Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Leora duduk di bangku taman belakang rumahnya, menikmati angin siang yang sejuk dibawah pohon mangga yang rindang. Telepon genggamnya menempel di telinga, suara Claura terdengar riang di seberang.
“Jadi gimana, Ra? Pernikahan masih adem-adem aja kan?” tanya Claura, terdengar geli.
Leora tersenyum tipis, menatap bunga-bunga yang sedang bermekaran. “Iya, biasa aja sih… masih hampar, hehe. Tapi tenang aja, aku pasti bisa luluhin hatinya Leonard,” katanya mantap, seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Claura menahan tawa, “Hah… luluhin hati? Wah, Ra, kayaknya serius banget nih. Jangan-jangan kamu udah ada strategi rahasia?”
Leora terkekeh pelan, “Eh, belum lah… tapi aku yakin pasti bisa.”
Tiba-tiba wajahnya berubah serius, seolah terlintas sesuatu. “Eh… tapi aku belum menyimpan nomor Leonard…” ucapnya sambil menatap layar teleponnya sendiri, sedikit ragu.
Claura tertawa kencang di seberang, “Leonard? Wtf, Ra! Harusnya sih ‘sayang’ kek ‘mas’ kek gitu… Dia kan dua tahun lebih tua dari lo, masa belum nyimpen nomor suami sendiri?”
Leora mengangkat bahu, menatap layar ponsel, lalu menggeleng kecil, “Yaelah… aku nggak terlalu peduli, sih…”
Claura menekankan nada bercanda tapi tegas, “Yaudah, sono! Chat kek! Masa sama suami sendiri nggak saling simpan nomor? Ntar kalau ada apa-apa gimana, hayo?”
Leora menggigit bibir bawahnya, menatap layar ponsel. Ia menahan napas sebentar, pikirannya berputar. Gimana ya caranya chat… santai aja atau langsung serius? Jangan sampai dia mikir aku lebay…
Claura menunggu di seberang telepon, “Ra? Kamu diem aja? Gas aja dong, haha.”
Leora menutup mata sebentar, menghela napas. “Hmmm… oke deh… tapi aku mikir dulu sebentar, Cla. Biar pesannya nggak salah.”
Claura tertawa geli, “Waduh… Leora, kamu ini lucu banget sih. Sikat aja, jangan ragu!”
Leora tersenyum tipis, membuka aplikasi chat di ponselnya, dan mulai mengetik dengan hati-hati, jari-jarinya sedikit gemetar. Tenang… santai aja, ini cuma chat ke suami sendiri…
Leora masih termenung, jari-jarinya menatap layar ponsel, ketika terdengar langkah ringan dari samping.
“Eh, Nyonya… saya bawain ini, buat nemenin bersantai,” suara Bu Neni terdengar hangat sambil membawa nampan berisi gelas jus segar, potongan buah, dan beberapa camilan kecil.
Leora kaget mendengar suara itu tiba-tiba. Reflex, ia langsung menyembunyikan ponselnya di bawah pahanya, sedikit menunduk dan memutar tubuh seolah tak ingin Bu Neni melihatnya.
“Wah… Bu Neni, kaget banget saya…” ucap Leora sambil tersenyum canggung.
Bu Neni tersenyum lebar, meletakkan nampan di meja kecil dekat bangku taman. “Santai aja, Nyonya. Nikmati bersantainya. Jangan terlalu tegang mikirin kerjaan atau apapun itu. Eh, ngomong-ngomong, Nyonya masih sakit perut nggak?”
Leora menggeleng cepat, “Enggak, Bu Neni… sekarang udah enakan, makasih,” ujarnya sambil mencoba menenangkan diri.
Bu Neni menatapnya dengan mata lembut, “Ah, baguslah… tapi tetap jangan dipaksain, ya. Nikmati saja.”
Leora menatap nampan itu, mencoba menenangkan diri. “Wah… makasih, Bu Neni… ini pas banget, lagi pengen ngemil dan minum jus dingin,” katanya sambil meraih gelas jus dengan tangan sedikit gemetar.
Bu Neni tertawa lembut, “Ah, santai aja, Nyonya. Kalau memang mau chat atau apapun, nggak perlu panik. Semua pasti bisa diatur.”
