Masa lalu yang kelam mempertemukan dua saudara kandung dalam cinta yang rumit, mereka jatuh hati pada pria yang sama. Rasa iri dan pengkhianatan tumbuh di antara keduanya, hingga akhirnya lahirlah seorang anak, buah dari hubungan yang tak pernah jelas asal-usulnya. Di balik cinta segitiga itu, ada sosok pria lain yang diam-diam mencintai salah satu dari mereka, membuat rahasia dan luka lama semakin sulit diurai.
Ketika kebenaran mulai terungkap, siapakah yang benar-benar layak disebut ibu? Dan siapakah ayah dari sang anak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 34
Beberapa jam kemudian...
Affan berdiri di depan rumahnya yang masih berantakan, tubuhnya gemetar antara lelah dan panik. Kepalanya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Kamala dan Reyna. Saat itu, ia tengah menunggu kedatangan Calvin seperti yang dijanjikan.
Namun, suara langkah kaki dari arah ujung jalan membuatnya menoleh cepat. Seorang pria dengan pakaian kusut, wajah memar, dan langkah terseok-seok berjalan mendekat. Ada bekas darah kering di sudut bibirnya, dan tatapan matanya seperti kosong, kehilangan arah.
Affan langsung waspada. Ia menegakkan tubuhnya, menatap pria itu dengan curiga.
Faris, yang masih setengah sadar menatap Affan sejenak, lalu membuka mulutnya dengan suara serak, “Bro... lo punya air, enggak? Gue haus banget… kepala gue muter…”
Affan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap penuh kecurigaan, apalagi melihat wajah pria itu memar, baju kotor, dan bau alkohol masih samar tercium dari tubuhnya. Namun, melihat kondisi Faris yang benar-benar terlihat lemah dan kacau, sisi kemanusiaannya muncul.
“Lo kenapa bisa kayak gitu?” tanya Affan, tetap menjaga jarak.
Faris mengusap wajahnya dengan satu tangan. “Gue... habis dihajar orang. Gue nemuin cewek pingsan tadi pagi... eh, malah gue ditendang, dipukul... gara-gara dianggap ganggu dia.”
Affan menyipitkan mata. “Cewek? Siapa namanya?”
Faris menggeleng pelan. “Enggak tahu... tapi dia sempet manggil nama anaknya, Reyna...”
Deg.
Nama itu langsung membuat Affan maju selangkah, sorot matanya berubah penuh tekanan. “Reyna? Kau yakin itu yang dia sebut?”
Faris mengangguk pelan. “Y-ya... dia sempat histeris. Bilang anaknya dibawa orang. Lalu dia pingsan. Cowok gede bawa dia ke rumah sakit.”
Affan langsung mencengkeram kerah baju Faris dengan emosi. “Kau bilang siapa yang bawa dia?!”
Faris terkejut, reflek mengangkat tangan. “Gue enggak tahu namanya! Tapi orangnya tinggi, kekar, kayak... preman, tapi tampangnya serius. Kayaknya dia kenal cewek itu. Dia yang janji mau cari anaknya.”
Affan perlahan melepaskan genggamannya. Napasnya berat. Kalau benar Kamala yang dimaksud Faris, berarti ia masih hidup, tapi Reyna?
Tanpa pikir panjang, Affan mencari rumah sakit terdekat untuk mencari keberadaan Kamala.
Ia tak lagi memperdulikan Faris yang masih berdiri limbung di depan pagar. Baginya, hanya satu hal yang penting saat ini : Kamala.
******
Di ruang rawat rumah sakit…
Kamala masih terbaring lemah di ranjang, infus terpasang di tangannya. Kelopak matanya sempat bergerak, menggigil sedikit sebelum akhirnya terbuka perlahan. Pandangannya kabur, tapi suara mesin dan bau antiseptik langsung memberi tahu bahwa ia tidak lagi berada di jalanan.
Tubuhnya masih terasa berat, namun begitu ingatan terakhirnya muncul, napas Kamala langsung memburu. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya belum sanggup menuruti kehendak hati.
Seorang pria berdiri di dekat pintu, menyadari pergerakannya.
“Jangan paksa diri, kamu baru sadar.” Suara itu berat dan tegas. Antoni.
Kamala menoleh pelan. Butuh beberapa detik sebelum ia mengenali wajah itu.
“Reyna…” lirihnya, seakan kalimat itu satu-satunya yang penting.
Antoni mendekat. “Aku belum menemukannya. Tapi aku janji, Kamala. Aku akan temukan anakmu. Dengan segala cara.”
Air mata langsung mengalir dari sudut mata Kamala. “Dia takut gelap… dia selalu peluk boneka beruangnya kalau sedang panik…” Suaranya parau, terbata-bata, menggambarkan kepanikan yang tak terucap.
Antoni menatapnya dalam-dalam, rasa bersalah tergambar jelas di matanya. “Kau harus kuat. Aku butuh kau sadar dan waras untuk bantu kami cari dia. Apa pun yang kau ingat, sekecil apa pun, akan mempermudah proses pencarian."
