ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#3
Wei Li baru sadar satu hal yang sangat menyebalkan Menjadi kaya itu melelahkan. Ia duduk di depan meja rias yang ukurannya hampir sama dengan seluruh kamar kos lamanya. Di hadapannya, tersusun perhiasan, kosmetik mahal, dan barang-barang yang ia bahkan tidak tahu fungsinya untuk apa. Semua berkilau. Semua mahal. Semua terasa… bukan miliknya.
Seorang pria berdiri di samping meja, bersandar santai seolah ini bukan rumah tiran dunia gelap, melainkan kantor biasa. Wei Li menatap cincin di tangannya dengan tatapan kosong “Kalau Nyonya terus melototin cincin itu lima menit lagi,” katanya ringan, “saya takut cincin itu jatuh cinta.” Wei Li meliriknya.
Pria itu tinggi, ramping, berusia sekitar akhir dua puluhan. Rambut hitamnya disisir rapi tapi tidak kaku. Jas abu-abu gelap dikenakannya dengan santai, dasi sedikit longgar. Wajahnya tidak tampan berlebihan, tapi bersih dan enak dipandang. Matanya tajam tapi hidup. “Ingatkan aku,” kata Wei Li datar, “buat mecahin kepalalu nanti.”
Pria itu tersenyum lebar. “Ah, berarti Nyonya sudah kembali normal.” Wei Li mendengus kesal. Nama pria itu Han Jae Hyun asisten pribadi Lu Xian Yue. Asisten yang, berdasarkan ingatan tubuh ini, sudah bekerja bertahun-tahun dan… terlalu setia. “Kenapa kau santai sekali?” Wei Li bertanya sambil berdiri.
Jae Hyun mengangkat bahu. “Kalau saya tegang, yang mati duluan saya. Lagipula, Nyonya masih hidup. Itu kabar baik.” Wei Li berhenti sejenak mendengar ucapan Jae hyun. “Masih hidup?” ulangnya pelan sambil tertawa aneh. Jae Hyun menatapnya sejenak, lalu berkata lebih pelan, “Nyonya pingsan kemarin. Tuan Kun sempat bertanya.”
Jantung Wei Li berdetak keras. “Dia… bertanya apa?” tanyanya hati-hati. “Apakah Nyonya berpura-pura,” jawab Jae Hyun jujur. “Atau benar-benar kehilangan kesadaran.” jelas Jae Hyun, Sial Wei Li memijat pelipisnya lelah. “Dan?”
“Saya bilang Nyonya benar-benar pingsan,” katanya sambil tersenyum kecil. “Kalau Nyonya pura-pura, aktingnya terlalu payah.” Wei Li menatapnya tajam. “Hei!.”
“Bercanda,” kata Jae Hyun cepat. Wei Li menghela napas panjang. Kun A Tai sudah curiga. Itu lebih cepat dari yang ia harapkan. “Dia mau bertemu?” tanya Wei Li akhirnya. Jae Hyun mengangguk. “Malam ini. Makan malam resmi.”
Wei Li memutar bola mata. “Tentu saja.” Ia berjalan menuju lemari pakaian raksasa. Gaun-gaun tergantung rapi, warna gelap, elegan dan dingin seperti cerminan Lu Xian Yue yang lama. Wei Li meraih gaun hitam sederhana, tanpa belahan yang berlebihan. “Yang ini saja” katanya. Jae Hyun mengernyit. “Biasanya Nyonya pilih yang lebih… menusuk mata.”
“Gue lagi capek nusuk orang,” jawab Wei Li tanpa sadar. Jae Hyun tiba-tiba membeku. “…gue?” ulangnya perlahan. Wei Li terdiam. Sial keceplosan, Ia berdeham. “Maksudku—aku.” Jae Hyun menatapnya beberapa detik lebih lama dari seharusnya, lalu tersenyum miring. “Nyonya… berubah.”
Wei Li menegakkan punggung. “Masalah?”
“Tidak,” jawab Jae Hyun cepat. “Justru… lebih hidup.” Wei Li tidak menjawab ucapan itu. Beberapa jam kemudian, Wei Li melangkah memasuki ruang makan utama. Meja panjang. Lampu redup. Kursi besar di ujung meja sudah terisi. Kun A Tai.
Pria itu duduk dengan postur santai tapi mematikan. Jas hitam melekat sempurna di tubuhnya. Rambutnya disisir rapi, rahangnya tegas, matanya gelap—tajam seperti pisau yang tidak pernah tumpul. Tatapan itu mengangkat saat Wei Li masuk. Dan berhenti. Wei Li merasakan bulu kuduknya tiba-tiba berdiri.
Tatapan Kun A Tai bukan tatapan pria yang tertarik. Bukan juga tatapan marah. Itu tatapan seseorang yang sedang mengukur ancaman. Ia duduk tanpa berkata apa pun. “Lu Xian Yue,” kata Kun A Tai pelan. “Kau terlihat… berbeda.”
Wei Li tersenyum tipis. “Orang yang hampir mati biasanya berubah.” Kun A Tai menatapnya lama. Lalu tersenyum kecil. Senyum yang tidak hangat. “Menarik,” katanya. “Biasanya kau akan tersenyum palsu dan memulai percakapan bodoh.”
Wei Li mengangkat bahu. “Aku capek berpura-pura.” Keheningan muncul tiba-tiba. Jae Hyun berdiri di belakang Wei Li, menahan napas. Kun A Tai menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Teruskan.” Wei Li menatap balik. “Apa?”
“Perubahanmu,” jawab Kun A Tai. “Aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan.” Wei Li tersenyum kecil. Dalam hati, ia mengumpat. Sial sangat sial. Dan di saat itu, ia tahu satu hal pasti untuk menghindari Kun A Tai tidak akan semudah yang ia kira.