Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Dinner yang Menghipnotis
Untuk beberapa detik setelah kalimat Marvin itu meluncur—tenang, dalam, dan terasa seperti tangan besar yang baru saja mengetuk pintu hatinya perlahan—Liora hanya bisa duduk mematung di kursinya. Dunia seolah terhenti di sekelilingnya. Lampu hangat restoran yang tadinya romantis berubah seperti sorotan spotlight yang menyinari wajahnya, suara jazz yang lembut menjadi samar, tenggelam oleh suara degup jantungnya yang memukul dada seperti drum konser; dan aroma steak dari dapur terasa jauh, seolah hidungnya berhenti berfungsi.
Ia berkedip pelan, lalu cepat, lalu pelan lagi—seperti komputer tua yang sedang memproses file terlalu besar. Tangannya terangkat sedikit, lalu turun, lalu naik lagi tanpa tujuan. Mulutnya terbuka seolah ingin bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Wajahnya memerah sampai ke telinga, tubuhnya terasa panas dari ujung rambut sampai ujung kaki, dan napasnya tertahan di tenggorokan.
Marvin, di seberangnya, hanya menonton. Duduk rapi, tenang, satu tangan menopang dagu, tidak bergerak sama sekali. Bahkan senyumnya pun tidak berubah—tipis, halus, seolah ia sedang menikmati bagaimana kata-katanya tadi membuat Liora hang error total.
Dan itu justru membuat Liora makin kacau.
Ia akhirnya menutup wajah dengan kedua tangan, menunduk, dan mengeluarkan suara kecil yang terdengar seperti campuran teriakan tertahan dan tawa malu.
“Aduh… aduuhhh… Mas Marvin… astagaaaa…” gumamnya pelan, suaranya setengah patah, setengah ngakak, tapi jelas penuh rasa manis yang tidak bisa ia sembunyikan. “Kenapa ngomongnya begituuu… kenapa bahasanya kayak… kayak adegan klimaks film romantis banget…”
Ia mencoba bernapas, tapi napas itu tersangkut karena jantungnya masih menendang-nendang seperti pemain drum festival.
Marvin akhirnya bersuara, tenang seperti sedang membaca laporan keuangan. “Liora.”
Liora tidak mengangkat wajahnya. Ia hanya menggeleng cepat. “Tunggu… tunggu… jangan panggil namaku dulu… aku lagi mau mati karena malu…”
Marvin terkekeh pelan—pertanda ia benar-benar menikmati adegan ini. “Aku cuma bilang apa yang perlu aku bilang.”
Liora menurunkan tangannya perlahan, masih dengan wajah memerah menyala, dan menatapnya seperti ia sedang melihat matahari dari jarak dua senti. “Mas… tau nggak… aku itu tadi deg-degan biasa. Tapi habis Mas ngomong gitu… aku… aku… aku deg-degan ekstrim kelas internasional. Kayak jantung aku disuruh sprint tanpa izin.”
Marvin hanya mengangguk kecil, seolah itu informasi yang sangat ia harapkan.
“Aku senang kamu deg-degan,” jawabnya, santai sekali.
Liora menepuk meja pelan. “Mas! Jangan ngomong begituuuu… aku bisa pingsan tau!”
Marvin bersandar, menatapnya dengan mata gelap yang lembut namun serius dari dalam. “Kalau kamu pingsan, aku tinggal angkat kamu pulang.”
Liora langsung menutup wajah lagi. “MAS MARVIN… SERIUS IH…”
Tapi di balik setiap kata kacau itu, rasa bahagia yang memenuhi dadanya begitu nyata. Ia tidak menyangka pria se-dingin-itu, se-teratur-itu, se-tenang-itu… bisa menyatakan perasaan dengan cara yang membuat lututnya lemas dan pipinya panas.
Ia tidak menyangka ia bisa dipilih oleh seseorang seperti Marvin. Ia tidak menyangka ia bisa membuat pria se-tidak-ekspresif itu berkata begitu banyak untuk menunjukkan hatinya.
Dan yang paling tidak ia sangka— Ia menyukainya. Sangat.
Ia menurunkan tangan perlahan, menatap Marvin dengan mata kecil berair yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
“…jadi Mas Marvin beneran serius sama aku?”
Marvin menatapnya dalam, dan jawaban itu datang pelan tapi pasti, dengan suara rendah yang tidak bisa disalahartikan:
“Aku tidak pernah main-main dengan apa pun yang aku pilih, Liora. Termasuk kamu.”
Jantung Liora langsung salto fullback berkali-kali.