Kamala menarik napas panjang, mencoba melawan gemetar tubuhnya. Pandangannya menajam perlahan saat satu nama muncul dalam pikirannya. Suaranya lirih, namun tegas.
“...namanya Bu Lastri. Dia penagih utang... aku pernah pinjam uang darinya, tiga puluh juta.”
Antoni menyipitkan mata. “Tiga puluh juta? Dan kau... menjaminkan Reyna?”
Kamala menggeleng pelan, penuh sesal. “Aku nggak pernah benar-benar menjaminkan Reyna... tapi waktu itu dia datang ke rumah, mengancam. Aku ketakutan. Reyna sedang sakit... aku butuh uang cepat. Aku janji akan lunasi, tapi... waktu aku gagal bayar, dia mulai ancam akan ambil Reyna. Aku kira cuma gertakan.”
Antoni mengepalkan tangan, matanya gelap menahan amarah. Ia tahu ini bukan waktunya menyalahkan, tapi ia juga tak bisa menahan rasa bersalah. Ia tidak ada saat Kamala butuh perlindungan, dan kini seorang anak kecil harus menanggung akibatnya.
Kamala menggenggam ujung selimut dengan lemah, lalu menatap Antoni penuh keteguhan.
“Tolong bantu aku… apapun risikonya. Aku akan lakukan apapun untukmu, yang terpenting… Reyna kembali dengan selamat.”
Antoni menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk perlahan. “Kau nggak sendiri, Kamala. Kali ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Reyna lagi. Aku akan pastikan dia pulang, hidup-hidup.”
Antoni baru saja melangkah keluar dari ruang rawat Kamala saat ponselnya berdering. Ia menoleh sekilas ke layar yang menyala, nama Amanda tertera di sana. Dahinya langsung berkerut, jari-jarinya ragu sebelum akhirnya menggeser tombol hijau.
“Halo?”
Suara Amanda terdengar cemas dan tergesa di seberang. “Antoni? Apa kau sibuk?”
Antoni menghela napas, menuruni lorong rumah sakit dengan langkah berat. “Cukup sibuk. Ada apa?”
“Aku butuh bantuanmu,” kata Amanda, suaranya terdengar ragu. “Aku ingin... bertemu dengan Reyna. Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana. Bisa temani aku? Aku takut dia menolakku.”
Antoni langsung menghentikan langkahnya. Sorot matanya berubah tegang, tapi ia berusaha menjaga nada suaranya tetap datar. “Amanda… sekarang bukan waktu yang tepat. Aku sedang ada urusan penting.”
“Tapi ini penting juga, Toni. Aku hanya ingin satu kesempatan bertemu dengan Reyna. Aku… aku cuma ingin melihat wajahnya dari dekat.”
Antoni terdiam beberapa saat, lalu menjawab pelan namun tegas, “Percayalah, bukan hari ini. Reyna sedang... tidak bisa ditemui. Nanti, kalau waktunya sudah tepat, aku akan kabari kau.”
“Toni…” suara Amanda mulai terdengar putus asa. “Ada sesuatu yang kau sembunyikan, ya?”
Antoni menggertakkan rahang, lalu berusaha mengakhiri percakapan. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus pergi.”
Tanpa menunggu jawaban, Antoni memutus sambungan. Ia menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke saku.
Waktu tidak banyak. Jika Amanda tahu Reyna telah diculik, sebelum mereka berhasil menemukannya, itu bisa menjadi kekacauan besar. Bukan hanya bagi Kamala, tapi juga bagi semua rahasia masa lalu yang telah dikubur dalam-dalam.
Antoni melangkah cepat. Ia tahu ke mana harus pergi: mencari Affan, dan bersama-sama memburu wanita bernama Bu Lastri.
Antoni melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, pikirannya berpacu secepat langkah kakinya.
Begitu keluar dari gedung rumah sakit, ia langsung menekan sebuah nama di daftar kontaknya, anak buah kepercayaannya, yang biasa berjaga di sekitar rumah Affan. Suara dering berulang-ulang, hingga akhirnya tersambung.
“Temui aku sekarang di tempat biasa,” kata Antoni cepat, tanpa basa-basi.
Namun suara di seberang bukanlah suara yang ia kenal.
“Sayangnya, dia nggak bisa datang sekarang,” ujar seseorang dengan nada tenang namun mengancam. “Orang-orangmu sedang sibuk... berusaha bertahan hidup.”
Antoni menghentikan langkah. Sorot matanya langsung tajam. “Siapa ini?”
“Aku cuma pesuruh,” jawab suara itu lagi, sedikit terkekeh. “Tapi bosku ingin tahu satu hal penting.”
Antoni tidak menjawab, hanya mengepalkan tangan lebih erat.
“Siapa sebenarnya dirimu? Mengapa kau berhubungan dengan Amanda?” lanjut si penelepon. “Dan satu pertanyaan yang paling penting… di mana Amanda sekarang?”
Antoni menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gejolak amarah dan tekanan yang tiba-tiba meledak dalam kepalanya. Suara di seberang jelas mengarah pada satu hal: pengawasan terhadap dirinya sudah terlalu dekat, dan taruhannya makin besar.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menurunkan ponsel dari telinganya, lalu menekan tombol merah. Panggilan langsung terputus.
