Maya."
Arya meraih ponsel lamanya, jarinya gemetar karena sakit dan amarah. Ia harus menghubungi Maya.
Arya: "Sial! Baterainya lemah!"
Dion: "Mau apa kau?"
Arya: "Aku harus menelepon Maya. Aku harus membawanya ke sini. Sekarang juga."
Dion mundur selangkah, menggelengkan kepalanya tak percaya.
Dion: "Apa?! Kau mau membawa gadis itu ke sini? Ke tengah kekacauan ini? Kau mau Bargas dan Riko menemukan kita semua?!"
Arya mengangkat kepalanya. Matanya, yang merah karena rasa sakit dan kelelahan, kini menatap Dion dengan kobaran api yang dingin.
Arya: "Ini satu-satunya tempat dia aman! Di luar sana, Bargas sedang mencarinya! Rumahnya adalah tempat pertama yang akan mereka datangi. Aku tidak akan membiarkan sejarah terulang, Dion! Tidak malam ini!"
Dion mematung di tengah Bengkel Sinar Harapan, terkejut oleh tekad Arya.
Dion: "Kau serius?! Membawanya ke sini adalah menjadikannya target yang lebih besar! Kita hanya remaja, Arya, bukan pahlawan!"
Arya: (Mencengkeram lengan Dion, wajahnya pucat) "Maya tidak akan selamat jika dia tetap di rumah. Mereka tahu siapa dia, Dion. Mereka mengincarnya. Cepat! Ambilkan aku kain bersih dan alkohol. Aku harus menghentikan pendarahan ini."
Dion, yang telah menjadi saksi kegilaan dan ketegasan Arya malam itu, akhirnya patuh. Ia mengambil selembar kain lap bersih dan sebotol alkohol medis dari kotak P3K.
Dion: "Ambil ini. Jangan salahkan aku kalau kau mati karena infeksi."
Arya mengambil kain itu, menatap lukanya yang menganga di lengan. Ia menuangkan alkohol ke atas luka.
ARRRGH!
Arya menjerit tertahan. Rasa perihnya menusuk hingga ke tulang, tetapi ia tidak melepaskan kainnya. Ia menekan luka itu keras-keras.
Arya: "Ponselku mati. Aku harus meneleponnya. Cari telepon rumahmu!"
Dion berlari ke meja kantor yang berantakan, mencari telepon rumah tua.
Dion: "Jaringan telepon rumah di Kota Cakra Manggala sudah hampir mati, Ary! Semoga saja masih bisa digunakan!"
Dion menemukan telepon itu, dan Arya segera meraihnya. Jari-jarinya gemetar, ia mendial nomor rumah Maya.
Terdengar nada sambung yang panjang, memecah kesunyian.
Arya: (Berbisik, memohon) "Angkat, Maya. Angkat."
Di seberang sana, akhirnya sebuah suara mengangkat. Bukan Maya.
Ayah Maya: (Suara serak, marah) "Halo?! Siapa ini malam-malam?!"
Arya membeku. Ia harus memutar otak cepat.
Arya: (Menirukan suara orang dewasa, serak) "Maaf, Pak. Ini dari perusahaan telekomunikasi. Kami mendapat laporan ada gangguan jaringan di rumah Bapak. Apakah Bapak merasa ada orang di luar?"
Ayah Maya: (Curiga) "Gangguan apa? Tidak ada apa-apa di luar! Siapa kamu—"
KLIK!
Arya memutus panggilan itu. Ayah Maya terlalu waspada. Tidak bisa menghubunginya secara langsung.
Dion: "Gagal?"
Arya: "Aku tidak bisa bicara dengan Ayahnya. Mereka pasti sudah curiga. Dion, kita harus pergi ke sana. Kau harus membantuku membawanya ke sini tanpa menarik perhatian."
Dion: "Pergi ke sana lagi?! Setelah semua yang terjadi?!"
Arya: (Menunjuk ke 'Daftar Hitam' yang tergeletak di meja) "Kau mau Naga Hitam mendapatkan ini dan membunuh kita semua? Bargas sudah mengancam. Kita harus bergerak sebelum mereka sampai di sana. Sekarang, dengarkan rencanaku baik-baik."
Arya mulai menjelaskan. Ia membutuhkan Dion untuk mengalihkan perhatian Ayah Maya di pintu depan, sementara ia masuk melalui jendela belakang dan membawa Maya keluar.
Dion: (Menghela napas pasrah) "Aku tidak percaya aku melakukan ini untuk bocah idiot yang dulu selalu lari dariku. Tapi... baiklah. Mari kita selesaikan ini sebelum matahari terbit."
Arya mengangguk. Ia memaksakan diri berdiri, pergelangan kakinya berdenyut tajam. Ia mengambil Daftar Hitam, membungkusnya dalam kain lap, dan menyembunyikannya di dalam kotak perkakas oli yang dalam.