Dan di saat itu—di restoran hangat dengan lampu kuning, aroma steak, dan suara jazz lembut—Liora merasa bahwa seluruh sore itu adalah awal dari sesuatu yang sangat besar.
Marvin memilihnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama… Liora tidak ingin lari.
**
Restoran fine dining itu terletak di area pusat kota Surabaya dengan halaman luas didepannya dan juga kaca besar yang mengelilinginya, dengan pemandangan kota Surabaya malam hari yang terlihat begitu megah dari balik dinding kaca penuh. Meja-meja tertata rapi dengan taplak putih, lilin kecil yang menyala lembut, dan alunan musik instrumental yang mengusap ruangan dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Tempat yang sama… tempat mereka pernah duduk berdua dua kali sebelumnya—tempat yang secara perlahan menanamkan kenangan manis di antara mereka tanpa perlu kata-kata eksplisit.
Bulan melangkah masuk tepat di sisi Bhumi. Dan tanpa ia sadari, setiap langkahnya menyatu dengan langkah pria itu, seolah tubuh mereka mengikuti ritme yang sama.
Pelayan langsung mengenali Bhumi, menyapa dengan hormat, lalu menuntun mereka ke meja pojok ,tempat yang menghadap langsung ke hamparan taman restoran. Bhumi menarik kursi untuk Bulan, gerakannya tenang namun penuh perhatian; tidak berlebihan, tidak dipaksa, hanya natural… seperti sesuatu yang sudah lama ia lakukan.
Bulan duduk pelan sambil menahan senyum. Sebagian kecil dirinya masih sulit percaya bahwa laki-laki sehangat ini… nyatanya ada. Dan sekarang duduk berhadapan dengannya.
Bhumi duduk setelah memastikan posisi Bulan nyaman. Saat pelayan datang, Bhumi mengambil alih menu, menanyakan preferensi Bulan seperti ia sudah hafal semuanya,
“Mau yang biasa atau mau coba menu baru, Sayang?”
Bulan memerah. Pemanggilan itu—Sayang—terlalu lembut, terlalu stabil, terlalu… Bhumi.
“Yang biasa saja.” Suara Bulan lebih pelan dari biasanya.
Bhumi mengangguk dan memesan keduanya tanpa perlu melihat menu. Setelah pelayan pergi, suasana di meja itu berubah lebih intimate—hanya mereka berdua, lilin kecil yang berkelip lembut, dan pemandangan malam yang tampak seperti sebuah lukisan mahal.
Bulan menatap tangannya sendiri, mencoba menstabilkan napas. Dalam hati, ia tahu betapa banyaknya laki-laki yang pernah menyukainya—dari yang sekadar mengagumi hingga yang mencoba mendekat dengan cara terang-terangan. Ia bukan hanya cantik; pembawaannya yang tenang, lembut, dan rasional membuat banyak orang merasa tertarik tanpa ia perlu berusaha. Bahkan beberapa pria yang berani mendekatinya dulu mengaku bahwa auranya seperti “rumah”—tenang, aman, menenangkan.
Namun dari semuanya… hanya satu pria yang bisa membuatnya merasakan sesuatu yang berbeda. Hangat. Aman. Tapi juga membakar secara halus.
Dan itu adalah Bhumi.
Saat sup disajikan, Bhumi menukar posisi piring mereka tanpa bicara—karena sup Bulan selalu terlalu panas kalau baru disajikan, dan Bhumi tidak mau lidah Bulan kepanasan. Ia menukar piring itu dengan sup miliknya yang sudah lebih hangat, kemudian menatap Bulan.
“Makan yang ini dulu. Yang tadi terlalu panas.”
Bulan membeku sejenak. Itu… sederhana. Tapi menghangatkan sampai ke tulang.
Bhumi menyadari kebisuannya. “Kenapa?”
Bulan menggeleng, suaranya hampir berbisik. “Mas selalu begini ya… perhatian.”
Bhumi tersenyum kecil. “Kalau sama kamu, iya.”
Wajah Bulan memerah lagi.
Mereka makan pelan, menikmati suasana yang semakin lembut. Sampai akhirnya Bulan memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sejak dulu tersimpan.
“Mas… boleh aku tanya sesuatu?”
Bhumi mengangkat wajah, matanya langsung fokus penuh. “Tentu.”
“Kapan… Mas mulai suka sama aku?”
Bhumi tidak langsung menjawab. Ia menaruh sendoknya, mengambil napas kecil, lalu menatap Bulan lama—tatapan yang tidak hanya melihat wajahnya, tapi masuk jauh, seolah menembus lapisan-lapisan yang Bulan tutupi.