Leora menatap jus segar itu, lalu menatap ponsel yang masih tersembunyi di bawah pahanya. Hatinya sedikit lega karena Bu Neni tidak terlihat curiga. Oke, tenang… aku bisa… tapi harus sabar sebentar sebelum kirim chat, gumamnya dalam hati.
Sambil menikmati potongan buah segar dan menenangkan diri, Leora mulai merencanakan kata-kata pesan ke Leonard.
Bu Neni sudah pergi dari taman belakang. Suasana kembali tenang, hanya ada angin yang berhembus pelan dan suara dedaunan.
Leora menurunkan ponselnya sedikit dari telinga.
“Akh, aku tutup dulu ya. Bye,” ucapnya pada Claura di seberang telepon.
Panggilan pun terputus.
Leora menghela napas, lalu mengetik sebuah pesan singkat di ponselnya.
“Hai.”
Ia meletakkan ponsel di samping bangku taman dan tersenyum tipis. Leora tahu, Leonard pasti tidak akan langsung membalas. Sekarang jam kerja, dia pasti tenggelam sama berkas-berkasnya, pikirnya santai.
Leora meraih gelas jus di atas meja kecil di samping bangku, lalu meminumnya perlahan. Tangannya yang lain memegang perutnya, matanya menatap kosong ke arah taman. Tanpa diminta, ingatannya kembali pada kejadian semalam bersama Leonard. Ada rasa canggung dan hangat yang bercampur jadi satu.
Leora menggeleng kecil, seolah menegur dirinya sendiri. Ia meraih camilan di nampan dan mulai memakannya, berusaha mengalihkan pikirannya.
Sementara itu, di kantor Alastair Group, Leonard melirik ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan masuk bertuliskan “Hai” dari nomor tidak dikenal.
“Ah… Jaesica lagi,” gumamnya dingin. “Benar-benar seperti hama.”
Ia meletakkan ponsel kembali dan melanjutkan pekerjaannya tanpa peduli.
Setengah jam kemudian, Leonard mengambil ponselnya lagi dan membalas singkat.
“?”
Di taman belakang, ponsel Leora bergetar di atas meja kecil. Ia meliriknya, lalu membeku sesaat saat melihat balasan itu.
“Hah?” Leora refleks mengeluarkan suara kecil, lalu menutup mulutnya sendiri.
Sudut bibirnya terangkat, matanya menyipit menahan tawa. Ada rasa geli yang tiba-tiba muncul, seolah ia baru saja berhasil mengusili seseorang tanpa usaha apa pun.
“Leonard…” gumamnya pelan, sambil menatap layar ponsel dengan senyum yang sulit disembunyikan
Leora masih menatap layar ponselnya di taman belakang. Balasan singkat itu hanya satu tanda tanya membuat sudut bibirnya naik lebih tinggi.
“Pendek banget sih,” gumamnya pelan, nyaris tertawa.
Jarinyapun mulai bergerak, mengetik dengan santai.
“Maaf, salah kirim.”
Pesan itu terkirim. Leora menyenderkan punggung ke bangku taman, ekspresinya polos seolah benar-benar tidak terjadi apa-apa. Ia menyesap jusnya lagi, menunggu.
Tak lama kemudian, balasan masuk.
“Salah kirim ke nomor saya?”
Leora menatap layar, lalu menutup mulutnya menahan tawa. Kena, batinnya. Kali ini ia sengaja sedikit bermain.
“Iya. Harusnya ke orang lain. Tapi ya sudahlah.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan satu pesan lagi sebelum Leonard sempat berpikir panjang.
“Maaf mengganggu waktu kerjanya.”
Leora mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di pangkuan. Wajahnya tetap tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang jelas sedang iseng. Angin taman berembus pelan, tapi detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya.
Di kantor Alastair Group, Leonard menatap layar ponselnya dengan alis berkerut.
“Ya jelas mengganggu,” gumamnya pelan.
Namun entah kenapa, jarinya tetap membalas.
“Anda tahu ini jam kerja.”
Setelah mengirim pesan itu, Leonard berhenti. Ia menatap layar beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Biasanya ia akan langsung mengabaikan pesan seperti ini. Tapi kali ini… ada sesuatu yang aneh. Gaya bahasanya terlalu sopan, terlalu tenang, dan tidak memaksa.
Di taman belakang, Leora melihat balasan itu. Ia terkekeh kecil, bahunya sedikit bergetar menahan tawa.
“Jam kerja katanya,” bisiknya sambil tersenyum.
