Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Bayangan yang Membayangi
Ketenangan di wajah Jay Valerius seketika lenyap, digantikan oleh kilat dingin dan amarah protektif yang dalam. Kabar bahwa keluarganya sedang diamati oleh operator elite musuh adalah skenario terburuk yang menjadi kenyataan. Rencananya yang cemerlang telah membawa serigala langsung ke depan pintu rumahnya.
Ia tidak membuang waktu. Ia langsung melakukan panggilan terenkripsi. Bukan kepada Paman Chen, tetapi langsung ke nomor satelit milik Elang, komandan tim 'Protokol Bayangan' yang bertugas di Gunung Hantu.
"Elang, ini aku," kata Jay, suaranya datar namun penuh otoritas. "Misi kalian berubah. Proyek adalah prioritas kedua. Prioritas utama yang baru: keluarga Tremaine."
"Siap, Tuan Muda. Apa perintahnya?" jawab Elang tanpa bertanya.
"Ada seekor hantu di Silverhaven. Seorang wanita, operator profesional. Namanya Monique. Paman Chen akan mengirimimu semua data intelijen tentangnya—penampilan, kemungkinan lokasi, mobil sewaan. Aku mau kau dan timmu menjadi bayangannya. Jangan sentuh dia. Jangan biarkan dia tahu kalian ada. Aku mau tahu setiap langkah yang dia ambil, setiap orang yang ia temui, bahkan kopi apa yang ia minum. Jelas?"
"Sangat jelas, Tuan Muda," jawab Elang. Panggilan berakhir.
Silverhaven, Sore Hari
Monique adalah seorang profesional sejati. Ia menyatu dengan keramaian kota seperti bunglon. Menggunakan mobil sewaan yang tidak mencolok dan menyamar sebagai seorang konsultan bisnis, ia dengan mudah membuntuti mobil Bastian Tremaine dari base camp kembali ke kantor pusat Tremaine Logistik.
Ia memarkir mobilnya di seberang jalan dan dari balik jendela kafe, ia mulai mengambil foto dan memetakan pola keluar-masuk para karyawan. Ia merasa percaya diri, tidak menyadari bahwa dari atap gedung di seberangnya, seorang anggota tim Elang dengan teropong sedang melakukan hal yang sama padanya. Ia juga tidak melihat bahwa pelayan kafe yang baru saja mengantarkan kopinya memiliki sebuah alat penyadap kecil di nampannya, yang baru saja memindai sinyal dari laptop dan ponselnya.
Perburuan itu kini memiliki dua tingkat: Monique memburu keluarga Tremaine, dan tim Bayangan memburu Monique.
Malam harinya, Monique mengikuti Elara dan Lyra yang pergi berbelanja di sebuah pasar malam lokal. Ia mengamati dari kejauhan saat Elara berhenti di sebuah kios pengrajin kayu dan mengagumi sebuah sisir kayu buatan tangan yang indah. Monique mencatat detail itu—sebuah kebiasaan profesional untuk memahami targetnya. Setelah itu, ia membuntuti mereka pulang sebelum akhirnya kembali ke hotelnya, Hotel Imperial di pusat kota, untuk menyusun laporannya.
Di kamarnya di lantai delapan, ia merasa aman. Ia telah memeriksa ruangan itu dari penyadap dan kamera tersembunyi. Bersih.
Sementara itu, Jay di Jenewa menerima laporan real-time dari Elang.
"Target sangat terampil. Sulit dilacak. Telah memetakan rutinitas harian keluarga. Mengamati Elara dan Lyra di pasar malam. Saat ini telah kembali ke Hotel Imperial, kamar 802."
Jay berpikir sejenak. Ia tidak bisa membiarkan operator seberbahaya ini bergerak bebas di dekat keluarganya. Ia harus mengirim sebuah pesan. Sebuah peringatan yang akan membuatnya berpikir dua kali.
Ia mengetik perintah baru untuk Elang: "Aku butuh kau mengirim sebuah pesan tanpa meninggalkan jejak."
Di Hotel Imperial, Monique baru saja selesai mandi. Ia merasa segar dan siap untuk menganalisis data yang ia kumpulkan seharian. Ia berjalan keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk, rambutnya yang basah meneteskan air ke karpet tebal.
Lalu ia membeku.
Di atas bantal tidurnya yang tadi pagi dirapikan oleh petugas hotel, tergeletak sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana.
Bukan ancaman. Bukan surat. Bukan senjata.
Melainkan sebuah sisir kayu yang indah, diukir dengan presisi yang luar biasa. Sisir yang persis sama dengan yang ia lihat dikagumi Elara di pasar malam beberapa jam yang lalu.
Keheningan di kamar hotel yang mewah itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Tidak ada tanda-tanda penyusup. Pintu terkunci dari dalam. Jendela tertutup rapat. Tapi benda itu ada di sana. Mustahil.
Pesan di baliknya begitu sunyi namun lebih mengerikan daripada ancaman pembunuhan mana pun. Pesan itu berkata:
"Kami tahu siapa kau. Kami tahu siapa yang kau amati. Kami bisa masuk ke ruang paling pribadimu kapan pun kami mau, tanpa terdeteksi. Permainan ini bukan milikmu lagi. Kami yang mengendalikannya."
Monique, sang pemburu elite, sang hantu yang tak terlihat, berdiri mematung di tengah kamarnya. Untuk pertama kalinya dalam kariernya yang panjang dan berbahaya, ia merasakan sensasi yang asing di sekujur tubuhnya. Ia merasakan bagaimana rasanya menjadi buruan.