“Aku inget banget,” katanya akhirnya. “Acara event marketing produk digital… di ballroom Arjuno Grand Hotel.”
Bulan mengerutkan alis. “Yang dulu… hampir sebulan yang lalu?”
Bhumi mengangguk. “Aku datang sebagai tamu rumah. Kamu presentasi. Dan…” Ia berhenti sebentar, senyumnya tipis tapi penuh makna. “…sejak itu, wajah kamu nggak pernah keluar dari pikiranku.”
Jantung Bulan langsung berlari. “Mas serius?” suaranya pelan, nyaris tidak percaya.
“Sangat.” Bhumi mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya menurun menjadi nada yang hanya untuk Bulan.
“Aku ingat cara kamu bicara… cara kamu menjelaskan sesuatu dengan tenang, jelas, dan tanpa perlu meninggikan suara. Semua orang di ruangan itu memperhatikan kamu. Dan aku…” Ia tersenyum sedikit, seperti mengakui sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. “…aku memperhatikan kamu lebih dari siapapun.”
Bulan menunduk cepat. Wajahnya merah sampai ke telinga.
Bhumi tertawa kecil, suaranya hangat. “Kamu malu?”
“…iya,” jawab Bulan pelan.
Bhumi meraih tangannya di atas meja. “Jangan malu. Itu hal paling jujur yang pernah aku bilang.”
Bulan menggigit bibirnya, hatinya terasa penuh.
“Jadi Mas… sejak awal udah suka sama aku?”
Bhumi mengangguk. “Iya, Bulan. Keliatannya cepet banget –“ ada jeda sesaat sebelum Bhumi melanjutkan ucapannya. “Tapi percaya, sejak awal ngeliat kamu, gak tau kenapa aku udah ngerasa deket sama kamu.”
“Kenapa nggak pernah bilang?”
Bhumi menatapnya dengan mata gelap yang lembut. “Aku nunggu. Nunggu kamu siap. Nunggu waktunya pas. Nunggu… kamu lihat aku juga.”
Sebenarnya Bhumi juga tidak tau pasti sejak kapan seorang Bulan menyentuh hatinya, tapi yang pasti semenjak pertama kali ia melihat Bulan berbicara di ballroom hotel, sejak saat itu hatinya sudah terpaut dengan Bulan.
Bulan terdiam. Jantungnya hangat dan perih sekaligus—jenis perasaan yang hanya muncul bila seseorang benar-benar menyentuh kedalaman hati.
Bhumi mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. “Dan sekarang… aku syukur banget kamu akhirnya ada di sini, duduk di depan aku, makan malam sama aku. Itu cukup buat aku.”
Bulan tersenyum kecil, suara pelannya seperti embusan angin lembut.
“Aku juga senang ada di sini, Mas…”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya—Bulan mengerti arti dicintai dengan cara yang dewasa, tenang, stabil, namun menghangat sampai ke dasar hati.
*
Setelah makan malam selesai, Bhumi berdiri dan mengulurkan tangannya pada Bulan. Gerakannya pelan, tidak memaksa, tapi penuh undangan lembut yang membuat Bulan langsung tahu bahwa ia ingin memberinya sesuatu yang tidak bisa diberikan lewat meja makan.
“Ayo,” katanya.
“Kemana?” tanya Bulan pelan.
“Naik ke skydeck sebentar. suasananya bagus malam ini.”
Bulan tidak membantah. Ia bangkit dan menyelipkan tangannya pada Bhumi, dan keduanya berjalan keluar restoran menuju lift kaca yang membawa mereka ke lantai paling atas—tempat terbuka dengan pemandangan kota Surabaya di malam hari yang terlihat seperti hamparan bintang yang tumpah ke bumi.
Angin malam yang tinggi menyapa wajah Bulan ketika pintu skydeck terbuka. Udara di atas terasa berbeda—lebih sejuk, lebih segar, dan lebih sunyi dengan cara yang hanya ditemukan di ketinggian. Lampu-lampu jalan di bawah berpendar seperti kilau permata, kendaraan tampak kecil seperti titik-titik cahaya yang melintas tenang.
Bhumi menggenggam tangan Bulan lebih erat, seakan memastikan angin malam tidak akan mencurinya.
“Dingin nggak?” tanya Bhumi, suaranya lembut, hampir tenggelam oleh suara angin.
“Sedikit…” jawab Bulan jujur.
