Hanya dengan tinjunya, dia menghancurkan gunung.
Hanya dengan tinjunya, dia membuat lawan gemetar.
Hanya dengan tinjunya, dia menjadi yang terkuat di bawah langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARDIYANSYAH SALAM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35.
Bel baru saja berdentum, dan udara meledak dengan qi yang tajam. Yao Fang tahu ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu.
Berbeda dengan pendekatan strategis yang hati-hati di babak sebelumnya, kali ini ia didorong oleh urgensi mutlak—ia harus menang.
Dengan raungan yang sarat tekad, Yao Fang segera menghunus pedangnya.
Bilah pedang itu seketika bersinar dengan cahaya keemasan yang intens, yang merupakan hasil dari Seni Internal Peningkatan Qi yang ia salurkan ke pedang.
Ini adalah teknik yang meningkatkan kecepatan dan daya potong pedangnya ke tingkat mematikan.
Yao Fang melesat maju, melancarkan serangan brutal dan tanpa henti.
Tebasan, tusukan, dan sapuan pedangnya membentuk hujan baja yang ditujukan untuk membanjiri pertahanan Thunder Fist.
Namun, di hadapan badai serangan itu, Thunder Fist (Yao Ming) berdiri dengan tenang.
Ia tidak menghunus senjata, dan ia bahkan tidak menggunakan teknik pertahanan.
Sebaliknya, ia mengandalkan kecepatan reaksi dan penguasaan pergerakan yang luar biasa.
Setiap serangan pedang Yao Fang—secepat dan sebrutal apa pun itu—selalu dihindari pada detik terakhir.
Ketika pedang melesat ke kepalanya, Thunder Fist hanya menundukkan kepala sejauh satu inci.
Ketika pedang menusuk jantungnya, ia bergeser ke samping dengan langkah kecil yang nyaris tak terlihat.
Bahkan, saat Yao Fang melakukan tebasan sapuan rendah, Thunder Fist melompat dengan gerakan yang sangat minimal, hanya sejauh yang diperlukan untuk menghindari bilah pedang.
Pedang Yao Fang mendesis dan mengiris udara, tetapi ia tidak pernah mengenai sasarannya.
Pakaian hitam Thunder Fist berkibar sedikit oleh hembusan udara dari gerakan pedang yang lewat, tetapi ujung pakaiannya pun tidak tersentuh.
Wajah Yao Fang mulai menunjukkan keputusasaan dan kekesalan yang mendalam.
Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, qi-nya mengalir liar, namun ia seperti menyerang hantu.
"Kenapa kau hanya menghindar?!" raungnya, frustrasi memenuhi suaranya. Ia merasa dipermainkan.
Thunder Fist tetap diam, matanya di balik penutup wajah hanya menunjukkan fokus dingin.
Di tengah rentetan serangan dan suara desahan pedang yang memekakkan telinga, Thunder Fist (Yao Ming) sejenak teralih.
Bukan oleh serangan fisik, melainkan oleh kilasan ingatan yang mendadak muncul—ingatan pahit dari pemilik tubuh aslinya.
Dalam ingatan itu, terbayang sosok Yao Ming (yang asli) terkapar lemah di tempat tidur, napasnya terputus-putus, dan di sana, samar-samar, berdiri sosok yang familier: saudara keduanya—Yao Fang.
Meskipun Yao Ming yang sekarang memiliki kendali atas tubuh ini, rasa sakit dan pengkhianatan dari ingatan itu melintas cepat, membangkitkan kemarahan yang dingin.
Ini bukanlah pertarungan melawan musuh anonim, tetapi pertarungan melawan bayangan masa lalu yang kelam.
Kilasan itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi sudah cukup untuk memicu keputusan.
Thunder Fist berhenti menghindar.
Dengan gerakan yang sangat cepat dan terhitung, ia menggunakan celah yang ditinggalkan oleh tebasan liar Yao Fang.
Satu langkah cepat memungkinkannya melewati jangkauan pedang.
Pedang Yao Fang kini berada di belakangnya, sementara ia sudah berada di depan tubuh Yao Fang.
Yao Ming tidak menggunakan Thunder Fist atau Pukulan Kilat.
Ia hanya mengandalkan kekuatan fisik murni yang telah ditempa oleh disiplin yang luar biasa—sebuah pukulan yang didorong oleh kemarahan masa lalu.
TINJU BIASA miliknya melesat.
BRUGH!
Pukulan itu menghantam perut Yao Fang dengan keras dan tepat.
Meskipun tanpa qi yang menyertai, kekuatan mentah pukulan itu cukup untuk menghentikan semua gerak Yao Fang seketika.
Mata Yao Fang terbelalak karena terkejut dan rasa sakit.
Aliran qi di pedangnya seketika terputus, dan pedang itu jatuh dari genggaman tangannya dengan bunyi klang yang nyaring.
Yao Fang terhuyung ke belakang, tubuhnya membungkuk, dan ia terbatuk keras.
Serangan tersebut tidak sebrutal Pukulan Kilat yang mengalahkan Wang Jun, tetapi cukup untuk mengejutkan dan melumpuhkan sementara saudaranya, mengakhiri serangan brutalnya.