Arya: "Dion, kau harus janji. Jika kita tertangkap, kau tidak pernah tahu apa-apa. Aku yang merencanakan semuanya."
Dion: "Diam. Ayo kita selamatkan pacarmu dulu, Prajurit Waktu."
Pukul 03:30 dini hari. Jalanan perumahan Kota Cakra Manggala sepi dan gelap. Motor Dion berhenti di sudut blok, jauh dari rumah Maya. Arya dan Dion turun.
Dion: (Berbisik tegang) "Arya, kau yakin? Kakimu—"
Arya: "Aku akan baik-baik saja. Kau tahu rencana. Pukul pintunya sekali, pastikan Ayahnya datang ke depan. Aku hanya butuh 30 detik."
Dion mengangguk pasrah. "Jika Bargas muncul, aku kabur duluan."
Arya: "Lakukan saja."
Arya menyerahkan kunci motor kepada Dion. Ia berjalan tertatih-tatih di balik bayangan semak-semak, menuju sisi rumah Maya. Pergelangan kakinya berdenyut di setiap langkah, tapi ia memaksa rasa sakitnya menjadi fokus.
Sementara itu, Dion dengan gugup berjalan ke pintu depan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pintu dengan keras.
TOK! TOK! TOK!
Di dalam, lampu teras menyala.
Ayah Maya: (Suara keras dan marah) "Siapa malam-malam begini?! Pergi!"
Dion: (Membuat suaranya serak dan kesal) "Permisi, Pak! Kami dari perusahaan listrik! Ada kabel putus! Bahaya! Bapak harus keluar dan periksa sekarang!"
Ayah Maya: "Kabel apa?! Pergi, atau saya panggil polisi!"
Tepat saat Ayah Maya mulai berdebat dengan Dion di pintu depan, Arya mencapai jendela kamar Maya. Jendela itu terkunci, tetapi Maya telah membiarkan kuncinya menempel.
Arya meraih sisa pipa besi dari Gudang K-7 yang ia selipkan di pinggang. Dengan hati-hati, ia memasukkan ujung pipa ke celah jendela, memutar dan mengungkit kunci itu dengan keterampilan yang ia pelajari dari masa depan yang penuh dengan tindakan kriminal.
KLIK!
Kunci itu terbuka.
Arya membuka jendela perlahan. Ia menyelinap masuk ke kamar yang gelap dan beraroma wangi.
Maya terperanjat di tempat tidurnya. Maya: (Berbisik, ketakutan) "Arya! Astaga! Kenapa kamu—"
Arya langsung menutup mulut Maya dengan tangan. Arya: (Berbisik, mendesak) "Diam. Kita dalam bahaya. Naga Hitam datang. Kita harus pergi sekarang."
Maya melihat wajah Arya. Jaketnya robek, ada noda darah di lengannya. Matanya dipenuhi campuran ketakutan dan bahaya. Ia tahu Arya tidak main-main.
Arya: "Pakai jaket. Sepatu. Jangan bawa apa-apa. Cepat."
Di luar, suara Ayah Maya masih berteriak marah pada Dion. Itu adalah pengalihan yang sempurna.
Saat Maya meraih sepatu sneakers-nya, sebuah suara tiba-tiba menusuk keheningan malam. Bukan suara Dion, melainkan suara berat dari jalan utama.
Bargas: (Suara parau yang menggema) "CEK MOBIL ITU! DIA PASTI MENYEMBUNYIKANNYA DI RUMAH GADIS ITU!"
Bargas telah tiba.
Wajah Arya memucat. Ia terlambat.
Arya: "Sial! Mereka sudah di sini!"
Arya menarik tangan Maya. Arya: "Jendela! Cepat!"
Di depan rumah, Dion mendengar suara Bargas. Ia tahu perannya selesai. Ia harus lari untuk menyelamatkan diri.
Dion: (Berteriak) "MAAFKAN AKU, ARY!" Dion melompat ke motor, memutar gas, dan melesat pergi, meninggalkan Ayah Maya dan ancaman Bargas.
Ayah Maya yang marah melihat mobil hitam tanpa lampu yang mendekat, dan segera menyadari Dion bukanlah petugas listrik. Ia menoleh ke kamar Maya.
Di kamar, Arya mendorong Maya keluar jendela. Maya: (Menangis ketakutan) "Ayahku—"
Arya: "Ayahmu akan baik-baik saja! Sekarang, lari!"
Arya mengikuti Maya keluar jendela. Pergelangan kakinya langsung berteriak protes. Ia jatuh ke rumput basah.
Mereka mulai berlari tertatih-tatih di halaman belakang.
Tiba-tiba, lampu sorot mobil hitam itu menyapu halaman.
Bargas: (Suara yang dekat) "LIHAT! ITU DIA! BOCAH SIALAN ITU BERSAMA GADIS ITU! TANGKAP MEREKA!"
Arya dan Maya menjadi sasaran empuk. Mereka berlari ke pagar belakang, satu-satunya jalan keluar.