Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34 - Mencemaskan
Ponsel itu bergetar lagi di tangan Dita. Jemarinya gemetar saat ia membuka pesan lanjutan. Kali ini bukan sekadar teks, melainkan beberapa foto yang langsung membuat dadanya terasa seperti diremas.
Seorang pria yang sangat Dita kenal Firza, suaminya, tampak sedang berjalan berdampingan dengan seorang wanita berambut panjang. Keduanya masuk ke sebuah bangunan dengan papan nama hotel yang cukup jelas. Di foto berikutnya, Firza terlihat tertawa, sementara wanita itu menggenggam lengannya dengan akrab. Dita menutup mulutnya refleks. Nafasnya tercekat.
“Ka-kak?” Rangga langsung berdiri dari duduknya. “Kak Dita kenapa?”
Namun Dita tak menjawab. Matanya panas, pandangannya kabur oleh air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa bisa dicegah. Tangannya melemas, ponsel itu hampir saja terlepas jika Rangga tidak sigap menangkapnya.
Dita berdiri mendadak. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan cepat menuju kamarnya. Langkahnya tergesa, pintu kamar dibanting cukup keras hingga membuat Rangga tersentak.
“Kak!” Rangga mengejar dan mengetuk pintu. “Kak Dita, buka pintunya. Kita ngomong baik-baik.”
Tak ada jawaban. Dari dalam kamar, Dita menjatuhkan tubuhnya ke tepi ranjang. Tangisnya pecah. Isak yang selama ini dia tahan, setiap kecurigaan kecil, setiap perubahan sikap Firza, setiap alasan lembur yang terlalu sering, semuanya seperti menemukan muaranya sekarang.
“Kenapa, Mas… Padahal kau sudah janji..." gumamnya lirih sambil memeluk bantal. Dadanya sesak, perutnya mual. Ia merasa bodoh karena selama ini mencoba percaya.
Di luar kamar, Rangga bersandar di pintu. Wajahnya tegang, bingung harus berbuat apa. Ia belum pernah melihat kakak iparnya menangis seperti ini.
“Kak, aku di sini,” ucapnya pelan, meski tahu Dita mungkin tak mendengar. “Kalau Kakak mau cerita, aku dengerin.”
Tak ada respons. Waktu berjalan lambat. Rangga duduk di lantai depan kamar, menunggu. Sesekali ia mengetuk pintu, tapi tetap saja sunyi. Hanya suara tangis teredam yang membuat hatinya ikut perih.
Menjelang magrib, suara motor terdengar di depan rumah. Rangga refleks berdiri. Pintu dibuka, dan Firza masuk sambil melepas jaketnya.
“Ga, Dita mana?” tanya Firza santai, seolah tak terjadi apa-apa.
Rangga menatapnya tajam. Untuk pertama kalinya, ia merasa marah pada pria yang selama ini dirinya anggap sebagai sosok dewasa yang bisa diandalkan. Terlebih usia pernikahan Firza dan Dita belum genap tiga bulan. Kalau dikata, baru seumur jagung.
“Di kamar,” jawab Rangga singkat. “Seharian.”
Firza mengernyit. “Kenapa?”
Rangga mengepalkan tangan. “Abang nggak ngerasa ada yang perlu dijelasin?”
Firza mengerutkan dahi. "Kau bicara apa?!" timpalnya.
Rangga tertawa kecil, pahit. “Aku kira Bang Firza itu beda dari polisi-polisi yang aku kenal, ternyata sama saja!" tukasnya.
"Kau bilang apa?! Eh! Kau bisa makan dan sekolah itu karena gajiku ya!" geram Firza.
"Aku tahu... Maaf..." Rangga menunduk. Dia memutuskan menahan amarahnya.
Firza memilih mengabaikan Rangga. Ia melangkah ke arah kamar. Namun dia tak bisa masuk karena Dita menguncinya dari dalam.
"Dek! Kau kenapa?! Suaminya datang bukannya disambut. Aku lapar!" ujar Firza dengan raut wajah cemberut.
Tak lama Dita membuka pintu dan beranjak ke dapur. Ia segera menyiapkan makanan untuk Firza.
Rangga tak berkata apa-apa. Ia juga tidak mau terlalu ikut campur pada urusan rumah tangga kakaknya. Meskipun sebenarnya dalam hati dirinya penasaran dan mencemaskan Dita. Rangga hanya berharap alasan Dita menangis tadi tidak berkaitan dengan Firza.
"Udah nggak sabar pengen cepat lulus, terus merantau ke kota," gumam Rangga.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari