Langit tak pernah ingkar janji
Dihina karena miskin, diremehkan karena tak berdaya. Elea hidup di antara tatapan sinis dan kata-kata kejam. Tapi di balik kesederhanaannya, ia menyimpan mimpi besar dan hati yang tak mudah patah.
Suatu hari, ia mendapatkan sebuah tawaran untuk melanjutkan sekolah di kota.
Apakah elea akan menerima tawaran tersebut? Apakah mimpi elea akan terwujud di kemudian hari?
Penuh teka teki di dalamnya, jangan lewatkan cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegabutanku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Mendengar pertanyaan bu siti membuatnya gugup akan menjawab apa. Tidak mungkin juga ia akan mengakui bahwa dirinya menyukai elea.
“ohh iya ini bu... anu kan kita ada proyek bareng di sekolah untuk mewakili sekolah dalam olimpiade matematika.”
“ehh iya ya, maaf ya nak jefri ibu lupa. Maklum sudah tua.” Mendengar perkataan bu siti membuat jefri sedikit nyengir.
Ia menolehkan wajahnya sambil menghela nafas panjang.
“untung saja ada alasan yang tepat” batinya
“heiii elea, kenapa loe main sama anak orang kaya? Biar loe ketularan kaya ya?” ucap bu yeni yang saat itu sedang melintas di sawahnya.
“sudah jangan dengerin, mereka memang orang iri.” Bisik jefri.
Sedangkan, elea yang mendengarkan perkataan bu yeni dadanya terasa sesak tak henti- hentinya dia di hina secara terang- terangan seperti itu.
“ohh iya kak, mendingan kakak pulang saja ya. Hari sudah sore...” ucap elea dengan nada terbata- bata. Sudah sangat jelas ia merasa terhina dengan perkataan tetangganya tersebut.
“iya nak jefri, maaf sekali bukan bermaksud ibu mengusir anak jefri.”
“iya bu, saya mengerti kok. Yaudah saya pamit pulang dahulu. Assalamualaikum...”
“waalaikumsallam....” jawab mereka berdua secara kompak.
“elea... maafin ibu ya, ibu tidak bisa memberikanmu kehidupan yang layak untukmu. Sehingga kamu harus merasakan kepahitan hidup ini.” berulang kali bu siti meminta maaf kepada anaknya.
Ia merasa gagal menjadi seorang ibu karena anaknya harus mendengarkan cacian bahkan hinaan setiap harinya.
“ibu... sudah jangan menyalahkan diri ibu. Elea tidak apa- apa kok, ini memang sudah jalan hidup kita bu.”
“Andai saja ayahmu masih hidup elea, mungkin nasib kita tidak akan seperti ini.”
“sudahlah bu, tidak ada yang harus disesali semuanya sudah terjadi. Tugas kita hanya melanjutkan hidup kedepannya dengan lebih baik.”
Walaupun ia merasakan sakit akibat cacian dan hinaan tetangga sekitar namun alea anak yang bijak. Ia mampu menenangkan kegundahan hati sang ibu.
“oh iya bu, besok elea harus membayar uang sekolah yang sudah nunggak 2 bulan.”
“iya elea, ibu akan usahakan secepatnya mendapatkan uang itu.” Jawab bu siti.
“ya allah... kemana lagi aku harus mencari pinjaman untuk membayar uang sekolah elea.” Batin bu siti sambil menatap kosong ke arah ladang yang ada di depannya.
“bu... ibu..” ucap elea mencoba membangunkan ibunya dari lamunannya.
“ehh... iya. Ada apa nak? Ayo sudah sore kita juga harus segera pulang sebelum hari semakin gelap.
“ibu melamunkan apa?”
“tidak... ibu tidak melamun. Ibu hanya menatap ladang kita yang sudah mulai tumbuh dengan subur.”
“ohh... begitu... yasudah bu.”
Mereka melangkahkan kakinya, membelah jalanan desa itu yang masih bebatuan dan debu yang mulai menghiasi kaki mereka.
“bu siti... tunggu sebentar...”ucap perempuan paruh baya yang mencoba menghentikan langkah kaki mereka.
“iya, ada apa bu asri?”
“jadi, gini bu saya mau minta tolong ke bu siti untuk menggarap lahan saya yang ada di sebelah ladang bu siti.”
“alhamdulillah...in syaa allah saya sanggup bu.”
“nanti untuk upahnya saya akan membayar ibu di akhir pekan atau setiap hari saja?”
