NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

*BAB 16: KEHANGATAN YANG RAPUH**

# *

Tiga hari berlalu sejak malam Nathan merawat Alara. Tiga hari di mana semuanya... berubah.

Nathan tidak lagi pergi sebelum fajar. Ia sarapan bersama Alara—walau hanya diam-diam, tapi ia ada di sana. Ia bertanya—walau singkat—"kamu sudah minum obat?" atau "demamnya sudah turun?". Ia bahkan pulang lebih cepat—jam 8 atau 9 malam, bukan tengah malam seperti biasa.

Dan Alara... Alara merasa seperti hidup dalam mimpi yang rapuh. Mimpi yang indah tapi ia takut untuk bernapas terlalu keras—takut mimpi itu pecah.

---

**SENIN PAGI, HARI PERTAMA ALARA MASUK KANTOR LAGI**

Alara berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan blazer abu-abu. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi jauh lebih baik dari seminggu lalu. Ia sudah bisa berdiri tanpa pusing, sudah bisa makan tanpa mual.

Tapi yang berbeda bukan hanya kondisi fisiknya.

Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang... hidup. Sesuatu yang sudah lama mati tapi perlahan bangkit lagi.

Harapan.

Harapan yang berbahaya tapi tidak bisa ia tahan.

Ketukan pintu.

"Alara? Kau sudah siap?" Suara Nathan dari luar—suara yang tidak pernah ia dengar di pagi hari sebelumnya.

Alara membuka pintu. Nathan berdiri di sana dengan jas biru navy, dasi yang rapi, tapi ada sesuatu di wajahnya yang... lebih lembut dari biasanya.

"Kau yakin mau masuk hari ini? Kalau masih lemah, istirahat aja," kata Nathan. Nada bicaranya... khawatir. Benar-benar khawatir.

Sesuatu di dada Alara bergetar mendengarnya.

"Aku sudah jauh lebih baik. Lagian aku udah nggak masuk seminggu. Kerjaan pasti numpuk," jawab Alara sambil tersenyum tipis—senyum yang tulus.

Nathan menatapnya lama—tatapan yang membuat jantung Alara berdegup lebih cepat. "Baik. Kalau begitu... aku antar."

Alara tersentak. "Ha?"

"Aku antar kamu ke kantor. Mobilku lebih nyaman dari taksi online. Lagian searah."

"Tapi... tapi nanti orang-orang kantor lihat—"

"Biar lihat." Nathan memotong tegas. "Kau istriku. Nggak ada yang salah kalau aku antar istri ke kantor."

Kata-kata itu—*kau istriku*—terasa berbeda kali ini. Tidak dingin. Tidak sekedar label. Tapi... ada kehangatan di sana.

Alara tidak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahnya. "Baik."

---

**DI MOBIL**

Alara duduk di kursi penumpang—kursi yang selama ini tidak pernah ia duduki karena mereka tidak pernah pergi bersama. Mobil Nathan wangi—campuran parfum masculine dan kulit jok yang mahal.

Nathan menyetir dengan tenang, sesekali melirik Alara yang duduk dengan tangan terlipat di pangkuan—nervous tapi bahagia.

"Kau... kau nggak perlu turun di depan kantor," kata Alara tiba-tiba. "Bisa turunin aku di halaman parkir bawah aja. Biar nggak... nggak jadi perhatian."

Nathan melirik Alara—tatapan yang tajam tapi tidak dingin. "Kenapa? Kau malu dilihat orang naik mobil sama aku?"

"Bukan begitu!" Alara cepat membela diri. "Cuma... orang-orang di kantor suka gosip. Nanti mereka—"

"Biar mereka gosip." Nathan memotong lagi. Tangannya yang bebas—yang tidak memegang setir—tiba-tiba meraih tangan Alara di pangkuan.

Alara tersentak. Jantungnya berhenti sedetik.

Nathan menggenggam tangan Alara—genggaman yang hangat, yang membuat seluruh tubuh Alara mati rasa.

"Aku bosan sembunyi-sembunyi," kata Nathan pelan. "Aku bosan pura-pura kita nggak ada apa-apa. Kau istriku. Dan aku... aku mau orang tahu itu."

Alara menatap genggaman tangan mereka—tangan Nathan yang besar, hangat, menggenggam tangannya yang kecil dan dingin. Air matanya memanas—tapi ia tahan. Tidak mau Nathan lihat ia menangis lagi.

"Nathan..." bisiknya. Suaranya bergetar. "Kenapa... kenapa kamu tiba-tiba berubah?"

Nathan terdiam lama. Tatapannya fokus pada jalan di depan, tapi rahangnya mengeras—tanda ia sedang berpikir keras.

