Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTOLONGAN LANGIT
Pagi-pagi sekali, suara ketukan pintu terdengar dari depan rumah. Arum yang sudah bersiap-siap untuk pergi bekerja segera beranjak dari kamarnya.
Penampilannya rapi. Rambut panjangnya tersisir sederhana dengan pakaian kerja yang terpasang sempurna. Kali ini, ia mengenakan kemeja berwarna merah muda pastel yang jatuh lembut di tubuhnya, memberi kesan segar dan tenang. Kancing-kancingnya terpasang rapi, lengannya tergulung sedikit—sederhana, namun anggun. Sementara itu, bawahannya berupa rok yang nampak jatuh, menjuntai pas di bawah lutut, mengikuti langkahnya dengan ringan setiap kali ia bergerak.
Arum menuju pintu dengan tas yang sudah tersampir di bahu. Ia menarik napas singkat, menenangkan diri, lalu memutar gagang dengan gerakan mantap.
"Arum!"
Seru seorang wanita setengah abad dengan suara lantang, memecah keheningan pagi yang masih diselimuti udara dingin. Wajahnya sama sekali tak dihiasi oleh senyum yang ramah. Kerutan halus di sudut matanya mengeras, tajam, penuh tuntutan, seolah setiap sapaan darinya bukan sekadar panggilan, melainkan perintah yang harus segera ditanggapi.
"Bu... Bu Wati." Gumam Arum.
"Mana?!"
Arum menelan saliva, matanya berbinar, menatap wanita itu penuh permohonan. "Beri saya waktu ya, Bu. Uangnya baru terkumpul sebagian."
"APAA..?!" Pekik wanita itu, Bu Wati tersentak. Jelas, sorot matanya semakin tajam mengunci gerak Arum. "Kasih waktu lagi?! Ini sudah lebih dari batas waktu yang saya berikan, Arum! Mau sampai kapan, kamu beralasan seperti ini?!"
"Ta-Tapi Bu, saya benar—"
“Okeeee!” Potong Bu Wati cepat, nadanya meninggi dan tak memberi ruang. “Kalau kamu nggak bisa bayar uang sewa rumah, pagi ini juga... kamu angkat kaki dari rumah saya!" Perintahnya. “Karena masih ada orang yang mau sewa rumah ini dan mereka siap bayar penuh tanpa banyak alasan!”
Arum menggeleng sambil menangkap lengan wanita itu yang segera ditepisnya "Bu Wati, saya mohon Bu... beri saya waktu tiga atau empat hari lagi. Saya janji, Bu... saya akan—"
"Janji kamu bilang?!" Potong wanita bertubuh gempal itu dengan nada yang semakin meninggi. "Heh, Arum! Janji kamu itu udah keterlaluan! Saya sewa rumah itu nyari untung! Bukan nyari buntung! Kamu pikir... penghasilan saya dari menyewa rumah itu bikin saya—"
"Memangnya, berapa hutang yang harus di bayar?"
Suara itu menghentikan Bu Wati dan mengejutkan keduanya. Bu Wati menoleh ke belakang, sementara Arum tersentak saat mendapati seseorang kini datang mendekati keributan itu.
"La-Langit..." Gumam Arum, nyaris tak bersuara.
"Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!"
Langit tersenyum dan mulai menaiki anak tangga kecil menuju beranda rumah Arum. Sorot matanya hangat, menyapa Arum. Sedetik kemudian, ia berpaling menatap lurus Bu Wati. "Saya Langit." Katanya kemudian. "Saya yang akan membayar semua hutang Arum."
"La-Langit..." Gumam Arum tersentak sekali lagi.
Bu Wati mendesis pahit, sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Heh, anak muda! Jangan berlagak jadi pahlawan! Kamu gak tahu hutang dia itu banyak sekali!"
Langit mengangguk, "Memangnya berapa, Bu?"
Bu Wati memalingkan wajahnya, malas. "Satu juta dia ratus ribu saja kalikan lima!"
Langit mengangguk pelan. Ia meraih ponselnya dari balik saku celana katun hitamnya, lalu mulai mengoperasikannya dengan tenang, jemarinya bergerak cepat di atas layar.
Bu Wati mendelik, tatapannya penuh curiga dan tak meyakinkan, berpindah dari ponsel di tangan Langit ke wajah Arum. Sementara itu, Arum sendiri masih berdiri kaku di tempatnya, napasnya tertahan, dan kuku-kuku ibu jarinya saling menggesek di depan tubuh.
"Nomor rekening Ibu?" Tanya Langit sambil menyerahkan ponselnya ke wanita itu.
Bu Wati mendengus kecil, lalu tanpa sungkan merampas benda tipis itu dari tangan Langit. Gerakannya cepat, nyaris kasar. Jemarinya yang dipenuhi gurat usia langsung menekan beberapa digit angka nomor rekeningnya di layar ponsel. Matanya kemudian menyipit, memastikan tak ada satu angka pun yang keliru.
Arum refleks melangkah setengah tapak ke depan, ke arah pria itu. “Langit...” Suaranya tertahan, ragu, tak berani meninggi.
Langit menatap Arum sekilas. Ia tetap berdiri tenang, tak menunjukkan keberatan. wajahnya menyiratkan ketenangan—seolah berkata tanpa kata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sedetik berikutnya, Bu Wati menyerahkan lagi ponsel pada Langit. Tanpa berpikir panjang, Langit segera menekan angka-angka nominal yang bahkan lebih dari jumlah yang seharusnya di bayar.