“untuk masalah itu, saya ikut dengan bu asri saja.”
“baiklah... terima kasih ya bu siti bantuannya.”
“iya, sama- sama bu.”
“elea... baru pulang?”
“tidak bu, tadi mampir di ladang terlebih dahulu.”
“kamu sekarang kelas berapa lea?”
“kelas 2 ini bu.”
“wahh... yang semangat ya sekolahnya. Semoga nanti kamu bisa menjadi anak yang sukses. Tapi, jika kamu sudah sukses jangan sampai kamu melupakan ibu mu ya.”
“aamiin... kalau itu sudah pasti bu.”
Tok.. tok... tok...
“ehh kamu mbak yu, ada apa tumben kesini?” tanya pak lik toro adik kandung dari bu siti.
“aku ada perlu sama kamu to.” Ucap bu siti dengan sangat serius kala itu.
“memangnya ada apa?”
“aku ingin meminjam kamu uang, buat bayar sekolah elea sudah dua bulan ia nunggak.”
“halahh mbak... kamu ini orang nggak punya saja kenapa harus menyekolahkan elea tinggi- tinggi? Sekarang kamu sendiri kan yang bingung, dulu harusnya biarkan dia bekerja membantu kamu.”
“aku ingin anakku memiliki pendidikan yang tinggi to, tidak seperti aku.”
“sebentar aku cari dulu...” toro pun masuk ke dalam rumahnya dan ia berpura – pura mencari uang.
Toro memang memiliki ekonomi yang bagus diantara semua keluarga bu siti yang ia miliki.
“ini mbak... sudah cepat pergi dari sini” toro menyerahkan kepingan uang receh berjumlah sepuluh ribu, uang lembaran seribuan dan beberapa uang lima ribuan. Jika dihitung jumlahnya seratus ribu.
“terima kasih to, jika aku sudah memilikinya aku akan segera membayarnya kembali.”
Ditengah jalan, hati bu siti seperti teriris bagaimana bisa adik kandungnya memperlakukan dia sepert itu.
“ya allah... seperti inikah rasanya menjadi orang yang tak berpunya? Dihina sekeliling bahkan adikku sendiri saja memperlakukanku seperti pengemis.” Ucapnya dalam hatinya.
“elea... hanya kamu harapan ibu. Semoga suatu saat nanti kamu benar- benar menjadi orang yang sukses ya.” Doa terus terpanjat tak henti- hentinya dari dalam lubuk hati bu siti.
“aku tidak apa- apa jika harus diperlakukan seperti ini, roda kehidupan akan terus berputar.”
“ibu... ibu dari mana?” tanya elea yang sehabis sepulang sekolah ia tidak melihat ibunya ada di ladang dan juga di rumah.
“ini dari rumah pamanmu.”
“memangnya ibu kenapa kesana?”
“ada perlu sedikit elea. Oh iya, besok kamu bayar SPP mu alhamdulillah ibu ada rezeki. Kamu doakan ibu agar tetap sehat dan juga semoga tetap ada yang menggunakan jasa ibu.”
“elea pasti selalu mendoakan ibu kok.”
“yaudah... ibu mau kembali ke ladang bu asri. Ibu belum selesai memanen kacangnya takutnya nanti terlambat panen dan ibu juga tidak ingin mengecewakan bu asri.”
“elea bantu ya bu.”
“tidak usah, nanti kamu capek.”
“aku tidak capek kok bu.”
“yasudah... apa kamu sudah makan?”
“hehe belum bu, aku bawa ke ladang saja disana makan lebih terasa nikmat.”
“yaudah ayo cepat...”
“duuhhh... kasian banget sih, seharusnya anak se usia kamu itu tidak usah ke ladang harusnya sih kamu belajar di rumah.” Ujar pak narto
“tidak apa- apa kok pak, saya senang bisa membantu ibu saya. Daripada saya di rumah tidak ngapa- apa. Toh pekerjaan ibu saya akan cepat selesai jika saya membantunya.”
“saya salut sama kamu elea, kamu memang berbeda dengan kebanyakan anak- anak di luaran sana.”
“ahhh... pak narto suka berlebihan.” Ucap elea malu- malu.
Ada beberapa tetangganya yang iba dengannya dan juga ada beberapa tetangga elea yang menggunjingnya.
Bukankah manusia tidak luput dari salah dan dosa? Bahkan, sebaik apapun dia, akan tetap terlihat buruk di mata orang yang tidak menyukainya.