Ia menoleh ke arah parkiran, langkahnya berubah lebih cepat dan berat. Dalam pikirannya hanya ada satu hal: ia harus mendahului Seno. Ia harus temukan Reyna lebih dulu, amankan Amanda, dan bersihkan jejak sebelum semuanya hancur.
Rencana tak boleh berantakan sekarang. Tidak saat semuanya sudah sedekat ini pada jawaban.
Langkahnya semakin cepat untuk masuk ke dalam mobil.
Begitu pintu tertutup rapat, Antoni duduk di balik kemudi, diam sejenak. Kepalanya tertunduk, tangan menggenggam setir erat, sementara pikirannya berkecamuk. Ia tidak pernah merasa serumit ini sebelumnya. Kali ini bukan hanya soal misi. Ini soal hidup orang-orang yang tak seharusnya ikut terseret.
“Sial...” gumamnya pelan. “Tapi... bagaimana caranya? Tak mungkin aku melawan Seno secara langsung.”
Ia menoleh keluar jendela, pandangannya kosong, namun otaknya terus berpikir cepat.
“Aku harus bermain tenang… kalau dia tahu siapa aku sebenarnya, semuanya akan hancur.”
Antoni bersandar sejenak, mengatur napas, lalu menggerakkan jarinya membuka daftar kontak di ponsel. Matanya berhenti pada satu nama yang terasa seperti harapan terakhir:
Calvin.
“Dia orang terakhir yang bisa kupercaya sekarang…”
Antoni tahu Calvin bukan orang sembarangan. Ia yang dulu ia pekerjakan secara diam-diam untuk menyelidiki keberadaan Affan dan Kamala, jauh sebelum Affan menyadari bahwa dirinya sedang diawasi. Calvin cerdas, tenang, dan yang paling penting: tahu bagaimana bermain bersih dalam dunia yang kotor.
Dengan jari bergetar, Antoni menekan ikon panggil.
“Calvin, aku butuh bantuanmu,” ucapnya begitu tersambung. “Ini tentang Reyna… dan Seno.”
Namun, suara di seberang terdengar tergesa dan tegas. “Antoni, aku nggak bisa bantu sekarang. Aku lagi sama Affan… kami sedang cari Kamala.”
Antoni terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Ia tak menyangka Calvin bersama Affan sekarang.
“Kamala?” gumamnya. “Dia selamat… aku temukan dia pingsan di jalan, sekarang dia dirawat di RS Damar Jaya.”
“Dia di rumah sakit?” suara Calvin langsung berubah serius. “Kondisinya bagaimana?”
“Lemah… tapi sadar. Dia masih trauma dan belum bisa banyak bicara. Tapi dia sebut satu nama, Bu Lastri. Reyna dibawa perempuan itu,” jelas Antoni cepat.
Hening sejenak di seberang. Lalu Calvin menimpali, “Terima kasih, Toni. Aku akan beritahu Affan.”
Klik.
Antoni belum sempat membalas apa pun. Panggilan sudah diputus.
Di sisi lain, Calvin menoleh pada Affan yang berdiri gelisah di sisi jalan.
“Aku baru dapat kabar,” ucap Calvin cepat. “Kamala ditemukan. Dia sekarang di RS Damar Jaya.”
Affan langsung menatapnya, matanya membelalak. “Siapa yang nemuin dia?”
“Temanku,” jawab Calvin sambil menghindari nama asli. “Orang yang bantu kita cari mereka, dan sekarang dia yang jagain Kamala.”
Affan langsung melangkah menuju mobil, napasnya memburu. “Ayo, antar aku ke sana. Sekarang juga.”
Calvin tanpa banyak bicara langsung mengikuti langkah cepat Affan. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraan secepat mungkin menuju RS Damar Jaya.
Sepanjang perjalanan, Affan gelisah. Tangannya mengepal di atas paha, dan pandangannya terus menatap lurus ke depan. Sesekali ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, tapi sia-sia.
“Aku harus lihat sendiri keadaannya,” gumam Affan, lebih pada dirinya sendiri. “Kalau Kamala sadar… berarti masih ada harapan. Kita bisa tahu ke mana Reyna dibawa.”
Calvin hanya mengangguk singkat, fokus mengemudi.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Affan langsung keluar, langkahnya cepat, nyaris setengah berlari. Calvin mengejarnya dari belakang.
Setibanya di ruang rawat inap, mereka berhenti di depan pintu kamar Kamala. Affan menarik napas dalam, lalu mendorong pintu perlahan.
Kamala masih terbaring lemah di ranjang, tapi saat melihat sosok Affan, matanya membesar. Napasnya tercekat, bibirnya bergetar, antara terkejut dan lega.
“Affan…” lirihnya.
Affan maju, mendekat, dan menggenggam tangan Kamala dengan hati-hati. “Kamu selamat… syukurlah. Kamala, tolong… di mana Reyna sekarang?”
Kamala menatapnya, berlinangan air mata, dan bersiap untuk menceritakan segalanya.