"Karena aku hampir kehilangan kamu," jawabnya akhirnya. Suaranya pelan tapi jelas. "Waktu kau sakit... waktu aku lihat kau terbaring lemah seperti itu... aku sadar. Aku sadar kalau aku... peduli. Lebih dari yang seharusnya."

Jantung Alara berdetak sangat keras—ia takut Nathan bisa mendengar.

"Dan aku nggak mau kehilangan itu lagi," lanjut Nathan. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Alara—gerakan yang sangat intim. "Nggak mau kehilangan kamu."

Air mata Alara jatuh—tidak bisa ditahan lagi. Ia menunduk, mencoba sembunyikan, tapi Nathan sudah melihat.

"Kenapa nangis?" tanya Nathan—ada panik di suaranya.

"Aku... aku bahagia," bisik Alara. Suaranya bergetar hebat. "Aku bahagia tapi aku juga takut. Takut ini cuma sementara. Takut besok kamu akan kembali dingin. Takut aku... aku terlalu berharap dan nanti sakit lagi."

Nathan menepi ke pinggir jalan—berhenti tiba-tiba. Ia melepas sabuk pengaman, berbalik menatap Alara dengan tatapan intens.

"Lihat aku," perintahnya lembut.

Alara mengangkat wajah—mata sembab, pipi basah.

Nathan mengangkat tangannya, mengusap air mata Alara dengan ibu jari—gerakan yang sangat lembut, sangat peduli.

"Aku nggak janji akan jadi sempurna," kata Nathan pelan. "Aku nggak janji nggak akan pernah nyakitin kamu lagi. Karena aku... aku orang yang rusak, Alara. Aku punya banyak luka yang belum sembuh."

Ia berhenti sebentar, tatapannya tidak lepas dari mata Alara.

"Tapi aku janji... aku akan coba. Coba jadi lebih baik. Coba peduli. Coba... jadi suami yang kamu butuhkan. Walau ini cuma kontrak. Walau cuma dua tahun. Aku akan coba."

Kata-kata itu—kata-kata yang sederhana tapi tulus—menghancurkan sisa-sisa pertahanan Alara.

Ia menangis—menangis dengan isak yang tidak bisa ditahan. Tapi kali ini bukan tangis sedih. Ini tangis lega. Tangis bahagia. Tangis yang campur aduk dengan segala emosi yang ia pendam selama ini.

Nathan menarik Alara ke pelukannya—pelukan pertama mereka. Pelukan yang canggung tapi hangat. Pelukan yang membuat Alara merasa—untuk pertama kalinya sejak menikah—ia bukan sendirian.

"Maaf," bisik Nathan di rambut Alara. "Maaf butuh waktu lama buat aku sadar."

Alara menggeleng di dada Nathan. "Nggak apa-apa... yang penting... kamu di sini sekarang."

Mereka berpelukan di dalam mobil yang berhenti di pinggir jalan—tidak peduli orang lalu lalang, tidak peduli mereka akan terlambat ke kantor.

Yang penting saat ini—saat di mana semuanya mulai berubah.

---

**ERLANGGA CORP, LOBBY**

Nathan parkir tepat di depan lobby—bukan di basement seperti biasa. Alara menatapnya dengan mata panik.

"Nathan, ini—"

"Turun," kata Nathan sambil tersenyum tipis—senyum langka yang membuat wajahnya terlihat... tampan. Sangat tampan.

Alara turun dengan kaki gemetar. Nathan juga turun, berjalan ke sisi Alara, dan—di depan mata semua orang di lobby—Nathan menggenggam tangan Alara.

Genggaman erat. Genggaman yang jelas terlihat.

Semua mata di lobby tertuju pada mereka. Bisikan mulai terdengar.

"Itu CEO sama... istrinya?"

"Serius? Mereka pegang tangan?"

"Bukannya pernikahan mereka cuma kontrak?"

"Tapi lihat deh... CEO nya pegang tangannya erat banget..."

Alara merasakan pipinya memanas. Ia ingin lepaskan genggaman Nathan—tapi Nathan justru menggenggam lebih erat.

"Jangan lepas," bisik Nathan. "Biarkan mereka tahu."

Mereka berjalan bersama ke lift—genggaman tidak lepas sampai pintu lift tertutup.

Begitu sendirian di lift, Alara menatap Nathan dengan mata berbinar. "Kamu... kamu serius tadi?"

"Serius apa?"

"Pegang tanganku di depan orang banyak. Semua orang lihat. Besok pasti jadi gosip—"

"Bagus." Nathan tersenyum—senyum yang membuat jantung Alara berdetak gila-gilaan. "Biar mereka gosip. Biar mereka tahu kalau aku... aku sayang sama istriku."

Kata *sayang* itu keluar begitu natural—tapi membuat Alara membeku.

*Sayang.* Nathan bilang *sayang*.