Bhumi menggeser posisi tubuhnya sedikit mendekat ke Bulan, membiarkan sebagian tubuhnya menjadi pelindung alami dari angin. Genggamannya tidak dilepas. Ibu jarinya mengusap punggung tangan Bulan dengan ritme kecil yang membuat jantung Bulan bergetar halus.
Mereka berjalan pelan menyusuri pagar kaca tebal yang mengelilingi skydeck, membiarkan pemandangan kota menemani langkah-langkah kecil mereka. Tanpa sadar, Bulan bersandar sedikit pada Bhumi—halus, tanpa intensi apa-apa, hanya mengikuti gravitasi kecil yang selalu menariknya ke arah laki-laki itu.
Bhumi menoleh, melihat gerakan kecil itu, lalu tersenyum.
“Kamu suka tempat tinggi seperti ini?” tanyanya.
Bulan mengangguk. “Suka. Tenang. Rasanya dunia jadi kecil… masalah juga kayak ikut mengecil.”
Bhumi menahan tawa kecil. “Kadang aku mikir yang bikin tenang itu bukan ketinggiannya.”
Bulan menatap bingung. “Terus apa?”
“Kamu.”
Bulan langsung memerah. “Mas ngomong apa sih…”
Bhumi tidak membalas, hanya tersenyum dan kembali memandang lampu kota yang berkilauan. Tapi genggamannya makin erat—seolah ia ingin memastikan kenyataan kecil itu tertanam baik-baik di dalam hati Bulan.
Mereka terus berjalan santai, membicarakan hal-hal remeh, macam film yang baru keluar, makanan favorit, kebiasaan kecil masing-masing, bahkan membahas bagaimana Bulan selalu memiringkan kepala sedikit kalau sedang berpikir keras. Obrolan ringan itu mengalir seperti arus hangat, membuat malam terasa lebih dekat, lebih intim.
Lalu, tanpa peringatan, Bhumi membawa tangan Bulan ke bibirnya dan mengecup punggung tangannya pelan.
Bulan terhenti. Jantungnya seperti baru saja meledak pelan.
“Mas…” suaranya hampir hilang.
Bhumi menatapnya, matanya lembut namun intens, cahaya lampu kota memantul di iris gelapnya.
“Ini kebiasaan buruk aku,” katanya pelan. “Setiap kali aku merasa bersyukur kamu ada di sini… aku selalu ingin nyium tangan kamu.”
Bulan tidak tahu harus membalas apa. Ia hanya menggigit bibir dan menunduk sedikit, berusaha menenangkan detak jantung yang terlalu liar.
Beberapa langkah lagi, mereka tiba di sudut skydeck yang lebih sepi. Tidak banyak orang di sana. Hanya cahaya kota, angin lembut, dan suara kehidupan yang jauh di bawah.
Bulan berhenti untuk memandang pemandangan itu—tangan masih digenggam, tubuhnya sedikit condong maju.
Dan tanpa berkata apa-apa, Bhumi perlahan melingkarkan lengannya di pinggang Bulan dari belakang. Terasa hangat, stabil, dan seperti rumah.
Bulan terkejut kecil, tapi tidak menolak. Ia malah menaruh dua tangannya di lengan Bhumi, membiarkan tubuhnya direngkuh dengan cara paling lembut dan paling jujur itu.
Jantungnya berdetak kuat tapi… nyaman.
Bhumi menempelkan dagunya pelan ke pucuk kepala Bulan, lalu memejamkan mata sejenak, menikmati momen yang terasa seperti hadiah setelah hari panjang yang melelahkan.
“Kamu nyaman?” tanyanya pelan di dekat telinga Bulan.
“…nyaman sekali,” jawab Bulan nyaris berbisik.
Bhumi tersenyum—senyum kecil yang hanya muncul saat bersama Bulan. Ia mengencangkan pelukan itu sedikit, tidak posesif, hanya… memastikan Bulan ada di dalam lingkaran aman miliknya.
“Kalau dunia di bawah terlalu berisik,” ucap Bhumi perlahan, suaranya bergulir hangat melalui angin malam, “kita bisa ke sini lagi. Berdua.”
Bulan menutup mata, membiarkan kehangatan Bhumi memenuhi seluruh dirinya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa berada di sisi seseorang tidak harus berarti kehilangan kendali—kadang itu justru memberi rasa aman yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Terima kasih, Mas,” ucapnya lirih.
“Untuk apa?”
“Untuk… jadi tempat pulang yang menenangkan.”
Bhumi mengecup puncak kepala Bulan. “Aku memang maunya begitu.”
**
tbc