"Maaf, Bu. Apa ini cukup?" Kata Langit sambil menunjukkan ponselnya ke arah Bu Wati. Tepat, di depan wajahnya.
Bu Wati mengangguk tanpa suara.
"Langit, kamu..." Lirih Arum saat Langit mulai memainkan lagi ponselnya yang membuat Dering ponsel wanita dihadapannya itu bergetar.
Bu Wati segera merogoh ponselnya dari dalam tas. Ia menelan saliva, menyembunyikan keterkejutannya saat mendapat notifikasi masuk terpampang jelas bahwa transfer diterima, dengan nominal yang tak main-main.
"Saya tambah lagi jumlahnya." Lanjut Langit. "Mungkin uang itu akan cukup untuk membayar rumah sewa beberapa bulan ke depan." Jelasnya, pelan namun penuh keyakinan.
"Oke." Angguk Bu Wati dengan masih menyimpan rasa ketidakpercayaan. "Kalau begitu..." Matanya menatap Langit dari atas kepala hingga ujung kaki.
Pria itu tak nampak seperti orang berada. Batin Bu Wati sembari mengamati Langit lebih saksama. Ia hanya mengenakan kemeja sederhana yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaus polos di baliknya, dipadukan dengan setelan celana yang jatuh rapi tanpa kesan berlebihan. Rambutnya tampak sedikit acak, seolah disisir terburu-buru, namun justru memberi kesan rapi yang kasual—alami, tidak dibuat-buat.
Di kakinya, sepasang sepatu kanvas putih terlihat bersih meski jelas sering dipakai, menegaskan kesan sederhana namun terawat. Tak ada aksesori mencolok, tak ada kemewahan yang dipamerkan. Segalanya tentang Langit tampak biasa saja, bahkan nyaris luput dari perhatian—dan justru karena itulah Bu Wati merasa ada sesuatu yang sulit ditebak dari pria di hadapannya.
"Kalau begitu apa, Bu?" Ucap Arum mengejutkan.
Bu Wati berdeham dan berpaling menatap Arum. "Kalau begitu saya pamit." Ucapnya, ketus. "Permisi!"
Langit hanya melempar senyum tipis, nyaris tanpa suara, seolah isyarat halus agar wanita itu segera berlalu. Tatapannya singkat, sopan, namun cukup untuk membuat Bu Wati memahami maksudnya sebelum akhirnya melangkah pergi.
Begitu mereka tinggal berdua, Arum segera menarik perhatian Langit. Tatapannya menuntut jawaban.
“Langit, maaf… emangnya,” Ucap Arum, suaranya direndahkan, ragu namun tak bisa disembunyikan, “Kamu bayar nominal berapa ke Bu Wati?”
Ia berhenti sejenak, menelan ludah. “Dan… kamu tahu rumah aku dari mana?”
Langit tersenyum lagi, kali ini tampak begitu tulus, sembari merogoh sesuatu dari dalam sakunya. “Kamu sepertinya lupa ini, kemarin,” Ujarnya pelan sambil memperlihatkan sebuah dompet merah muda dengan motif bordir bunga di sudut bawahnya. Itu milik Arum.
“Ya, Tuhan!” Gumam Arum spontan, segera meraih dompet itu. “Pantas saja aku mencarinya ke mana-mana.”
Langit terkekeh kecil. “Dan soal alamat rumah kamu… aku tahu dari kartu identitas yang ada di dalamnya,” Katanya jujur, sedikit mengangkat bahu. “Maaf, ya, kalau terkesan lancang. Kalau enggak begitu, aku enggak tahu gimana caranya balikin barang berharga kamu.”
Arum mengangguk dan menatap Langit. "Makasih banyak, ya... Langit. Dan soal uang yang kamu—"
"Kamu..." Potong Langit cepat, namun tetap tenang. Matanya menatap Arum dari atas kepala hingga ujung kaki. "... mau berangkat kerja?"
"Iya." Angguk Arum.
"Gimana kalau aku antar, kamu?" Tawar Langit pelan, nada suaranya ringan, seolah tak ingin membuat Arum merasa sungkan.
Arum terdiam sejenak. Alisnya mengernyit tipis, bukan karena curiga, melainkan karena masih berusaha mencerna semua kejadian barusan. Sungguh, semua terjadi begitu cepat.
Aku—” Lirih Arum menggantungkan kalimatnya, lalu mendongak menatap Langit.
Ada jeda yang aneh, sunyi namun penuh. Mata mereka saling bertaut lebih lama dari seharusnya, dan di sela detik yang melambat itu, sebuah desir halus menyelinap, tak terucap namun terasa jelas. Sesuatu bergetar di dada Arum, hangat sekaligus canggung, membuat napasnya sedikit tertahan di antara aroma yang perlahan hadir, sama seperti bau yang ia cium kemarin malam—parfum Langit.
Langit pun tak segera berpaling. Senyumnya memudar menjadi garis tipis yang lembut, seolah ia juga merasakan hal yang sama, meski memilih diam. Dunia di sekitar mereka seakan menyempit, menyisakan dua pasang mata dan perasaan yang tiba-tiba hadir tanpa aba-aba.
Detik berikutnya, Arum tersenyum lalu mengangguk tanpa suara.
****