Air matanya memanas lagi—tapi kali ini ia tersenyum. Tersenyum lebar sambil menangis—kombinasi aneh tapi indah.

Nathan tertawa kecil—tawa yang hangat—lalu mengusap air mata Alara lagi. "Kau ini... kenapa nangis terus sih?"

"Karena aku bahagia," jawab Alara jujur. "Sangat bahagia."

Lift berhenti di lantai 15—lantai divisi desain Alara. Pintu terbuka.

Nathan tidak melepaskan genggaman tangannya—justru ia ikut keluar, mengantar Alara sampai ke pintu divisi.

Semua mata di divisi desain tertuju pada mereka. Bisikan semakin keras.

"CEO nganter istrinya sampai divisi?"

"Gila... mereka romantis banget..."

"Aku kira pernikahan mereka cuma formalitas..."

Nathan berhenti di depan pintu divisi. Ia berbalik menatap Alara—menatap dengan tatapan yang membuat Alara ingin meleleh.

"Kerjanya jangan terlalu keras. Kalau lelah, istirahat. Jangan lupa makan siang. Dan..." Nathan mendekat sedikit, "...kalau ada yang ganggu kamu, bilang ke aku."

Alara mengangguk—tidak percaya ini benar-benar terjadi.

Nathan mengusap puncak kepala Alara dengan lembut—gerakan yang sangat... manis. Lalu ia berbalik pergi ke lift—tapi sebelum pintu lift tertutup, ia menatap Alara sekali lagi dan tersenyum.

Senyum yang membuat Alara berdiri membeku di tempat—dengan senyum lebar di wajahnya dan air mata yang mengalir.

Begitu Nathan hilang, Rian langsung menghampiri dengan mata berbinar. "ALARA! Apa-apaan itu tadi?! CEO nganter kamu?! Pegang tangan?! Usap kepala?! Kalian... kalian beneran couple goals banget sih!"

Alara tertawa—tawa yang lepas, yang sudah lama tidak ia rasakan. "Aku... aku juga nggak percaya."

"Girl, kamu harus cerita! Lunch nanti ya! Aku mau denger semuanya!"

---

**SIANG HARI, KANTIN**

Gosip menyebar dengan cepat. Satu gedung sudah tahu—CEO menggenggam tangan istrinya di lobby, mengantar sampai divisi, mengusap kepala dengan lembut.

"CEO mulai sayang istri?"

"Kayaknya hubungan mereka udah berubah deh..."

"Romantis banget sih... padahal biasanya CEO dingin..."

Alara makan siang dengan Rian—untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak makan sendirian di meja pojok. Orang-orang masih menatap, masih bisik-bisik, tapi kali ini... beda. Tidak ada tatapan sinis. Hanya... penasaran.

"Jadi... gimana ceritanya?" tanya Rian antusias.

Alara menceritakan—tentang sakit, tentang Nathan yang merawat, tentang perubahan yang terjadi. Ia tidak cerita detail—tidak cerita tentang rasa sakit, tentang tangisan, tentang luka yang belum sembuh sempurna.

Ia hanya cerita tentang kehangatan yang baru ia rasakan.

Dan saat menceritakan itu, wajah Alara bersinar—bersinar dengan kebahagiaan yang tulus.

Tapi Alara tidak tahu—tidak melihat—di meja seberang, Kiara duduk sendirian sambil menatap Alara dengan tatapan yang gelap.

Tatapan yang penuh dengan... kecemburuan. Kebencian. Dan... tekad.

Kiara menggenggam ponselnya erat—jari-jarinya memutih.

*Jadi Nathan mulai sayang sama Alara?* batinnya pahit. *Jadi dia bisa berubah... tapi bukan untukku? Bukan untuk wanita yang dia cintai lima tahun lalu?*

Sesuatu di dadanya meledak—amarah yang sudah ia pendam sejak ia lihat Nathan dan Alara di lobby tadi pagi.

Ia datang ke Jakarta untuk merebut Nathan kembali. Ia tinggalkannya lima tahun lalu karena terpaksa—karena keluarganya memaksa, karena ada masalah yang tidak bisa ia atasi.

Tapi sekarang ia kembali—dan Nathan sudah milik orang lain.

*Tidak. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi.*

Kiara mengetik pesan cepat—pesan untuk seseorang yang ia kenal dari luar negeri. Seseorang yang bisa membantunya.

**Kiara:** *Aku butuh bantuanmu. Ada yang harus aku hancurkan.*

Kirim.

Lalu ia menatap Alara yang tertawa bersama Rian—tertawa dengan wajah bahagia.

Dan Kiara tersenyum—senyum yang dingin, yang berbahaya.

*Nikmati kebahagiaanmu selagi bisa, Alara. Karena aku akan pastikan... Nathan akan kembali padaku. Dan kamu... kamu akan hancur.*

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 17]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!