Ia membalas dengan nada yang tetap rapi, nyaris terlalu manis.
“Baik. Saya tidak akan mengganggu lagi.”
Setelah pesan itu terkirim, Leora mengunci ponselnya. Senyum tipis masih bertahan di wajahnya, seolah ia baru saja memenangkan permainan kecil yang hanya ia sendiri tahu aturannya.
“Cukup segini,” gumamnya ringan, lalu kembali fokus pada camilan di atas nampan.
----
Di kantor Alastair Group, Leonard menatap layar ponselnya cukup lama. Entah kenapa, kalimat “Saya tidak akan mengganggu lagi” terasa… mengganjal. Terlalu rapi. Terlalu tenang.
“Aneh,” gumamnya pelan.
Tanpa banyak berpikir, Leonard menekan ikon panggilan.
Di taman belakang, Leora yang sedang menggigit camilan tiba-tiba terbatuk kecil.
“Uh—”
Ia tersedak, buru-buru menepuk dadanya sendiri. Saat matanya melirik ke ponsel di meja kecil, layar itu menyala menampilkan panggilan masuk.
Jantung Leora langsung berdegup kencang.
Leonard…?
Tangannya sedikit gemetar saat meraih ponsel. Ia menelan ludah, menarik napas pelan, lalu mengangkat panggilan itu.
Leora tidak bersuara. Ia hanya diam, menahan napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.
Di seberang sana, beberapa detik berlalu sebelum akhirnya suara Leonard terdengar tenang.
“…”
Kemudian, Leonard membuka suara terlebih dahulu.
“Siapa ini?”
Leora refleks menggenggam ponselnya lebih erat. Ia tetap diam, bahkan berusaha menahan napas agar tidak terdengar.
Leonard menghela napas pelan.
“Kalau Anda memang salah kirim, seharusnya tidak perlu takut mengangkat telepon.”
Nada suaranya datar, tapi tajam.
“Saya hanya ingin memastikan. Tidak lebih.”
Di seberang sana, Leonard menyipitkan mata. Ada jeda singkat, terlalu sunyi untuk sebuah panggilan dari orang asing. Lalu ia mendengar tarikan napas yang sangat halus nyaris tak terdengar.
Alis Leonard berkerut.
“Itu…” suaranya merendah, tak lagi sekaku sebelumnya
Leonard terdiam sesaat, lalu menyebut satu nama dengan nada yang nyaris tidak percaya.
“Leora?”
Di taman belakang, Leora memejamkan mata. Sudah tidak ada gunanya berpura-pura lagi.
“Iya…” jawabnya akhirnya, suaranya pelan dan sedikit canggung.
“Ah—maafkan aku. Aku cuma… iseng sedikit.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada ringan, seolah ingin menetralkan suasana.
“Jadi… simpan nomorku ya.”
Hening.
Di kantor Alastair Group, Leonard menegakkan punggungnya. Nada suaranya berubah drastis tegas, dingin, khas CEO yang ditakuti semua orang.
“Kamu sadar ini jam kerja?” ucapnya tajam.
“Bukan waktu yang tepat untuk hal-hal seperti ini.”
Leora bisa membayangkan ekspresinya tanpa melihatnya.
“Kamu mengirim pesan dari nomor tidak dikenal, membuat saya membuang waktu, lalu menelepon tanpa alasan jelas,” lanjut Leonard.
“Kalau ada sesuatu yang penting, katakan dengan jelas. Jangan bermain-main.”
Di taman belakang, Leora menggigit bibirnya, menahan senyum kecil yang hampir lolos.
“Maaf,” katanya singkat, kali ini lebih serius.
“Aku cuma mau menyapa.”
Leonard menghela napas kasar.
“Menyapa bisa menunggu. Saya bekerja.”
Nada itu terdengar marah namun anehnya, tidak sepenuhnya dingin. Ada sesuatu yang terasa… tertahan.
“Aku tutup ya,” lanjut Leonard cepat.
“Jangan lakukan ini lagi saat jam kerja.”
Klik.
Panggilan terputus.
Leora menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghela napas panjang. Setelah itu, sudut bibirnya perlahan terangkat.
“Marahnya konsisten,” gumamnya pelan, sambil menatap taman yang kembali tenang.
Tangannya refleks menyentuh ponsel.
Setidaknya… dia langsung tahu itu aku.